Oleh : Ajar Pradika Ananta Tur
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari tuhannya sama dengan orang yang membatu hatinya. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 22)
Bagiku berpuasa adalah konsistensi sikap dalam beragama setiap saat untuk tidak menyimpang dari apa yang telah ditetapkan: tidak hanya di bulan kesembilan di tahun Hijriyah. Sering aku mendengar ceramah para alim ulama tentang bulan itu dari tempat di mana aku berada saat ini. Aku yakin teman-temanku pun mendengar bahwa bulan itu adalah bulan istimewa, bulan penuh berkah, bulan ampunan, bulan madrasah diri, dan predikat-pedikat lain yang dilekatkan. Aku tidak menolaknya. Yang aku sesalkan adalah sikap latah mereka yang mempercayai predikat-pedikat itu: shaf-shaf masjid mendadak terisi penuh, ibadah bertambah kuantitasnya secara instan, perilaku-perilaku spontan terkendali, dan tidur menjadi sesuatu yang amat dibanggakan. Aku yakin itu hanya kamuflase semata. Semua yang instan akan kembali pada titik awal secara instan pula. Duh, beragama tidak musiman, gaes!
Lalu apa hubungannya denganku? Sederhana saja. Kamuflase itu terpotret jelas pada bagaimana mereka memandangku. Seolah mimbar-mimbar pengajian, kata-kata indah para alim ulama, atau janji-janji pahala di bulan yang diistimewakan tak pernah menyinggung apa makna dan dimensi kebaikan. Cahaya dari Tuhan, meski tak teraba, bukan hal mustahil untuk didapatkan yang bisa membedakan mereka yang bercahaya dan tidak. Ironisnya, kerusakan sosial tidak memandang siapa mereka.
Prinsipku pun sederhana: aku tak pandang bulu dalam menegakkan kesepakatan sosial berlalulintas. Kapan saja dan siapa pun mereka: dari pengendara sepeda sampai pengemudi lamborgini, baik kendaraan pribadi, dinas, maupun umum, aku perlakukan sama.
“Silakan Anda bisa melanjutkan perjalanan. Terima kasih telah mematuhi peraturan lalu lintas”, aku tak bosan menyampaikannya setiap kali lampu berwarna hijau menyala. Melihat mereka bergegas berakselerasi dengan rapi, aku senang. Aku yakin, setiap dari mereka yang melaju memiliki tujuan yang pasti. Mereka sadar akan tujuan yang akan ditempuh, begitu ‘kan pesan Mark Zuckerberg dalam pidatonya di Harvard. Tetapi puasaku terganggu setiap kali aku mendengar lengkingan klakson berkali-kali dari arah jauh di depanku. Aku ingin marah seolah dia tidak bersyukur atas apa yang ada. Tidakkah dia sadar bahwa ini adalah prime time penggunaan jalan. Aku urungkan. Tiada guna marah pada perilaku yang telah dianggap lazim, meski kelaziman tersebut tidak selalu linear dengan sebuah kebenaran. Tidak lama lampu akan berganti menuju warna kuning.
“Berhati-hatilah! Kurangi kecepatan kendaraan Anda!”, aku telah berteriak. Warna ini memang menuntut kerja ekstra. Tidak hanya aku, teman-temanku juga melakukan hal yang sama. Tetapi tampaknya aku lebih beruntung daripada mereka yang ada di Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya. Lampu kuning itu telah salah diartikan. Bagi mereka, lampu itu memberikan makna semiotik “Melajulah lebih cepat sebelum merah menyala!”. Kata temanku yang ada di kota-kota kecil bahkan di daerah pedesaan, warna kuning adalah warna tanpa makna. Rasanya aku ingin tertawa, tetapi juga nestapa.
Pada saat lampu warna kuning ini pulalah aku teringat sebuah kejadian pilu di perempatan Tugu Jogja beberapa waktu lalu. Temanku dengan terisak bercerita padaku. Pagi, jalanan masih sepi, seorang pengendara motor dan seorang yang diboncengnya melaju pelan karena telah mendengar aba-aba darinya untuk berhati-hati dan mengurangi kecepatan kendaraan. Hendak mereka berhenti di sisi sebelah kanan jalan dekat dengan pembatas jalan, mobil dengan kecepatan tinggi menubruk dari belakang. Temanku berteriak histeris. Yang dia lihat kemudian adalah pengendara motor yang terhimpit badan mobil dan tiang jalanan: mereka tewas.
Duka itu terlalu dalam untuk dilupakan tanpa diambil hikmahnya: bahwa keselamatan di jalan bukan semata-mata karena tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Tetapi mereka yang demikian, lebih sering menjadi korban daripada aktor kecelakaan lalu lintas. Musibah tak mengenal siapa beriman dan siapa tidak.
“Stop! Berhentilah dan posisikan kendaraan Anda di belakang marka jalan”, lampu berwarna merah menyala. Puasaku sering kandas tiada makna ketika si merah menyala. Aku lebih sering terbawa emosi daripada senyum pada mereka. Bagaimana tidak, mereka lebih banyak melanggar daripada patuh pada peraturan. Merah menyala namun mereka nylonong dengan tenang, berhenti di depan marka jalan, berhenti melebihi batas tengah jalan, menyelinap diantara mobil-mobil kemudian berhenti suka-suka, menelusuri trotoar untuk sampai di barisan paling depan, menutup jalan untuk mereka yang hendak melaju ke kiri, atau berhenti sejenak di barisan depan kemudian bersiap melaju cepat tanpa peduli padaku.
Aku memang tak pernah disalahkan jika kecelakaan terjadi. Ingin aku mengatakan pada polisi bahwa akulah yang bersalah. Aku memang menjalankan tugasku tetapi tak mampu membujuk mereka untuk mematuhi aturan yang ada. Aturan memang tak akan pernah bisa membangun kesadaran individu tetapi pengalaman dan introspeksi yang akan selalu mengingatkan. Tetapi keduanya pun tak akan berlaku semestinya ketika nurani terbelenggu kebiasaan-kebiasaan yang melenakan, bahkan terlazimkan sebagai sebuah kebenaran.
Ramadhan selayaknya polisi yang berpatroli mengatur lalu lintas jalan. Kelatahan pengguna jalan akan lebih nyata terpampang ketika polisi itu berdiri di sampingku. Hijau-Kuning-Merahku berfungsi selayaknya. Aku senang. Aku ingin keindahan itu terus terjaga. Namun polisi tetaplah selayaknya Ramadhan. Ketika dia pergi, kembalilah mereka pada kesadaran awal yang dilazimkan tadi: kebenaran dan penyimpangan bermuka sama.