Oleh : Arif Nur Kholis*
Setiap manusia mengalami proses dalam hidupnya, salah satu yang diwajibkan oleh agama adalah keharusan menjalankan proses meningkatkan kompetensi keilmuan. Perintah – perintah dalam Al Qur’an tentang keharusan menuntut ilmu ini seharusnya tidak bisa diabaikan, harus dianggap sebagai kewajiban primer, bukan kuarter apalagi tersier.
Namun, tidak semua orang memiliki keberuntungan untuk mendapatkan pencerahan ini sejak usia dini. Sementara bagi yang sudah memiliki pemahaman tentang keharusan menuntut ilmu diatas, banyak yang mendapatkan hambatan – hambatan seperti masalah biaya, hambatan akses maupun lingkungan dan budaya yang kurang mendukung. Termasuk hambatan pemahaman budaya bahwa seorang anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi – tinggi. Sehingga proses pengembangan intelektual, peningkatan kompetensi life skill, maupun pengembagan karakter dirinya tidak bisa optimal.
Dengan demikian, bagi mereka yang bisa mengatasi hambatan – hambatan di atas dan mampu terus berkembang tentu akan menempati posisi tinggi dalam sebuah tatanan masyarakat. Ilmunya berkembang, aksesnya terhadap sumberdaya ekonomi (bahkan politik) juga terbuka, juga terbangunnya kemampuan efisiensi kerja dan dalam memanajemen waktu yang sering disebut sebagai kemampuan profesional. Jalur normatif yang bisa digunakan untuk mencapai semua itu adalah dengan melalui jenjang pendidikan dari dasar hingga pendidikan tinggi, walaupun itu bukan satu – satuya jalan.
Lantas kewajiban apa yang kemudian harus dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai posisi keilmuan dan profesional seperti di atas ? Penguasaan ilmu dan kompetensi profesional diatas bisa dimaknai sebagai bagian dari sumberdaya, seperti halnya harta. Dalam kacamata agama, sumberdaya ini identik dengan makna dari Al Maun, yang terjemahan luasnya tidak sekedar “harta yang berguna” namun bisa juga menjadi “sumberdaya yang berguna”.
Sehingga dalam kemampuan keilmuan dan profesional kita berlaku logika seperti halnya makna Al Maun dalam Al Qur’an. Memiliki konsekuensi untuk disharing dengan mereka yang membutuhkan, mereka yang tidak seberuntung kita dalam mengakses ilmu dan kemampuan profesional. Karena mereka yang tidak menguasai ilmu dan kemampuan profesional yang cukup dalam hidup itu sejatinya adalah bagian dari orang – orang yang lemah, seperti mereka yang yatim secara life skill dan sangat dekat dengan kefakiran. Bahkan berpotensi untuk menurunkan generasi yang tidak jauh beda dengan mereka bila tidak ada upaya “pembebasan”. Padahal agama juga memerintahkan untuk menghindari lahirnya generasi – generasi yang lemah seperti dalam Al Qur’an Surat An Nisa ayat 9.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. [Q.S. al-Nisa (4): 9]
Perlu menjadi perhatian, kewajiban berbagi manfaat terkait ilmu dan kompetensi profesional kita kepada mereka yang membutuhkan ini harus dipandang benar – benar sebagai kewajiban, bukan sekedar sumbangan atau kegiatan yang dilakukan sebagai kegiatan charity semata. Sejatinya kegiatan sharing kemanfaatan ilmu dan kopetensi profesional yang kita miliki itu secara spiritual yang membutuhkan adalah kita, bukan malah mereka yang kekurangan. Karena sejatinya kita butuh untuk menyelamatkan agama kita dari peringatan yang disampaikan dalam surat Al Maun di ayat 5-7 yang menyatakan bahwa sejatinya ada orang – orang yang lalai dengan sholatnya, yaitu yang berbuat Riya dan enggan menolong dengan barang (baca : sumberdaya) yang berguna.
Dengan melakukan sharing sumberdaya (termasuk kemanfaatan ilmu dan kemampuan profesional), kita bisa membantu memecahkan masalah perlindungan, kebutuhan masa depan, potensi menjadi korban perlakuan tidak adil, bagian dari memberi santunan, yang harus dilakuan dengan tidak berlaku kasar dan bahkan bisa membantu mengelola harta yang dimiliki yatim dengan cara terbaik. Dalam tradisi persyarikatan Muhammadiyah, Amal al-Maun yang tercakup dalam Fikih al-Maun menganut empat prinsip, yaitu : pertama, kemuliaan manusia(ikrâm);kedua, keberpihakan;ketiga, keadilan; dan keempat,kebaikan nyata (ihsân).
Sehingga sharing kemanfaatan keilmuan dan kompetensi profesional yang kita “bayarkan” bukan karena rasa kasihan, namun sebagai kewajiban kita yang memiliki sumberdaya keilmuan dan kompetensi profesional berlebih kepada mereka yang mengalami kekurangan sumberdaya keilmuan dan kompetensi profesional karena berbagai sebab. Tujuan bantuan adalah membela kemuliaan dan meningkatkan martabat mereka. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللهُ فِىْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِىْ عَوْنِ أَخِيْهِ] رواه مسلم[
Dari Abu Hurairah r.a. [diriwayatkan] bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesengsaraan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesengsaraan hari kiamat, dan barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesukaran, maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat, dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong sesamanya [HRMuslim].
Akhirnya, mari kita coba lihat diri kita masing – masing, khususnya dalam momentum puasa yang identik dengan berbagai kegiatan berjamaaah, berzakat dan berinfaq ini. Bagi yang berkesempatan mengenyam jenjang pendidikan sejak SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi seberapa besar sumberdaya keilmuan dan kompetensi profesional yang kita dapatkan. Sudah seberapa besar bisa menolong dalam kehidupan kita dan keluarga kita. Dan sesuai dengan yang disampaikan di atas, sudah seberapa besar kita “infakkan” kepada mereka yang membutuhkan ? Apakah kita hanya menumpuk saja ilmu dan kemampuan profesional kita itu? Apakah kita malah menjadikannya alat untuk pamer dan bermegah – megahan ? Semoga kita terhindar dari itu semua, karena sejatinya di sebagian kemanfaatan ilmu dan kompetensi profesional kita ada hak mereka yang lemah. Itulah salah satu makna empati yang sejati.
*Arif Nur Kholis Sekretaris Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Pimpinan Pusat Muhammadiyah