YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan bahwa gerakan Muhammadiyah selalu menjalankan segala aktivitas organisasinya dengan berbasis pada nilai-nilai. Landasan yang paling utama adalah theologi yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam.
“Muhammadiyah berbuat seperti ini atas nama dan untuk Islam. Kita punya nilai. Tidak sekular,” tutur Haedar dalam acara Pengajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu, 10 Juni 2017, di Auditorium Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Dalam pengajian bertema ‘Jihad Muhammadiyah untuk Mewujudkan Indonesia Berkemajuan’ itu, Haedar Nashir menekankan agar segenap warga Muhammadiyah benar-benar memahami dan menginternalisasi nilai-nilai yang menjadi pijakan Muhammadiyah. Sehingga nilai-nilai itu menjadi pemandu dalam kehidupan warga Muhammadiyah, tidak sekedar menjadi bahan hafalan. “Kepribadian Muhammadiyah hafal, tapi banyak yang tidak paham substansi di balik itu,” katanya.
Dengan memahami paham ideologinya, kata Haedar, warga Muhammadiyah tidak akan mudah terpengaruh dengan beragam situasi sosial keagamaan yang tidak kondusif akhir-akhir ini. Menurutnya, dalam menyikapi apapun, semangat yang diusung Muhammadiyah adalah wasatiyah atau moderat. Di saat yang sama Muhammadiyah lebih senang menghabiskan energinya untuk kerja-kerja produktif membangun pusat-pusat keunggulan menuju peradaban berkemajuan.
Di setiap aktivitasnya, Muhammadiyah mendasarkan gerakan praksisnya pada manhaj tarjih. “Muhammadiyah punya strategi gerakan yang karakternya berbasis theologi keagamaan,” kata Haedar. Theologi yang melatari Muhammadiyah semisal al-Ma’un direalisasikan dalam praksis nyata memberdayakan kaum dhuafa dan mustadl’afin. “Beratus-ratus tahun orang menghafal al-Maun, tapi tidak melahirkan gerakan nyata,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Haedar juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga wasatiyah dalam berbagai aspek. Penggunaan kaidah-kaidah ushuliyah dan prinsip maqasid syariah menjadi salah satu panduan. Dalam hal agama, wasatiyah ditunjukkan dengan pemahaman yang tidak mengabsolutkan kebenaran tunggal. “Tafsir itu tidak qat’iy. Tafsir tidak sama dengan substansi ayat itu. Oleh karena itu, jangan mengabsolutkan tafsir,” kata Haedar.
Sementara dalam bidang muamalah, Haedar menekankan supaya warga Muhammadiyah untuk banyak melakukan inovasi dan dinamisasi demi kemajuan bersama. Dengan semangat tajdid ini, Kiai Dahlan bisa melahirkan sistem pranata sosial modern yang baru di zaman itu. Dalam urusan muamalah, Haedar mengingatkan bahwa prinsip dasarnya adalah mubah dan harus dibarengi dengan inovasi tiada henti. (Ribas)