Ramadhan Momen Keluarga

Keluarga Sakinah

Ilustrasi Keluarga Sakinah Dok SM

Oleh : Arie Nugroho*

Pada akhir tahun 90-an kita sempat mengenal sinetron Keluarga Cemara. Sinetron yang diambil dari karya Arswendo ini bisa menjadi gambaran keluarga yang ideal. Di sana kita dapat belajar tentang makna ketulusan, keikhlasan, kesederhanaan, kesetiaan, kerja keras, kerja sama dan kasih sayang dalam keluarga. Kalau dalam bahasa Islam, kita menyebutnya keluarga sakinah, yaitu keluarga yang tentram dan tenang. Ketentraman dan ketenangan yang didapat karena di dalamnya  ada sikap saling mencintai (mawaddah) dan sikap saling menyayangi (rahmah). Itulah yang kita doakan setiap kita yang akan berkeluarga. Itulah harapan kita berkeluarga. Ramadhan ini bisa kita jadikan momentum yang tepat untuk mengingat kembali tentang semua itu. Kalau dalam bahasa Stepen R. Covey, Ramadhan ini saat yang tepat untuk “mengasah gergaji” kita. Merenungkan, merebahkan hati dan pikiran, untuk kembali menghayati kembali makna dan tujuan kita berkeluarga.

Sekarang mari kita mulai gali secara teori untuk mendapatkan keluarga sekelas Keluarga Cemara dalam perspektif Islam. Bukan lagi Keluarga Cemara dalam sinetron tersebut yang kita tuju, tapi lebih dari itu, Keluarga Cemara yang tegak di atas tauhid yang benar dan kuat. Keluarga yang tidak hanya bahagia di dunia, akan tetapi juga keluarga yang bisa berkumpul di Surga nanti.

Allah swt. berfirman : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim : 6)

Allah swt. sudah mewanti-wanti kita untuk menjaga baik-baik diri dan keluarga kita dari api neraka. Dengan kata lain, yang kita perhatikan dari sebuah keluarga tidak melulu perihal materiil, nama baik di masyarakat, ataupun gelar kehormatan, akan tetapi juga hal-hal yang menyangkut kehidupan spiritual kita. Bahasa yang kita gunakan dalam komunikasi bukan hanya bahasa akal, tapi juga kita gunakan bahasa iman.

Meninjau Kembali Keimanan Kita

Pada awal tahun 2000-an, paham pluralisme masih sebatas pemikiran yang ramai diperbincangkan. Seminar-seminar tentang multikulturalisme banyak dijadikan tema pembicaraan. Jika waktu itu masih sebatas wacana, namun sekarang pemikiran tersebut sudah berkembang menjadi tindakan. Bahkan oleh pemerintah dijadikan dasar berpikir untuk menciptakan toleransi. Dunia, khususnya Indonesia, sedang kebingungan menghadapi masalah konflik agama, sehingga muncullah pemikiran dekonstruktif yang mengajak umat beragama untuk menyamakan pemikiran bahwa pada dasarnya tuhan kita sama, tujuan kita, namun cara penyebutan dan pengabdian kitalah yang berbeda. Semua umat beragama akan selamat dengan bekal kebaikannya masing-masing.

Jika paham pluralisme yang berkembang mengarahkan kita untuk menjadi seperti itu, maka Ramadhan ini saat yang tepat untuk mencerna kembali dengan akal sehat kita, merenungkan lagi apa efek yang lebih luas dari paham tersebut selain sekedar kata perdamaian yang semu itu. Jangan sampai diawal kita begitu permisif dengan pilihan agama anak kita, atau setidaknya pilihan calon istri/suami dari anak kita, tapi kemudian hari tatkala anak mati kita meributkan anak akan dimakamkan dengan syariatnya apa, dengan model pemakaman agama apa. Sebagaimana yang baru-baru ini telah menimpa salah satu artis kita. Pun demikian, kita tidak boleh memaksakan keimanan seseorang. Kita tidak bisa memaksa orang harus sepemahaman dengan kita. Mengingatkan berbeda dengan membiarkan. Mengingatkan juga berbeda dengan memaksakan.

Keluarga cemara yang kita inginkan adalah keluarga yang dilandasi dengan tauhid. Tuhan kita, Allah, tidak semata-mata Tuhan juga yang menciptakan ummat manusia seluruh (baca : tauhid rububiyah), tapi juga Tuhan yang sama juga Yang kita sembah, Yang kita mintai pengampunan,  Tuhan yang kita harapkan mengabulkan doa-doa kita (baca : Tauhid ilahiyah). Keimanan membutuhkan penegasian terhadap sembahan-sembahan lain (selain Allah swt) untuk bisa mengakar kuat ke dalam lubuk hati kita. Dari keimanan yang menghujam kuat ini akan lahirlah sikap-sikap positif dan produktif, tidak hanya berefek baik bagi keluarga sendiri tapi juga bagi lingkungan sekitarnya. Positif dan produktif karena keimanan membawa keselamatan pada diri, dan membawa konsekuensi untuk turut berperan menyelamatkan juga orang lain, setidaknya bagi keselamatan anggota keluarga kita (QS. At Tahrim : 6).

Meninjau kembali Ibadah Kita

Ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Bulan yang didalamnya pahala-pahala ibadah kita dilipatgandakan oleh Allah swt. Sehingga kita pun jadi bersemangat beribadah di bulan suci ini. Akan tetapi, semangat keberibadahan kita ini marilah kita seimbangkan dengan meninjau kembali dasar keilmuan praktek ibadah kita. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beribadah tidak sesuai dengan perintah kami, maka ia (ibadah) akan tertolak.”

Jangan sampai kita GR telah melakukan banyak amalan tapi nantinya kita buntung, tidak mendapatkan apa-apa dari amalan kita. Allah swt. mengingatkan kita :

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)

Keluarga merupakan tempat yang paling tepat untuk mendiskusikan dasar-dasar amalan kita. Sesama anggota keluarga bisa saling mengingatkan. Jika kita melihat istri kita saat wudhu hanya membasuh dahinya saja, atau melihat suami membasuh rambut 3 kali sampai basah kuyup,  maka sebaiknya diajak kembali membaca Himpunan Putusan Tarjih perihal wudhu. Apakah iya seperti itu yang diperintahkan dan dicontohkan Nabi Muhammad saw. Atau jika kita melihat adik atau kakak kita saat duduk tasyahud menggerak-gerakkan jari telunjuk, kita bisa mempertanyakan apa dalilnya.

Mempelajari fiqh ibadah praktis selain memperkuat dasar peribadatan kita, juga mampu membuka pikiran kita bahwa ada banyak tafsir tentang suatu hadist yang menjadi dasar amalan. Semakin banyak kita mengenal macam-macam tafsiran, akan semakin dewasa kita dalam menyikapi perbedaan. Dan saya kira ini akan baik sekali bila dimulai dari dalam rumah. Sehingga begitu keluar rumah, tatkala kita melihat ada yang celananya harus dilinting saat shalat, ada yang cingkrang, ada yang mepet-mepet kita saat berjamaah, ada yang duduk tasyahud akhirnya beda, kita tidak perlu gamang, menyalahkan atau bahkan jadi minder saat kita berbeda dari yang lain. Perihal pemahaman mengenai jamak dan qashar sangat baik juga diselesaikan ditingkat keluarga, sehingga saat berpergian tidak ada diskusi lagi kapan harus jamak dan kapan harus qashar.

Dari Kemandirian Menuju Kesalingtergantungan

Setelah kita merefleksi aspek keberagamaan kita di dalam keluarga, sekarang kita seimbangkan dengan merefleksi juga aspek kehidupan sosial kita. Keluarga adalah struktur sosial terkecil kita. Sehingga keluarga bisa kita jadikan ukuran keberhasilan aktifitas sosial kita di luar sana. Jika kita berhasil di keluarga, maka itu bisa menjadi modal besar untuk bisa sukses di luar sana. Tapi rasanya hanya akan menjadi keberhasilan semu saja kita di luar sana apabila keluarga sendiri berantakan tidak terurus.

Keluarga  terbentuk dari kolaborasi 2 orang manusia yang mengikatkan diri ke dalam ikatan suci melalui pernikahan. Kolaborasi yang ideal adalah kolaborasi yang menghasilkan manfaat yang lebih besar dibanding saat berdiri sendiri. Kolaborasi yang sinergis. Bila dengan tangan sendiri kita bisa mengambil kelereng 10 biji, maka dengan bersinergi dengan orang lain kita bisa mengambil 20 biji, 50 biji atau bahkan 100 biji.

Sinergi hanya mungkin terjadi bila tidak ada dominasi. Masing-masing berdiri di atas kemampuan uniknya sendiri-sendiri.  Dengan kata lain, jika kita bicara lingkup keluarga kita bisa sebut bahwa keharmonisan akan terbentuk jika tidak ada dominasi di sana. Maka menjadi wajib bagi insan-insan yang akan mendirikan sebuah keluarga harus memulai dari kemandirian diri sendiri dulu. Tanpa bekal kemandirian ini seseorang hanya akan menjadi sub ordinat pihak lain. Mandiri artinya tidak memiliki rasa ketergantungan dengan orang lain. Jadi mari kita tinjau ke dalam diri sendiri, periksa baik-baik diri sendiri, ada rasa ketergantungan nggak diri kita pada manusia lain? Bukankah kita semestinya hanya bergantung kepada Allah swt. ?

Penulis cukup sering menjumpai kasus dalam keluarga yang tidak berimbang. Biasanya yang lemah memang ada pada sisi wanita. Dan biasanya karena faktor pasif dalam ekonomi. Kebanyakan istri yang pasif, atau tidak bekerja, lambat laun akan menjadi pihak yang sub ordinat. Apabila hal ini terus menerus terjadi dan tidak ada upaya untuk membebaskan diri, akan menjadi penyakit kronis. Dirinya menjadi amat ketergantungan. Bahkan tatkala dianiaya dirinya tidak bisa berlepas diri. Dirinya menjadi sosok yang amat lemah tertindas.

Kemandirian bukan melulu persoalan Anda bisa nyari uang sendiri atau tidak. Kemandirian itu lebih ke sikap bahwa Anda hanya boleh tunduk kepada Yang Maha Kuasa. Jika pilihan Anda adalah menjadi ibu tangga murni, hal itu semata-mata didasari sebuah kesepakatan dengan pasangan Anda, karena melihat pasangan Anda juga memerlukan diri Anda berposisi seperti itu. Ingat, kata kuncinya adalah pasangan Anda memerlukan Anda. Di sinilah letak kesalingtergantungan itu.

Tentu masih banyak sekali yang bisa kita gali tentang teori dalam mencapai kesuksesan berkeluarga. Akan tetapi keterbatasan ruang tulisan menjadikan tulisan ini kita cukupkan sampai di sini. Sebagai kalimat penutup, seringkali dalam pengajian kita mendengar ustadz menyampaikan bahwa kehidupan dunia adalah ladang yang mestinya kita tanami untuk bekal di akhirat nanti. Bila ladang itu kita tanami rumput, jangan berharap kita akan mendapatkan padi. Untuk mendapatkan padi kita harus menanam padi meski dengan konsekuensi kita pun akan mendapatkan rumput yang mesti kita basmi.


*Alumni IMM BSKM

Exit mobile version