Tujuh Masukan PP Muhammadiyah untuk RUU Pemilu

Tujuh Masukan PP Muhammadiyah untuk RUU Pemilu

JAKARTA, Suara Muhammadiyah –  Sebagai organisasi yang tidak terlibat dalam politik praktis, Muhammadiyah tetap memainkan peranan high politic. Hal itu di antaranya ditunjukkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan memberikan masukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu). Surat yang ditandatangani Ketua Umum Haedar Nashir dan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti itu dibacakan Abdul Mu’ti didampingi ketua PP Muhammadiyah Bidang Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Bahtiar Effendy di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jumat (9/6).

Berikut poin lengkap tujuh masukan PP Muhammadiyah mengenai RUU Pemilu yang disampaikan kepada KPU:

  1. Dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban dalam pemilu, salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius adalah bagaimana mengurangi politik transaksional di masyarakat (vote buying atau money politics). Kedua, menempatkan persaingan politik pada tempatnya, yaitu persaingan pencalonan tidak pada claon dalam satu partai, tapi persaingan calon partai dengan calon dari partai lain. Karena itu, sistem pemilu yang dipandang lebih demokratis dan berkeadaban sesuai dengan pemikiran tersebut adalah sistem proprsional tertutup atau sistem proporsional terbuka terbatas.
  2. Usulan penambahan kursi DPR blum relevan, artinya, kursi DPR sudah sepatutnya tetap berjumlah 560. Jika ada daerah yang mengalami pemekaran, maka hal itu tidak berarti kursi dari daerah induk berjumlah tetap. Pemekaran daerah bukan berarti menambah jumlh kursi untuk daerah tersebut. Dalam hal ini yang harus ditekankan adalah realokasi kursi DPR ke provinsi agar tidak terjadi lagi provinsi yang mengalami kekurangan kursi atau yang kelebihan kursi.
  3. Parliamentary threshold sebagai upaya penyederhanaan partai politik masih belum efektif, bahkan bisa mengilangkan suara rakyat. Perbaikan ke depan bisa dilakukan dengan penerapan ambang batas parlemen nol persen. Penerapan ambang batas yang tinggi tidak serta merta menyederhanakan partai politik. Yang diperlukan adalah pengaturan ambang batas pembentukan fraksi di DPR.
  4. Keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2003 yang menyatakan pemilu diadakan serentak mengakibatkan penerapan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi tidak relevan. Untuk itu, penerapan ambang batas pencalonan presiden nol persen merupakan pilihan paling tepat. Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertam yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden, oleh sebab itu, tidak relevan lagi jika diterapkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.Selain itu, di dalam UUD 1945 juga disebutkan kalau syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah diajukan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan demikian, partai politik manapun yang sudah mengalami verifikasi KPU untuk menjadi peserta Pemilu 2019 dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Meniadakan ambang batas pencalonan bertujuan untuk memberikan keadilan bagi semua peserta pemilu.
  5. Usulan adanya dana saksi pemilu yang dibiayai APBN akan merusak tatanan penyelenggaraan pemilu dan membebani anggaran negara. Pemberikan dan saksi kepada partai politik tidak serta merta mengurangi kecurangan dalam pemilu. Untuk mengurangi kecurangan dapat ditempuh cara-cara untuk memperkuat fungsi pengawasan dalam pemilu. Negara dapat menggunakan dana ini untuk membiayai sektor kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
  6. KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara pemilu yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan pemilu di daerah. Jika lembaga ini ebrsifat ad hoc, maka ia tidak leluasa dalam mengelenggarakan pilkada. Misalnya saja, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya terkati dengan tata kelola keuangan negara, lembaga ad hoc tidak boleh mengelola keuangan sendiri. Ini tentu akan menghambat dan mengganggu proses pelaksanaan pemilu dan juga pemilihan kepala daerah. Selain itu, KPU Kabupaten/Kota selama ini sudah memiliki atuan kerja yang bersifat permanen (perangkat pegawai kesekretarian organik). Karena itu, sudah waktunya KPU Kabupaten/Kota dijadikan lembaga permanen.
  7. Ke depan, PP Muhammadiyah berharap, hendaknya DPR bersama-sama dengan pemerintah dapat menyusun UU Pemilu yang tidak bersifat sekali pakai. Dengan demikian, kita memiliki UU yang benar-benar mewakili kegpentingan bersama, bukan hanya kepentingan partai poltiik. (Ribas)

 

Exit mobile version