Oleh: M Taufiq AR*
Dimensi Fiqh dan Pesan Moral Puasa
Ibadah puasa sepanjang sejarah selalu meneguhkan pesan-pesan moral yang kuat bagi para pelakunya. Moralitas yang diberikan oleh ibadah puasa lewat penderitaan fisik merujuk kepada upaya membangun kesabaran, persaudaraan, dan solidaritas kemanusiaan. The Ultimate Goal (tujuan tertinggi) dari disyariatkannya puasa supaya terjadi pencerahan pikir dan pencahayaan hati dalam wujud imsak (pengendalian diri) dalam mengelola kompleksitas dan dilema kehidupan sehari-hari.
Pengendalian diri tersebut pada gilirannya mewujud selaku imunitas; semacam daya tahan terhadap tekanan dan godaan, daya tangkal terhadap tarikan negatif, dan daya seleksi terhadap pengaruh positif. Pengendalian diri yang diperoleh lewat ibadah puasa menjadi modal penting dalam melakukan transformasi sosial (Syofyan, 2012).
Oleh karena itu, tingkat keberhasilan seseorang dalam menjalanken ibadahnya, tidak saja ditinjau dari sisi fiqh (telah memenuhi rukun dan syarat), melainkan juga harus dilihat dari sejauh mana pelakunya semakin berhasil mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Sisi inilah yang kemudian dikenal sebagai pesan moral.
Antara ketentuan fiqh dan pesan moral dalam sebuah ibadah tidaklah boleh dipisah-pisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Tidak terpisahkan salah satu di antaranya. Jika hendak dipaksa-pisahkan, maka yang kemudian didapati adalah kepincangan. Tidak bisa orang mengambil sisi fiqh-nya saja dengan menggabaikan pesan moralnya; pun sebaliknya, tidak akan bisa dicapai pesan moral tanpa menjalankan sisi fiqh-nya (Nurfatoni, 2000).
Menghadirkan (Pengawasan) Allah SWT dalam Segala Aktivitas
Setiap ibadah di dalam Islam memiliki maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Ada pesan moral yang ingin diraih dari setiap kebajikan yang dilakukan. Shalat bertujuan menjauhkan orang yang melaksanakan shalat dari perbuatan keji dan mungkar. Zakat bermaksud menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan; dengan pesan, “Janganlah engkau akumulasi kekayaan! Di dalam hartamu, ada hak sosial untuk orang lain!” Haji mengandung pesan agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan (al-hajju arafah). Dalam pengelolaan haji, ummat Islam perlu menguasai ilmu manajemen, ilmu teknik, dan lain-lain untuk memastikan rangkaian ibadah haji yang melibatkan jutaan jamaah berlangsung dengan aman dan tertib. Demikian juga dengan ibadah puasa. Ia memiliki pesan moral: berempati dan bersimpatilah kepada orang-orang miskin! Puasa mengajari kita untuk merasakan lapar yang biasa dirasakan orang-orang fakir dan miskin.
Dalam dunia pendidikan, metode paling efektif dalam pendidikan adalah learning by experience (belajar dengan mengalami langsung hal yang dipelajari). Maka, puasa mustinya menjadi metode efektif dalam mendidik ummat Islam agar memiliki sensitivitas dan keberpihakan dalam mengayomi, membantu, dan mengadvokasi pemenuhan hak-hak orang fakir dan miskin.
Bukankah satu tujuan ibadah dalam Islam adalah memperbaiki moralitas ummat yang mendapat kewajiban melaksanakannya? Jika tujuan meningkatkan akhlak dari setiap ibadah tidak tercapai maka sia-sialah ibadah tersebut (Yakin, 1970). Maka, apabila ibadah tidak memiliki dampak pada moralitas, pelakunya disebut sebagai orang yang mendustakan agama (QS Al-Ma’un). Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi masih sering menipu, memanipulasi, korupsi dan merampas hak orang lain. Tidak sedikit mereka yang berpuasa, tetapi masih korupsi dan menyusahkan orang lain. “Berapa banyak orang yang puasa, tapi tidak bernilai apa-apa kecuali lapar dan dahaga,” demikian sabda Rasulullah SAW.
Puasa juga dimaknai sebagai sebuah komitmen diri sendiri, untuk berbuat jujur dan ikhlas serta melakukan pengendalian diri. Oleh sebab itu puasa sebuah ibadah yang tidak hanya sekedar hubungan spiritualitas-transendental antara manusia dan Allah SWT namun juga memiliki peran penting dalam aspek humanitas, hubungan manusia dengan manusia dalam semua lini kehidupan manusia.
Mereka yang Jujur kepada Allah SWT pastilah tidak mungkin berbohong kepada sesama makhluk, karena mereka menginsyafi (sadar) bahwa Allah SWT Maha Mengetahui. “…dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 215). Dalam bagian lain Allah SWT berfirman, “..dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Mulk: 13-14).
Taqwa Itu Produktif dan Akuntabel
OTT (operasi tangkap tangan) KPK terhadap para pelaku suap di BPK dan Kementerian Desa dan PDT dalam kasus suap Kemendes untuk mendapatkan status Opini atas LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK yang melibatkan pejabat eselon I di Kementerian Desa dan PDT serta pejabat eselon I di BPK mengindikasikan bahwa nilai integritas dan kejujuran masih rapuh di kalangan pejabat birokrasi negeri ini. Nilai akuntabilitas (ternyata) dapat diperjualbelikan. Dalam praktik birokrasi, justru didapati fakta tidak ada korelasi signifikan antara nilai akuntabilitas (opini WTP dari BPK) dengan tindak durjana korupsi yang masih berlangsung di instansi yang mendapat sematan nilai WTP.
Di sinilah relevansi dari syariat puasa Ramadhan dengan laku amaliah muslim dalam jagad sosial dan profesinya. Melalui pembelajaran Ramadhan, seorang muslim dituntut untuk mampu mengakuntabilitaskan aktivitas ibadahnya ke dalam bentuk perilaku manusia tersebut dalam setiap tarikan nafas. Akuntabilitas substantif yang bermakna bahwa setiap gerak lisan dan laku kita senantiasa dalam pengawasan Allah. Seluruh orientasi laku amaliah kita adalah pengejawantahan mandat kita sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (wakil Allah di muka bumi untuk menghadirkan Islam – keselamatan, kedamaian). Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji yang dilakukan harus mampu mendorong manusia untuk memiliki pribadi yang akuntabel (terpercaya, bertanggungjawab, tidak mengambil yang bukan haknya), ikhlas, memiliki empati dan kepekaan terhadap yang tertindas, produktif dalam kerja yang berujung menjadi manusia yang sempurna, insan kamil (Anin, 2016).
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang banyak dikaji dalam disiplin keilmuan administrasi publik dan ilmu politik-pemerintahan, yang secara sederhana memiliki arti kebertanggung-jawaban. Akuntabilitas mengandung dua makna sekaligus, yakni akuntabilitas prosedural/normatif dan akuntabilitras substantif. Akuntabilitas prosedural/administratif mengandung arti bahwa seseorang pemegang mandat menjalankan mandatnya berdasarkan kaidah, aturan, prosedur yang disepakati. Akuntabilitas substantif berarti seorang pemegang mandat selalu mengorientasikan tindakannya pada tujuan dan bertanggung jawab kepada pemberi mandat (publik).
Sama halnya dengan ibadah puasa, komitmen akuntabilitas atau pertanggungjawaban adalah terletak pada dua hal sekaligus, yakni akuntabilitas prosedural (patuh dan mengikuti kaidah fiqh soal puasa) dan akuntabilitas substanstif, yakni menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepekaan sosial. Peran-peran yang diemban oleh manusia dalam kehidupannya akan dapat dipertanggungjawabkan jika semua peran itu didasari oleh nilai kejujuran. Pesan moral dari puasa adalah ketundukan manusia pada Allah SWT; sekaligus mentransformasikan nilai-nilai kejujuran, empati, dan simpati dalam relasi kemanusiaan. Dalam dunia profesi, puasa mengajarkan pada diri profesional muslim untuk akuntabel dan produktif. Setiap ibadah yang dilakukan oleh kaum muslimin mustinya memiliki aspek transformasi kebaikan dalam laku sosial-muamalahnya, itulah hakikat dari Islam Berkemajuan, Islam yang Mencerahkan, Islam yang Solutif, Islam yang Rahmatan-lil-‘Alamiin!
Wallahua’lam bis-shawab.
*Pegawai Bappeda DIY