Gelar Bedah Buku, Uhamka: Muhammadiyah dan NU Satu Keturunan

Dahlan, Hasyim,

Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari

JAKARTA, Suara Muhammadiyah- Kiprah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai dua organisasi besar di Indonesia sudah tak diragukan lagi. Meski memiliki corak dakwah yang tak sama, namun keduanya lahir dari tokoh pendirinya yang masih dalam satu keturunan dan satu perguruan. Hal ini seperti disampaikan oleh Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Zamah Sari.

“Kakek dari KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari sama. Yaitu Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishak. Keduanya juga memiliki referensi dan acuan Islam yang sama karena keduanya memiliki guru yang sama yakni Syeikh Ahmad Khathib Al-Minankabawi,” tutur Wakil Rektor Uhamka ini di sela kegiatan Bedah Buku di Sekolah Pascasarjana Uhamka, Kamis (15/6).

Senada dengan hal tersebut, Dosen UIN Sunan Kalijaga Munir Mulkan juga menilai bahwa Muhammadiyah dan NU memang terikat. “Muhammadiyah dan NU memanglah terikat karena sesungguhnya satu guru satu pengetahuan. Satu di antara kebiasaan yang terikat yakni mengenai majelis taklim,” ujarnya.

Selain menghadirkan Munir Mulkan, bedah buku bertajuk “Meluruskan Sejarah Muhammadiyah-NU” yang ditulis oleh dosen Uhamka, Maman A Majid ini juga dihadiri oleh Direktur Pascasarjana Uhamka Abdul Rahman A Ghani, serta budayawan, Mohammad Sobari.

Direktur Pascasarjana Uhamka, Abdul Rahman A Ghani mengapresiasi terselenggaranya kegiatan tersebut. Menurutnya, hal ini dapat dijadikan sebagai budaya dosen dalam menulis yang dapat menyokong akreditasi program studi serta institusi sendiri.

“Mudah-mudahan budaya menulis buku bakal ditularkan jadi budaya dosen-dosen di Uhamka,” ungkapnya.

Sementara itu, Penulis Maman A Majid menuturkan bahwa dilihat dari sejarahnya, Muhammadiyah dan NU pada dasarnya satu perguruan. Namun yang menjadi awal perpisahan keduanya yakni perbedaan pendapat antara Wahab Hasbullah dan Mas Mansur.

“Wahab Hasbullah mengajak KH Hasyim Asy’ari, sedangkan Mas Mansur menemui KH Ahmad Dahlan. Ini terjadi sekitar tahun 1929. Sejarah ini diungkap di buku ini,” pungkasnya.

Zamah Sari menambahkan, antara Muhammadiyah dan NU pada dasarnya tidak terjadi gesekan dan keduanya memiliki tugas masing-masing.

“Jadi tidak benar ada gesekan. Perdebatan dalam hal pendidikan atau lainnya itu hanyalah soal dinamika anak bangsa dari persepsi yang berbeda-beda. Jangan dipahami sebagai permusuhan. Justru bangsa ini besar karena menghargai keanekaragaman,” tandasnya (kk/ Yusri).

Exit mobile version