Puasa Itu Menahan Diri

Puasa Itu Menahan Diri

Green field and a lonely tree

Oleh: Anggun Gunawan*

Dalam tinjauan lughowi, puasa dalam bahasa Arab punya padanan kosa kata menarik, yakni Ash-Shaum yang memiliki arti “menahan”, yakni menahan diri dari makan dan minum, melakukan hubungan suami-istri serta dari hal-hal yang membatalkan atau merusak puasa seperti berkata bohong, mencuri dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.

Sebelum saya masuk pada pembahasan lebih lanjut, saya ingin memulai tulisan ini dengan 4 cerita yang saya alami sendiri dan beberapa sangat massif diberitakan oleh televisi dan koran.

Di malam 15 Ramadhan kemarin, sehabis tarawih saya menuju ke Mirota Kampus, salah satu pusat perbelanjaan semi supermarket yang ada di kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Parkiran penuh sehingga saya harus memarkir motor saya di parkiran toko tetangga Mirota Kampus. Dan memang benar, orang hiruk sesak membeli berbagai keperluan. Bahkan antrian kasir paling pendek harus menunggu 7 orang. Karena belanjaan saya cuma kertas kado dan beli satu bungkusan kecil buah, akhirnya saya bisa selamat tidak menghabiskan banyak waktu di pusat perbelanjaan itu.

Hal yang sama juga saya alami, ketika malam habis tarawih di awal-awal Ramadhan beli 1 pcs baju koko. Karena baju koko terbaru yang saya punyai adalah baju yang saya beli 3 tahun yang lalu. Menurut saya, baju koko seharusnya dibeli di awal Ramadhan. Karena kemenangan itu sebenarnya sudah harus dimulai dengan berjuang sejak hari-hari awal Ramadhan. Ketika menyabangi Mirota Kampus di awal-awal Ramadhan itu, parkiran juga penuh. Antrian kasir juga panjang.

Dan menariknya, suasana di pusat perbelanjaan ini akan semakin marak di malam takbiran. Jubelan orang akan semakin sesak. Parkiran pun akan meluber sampai memakai jalan. Artinya, dari mulai Awal Ramadhan, Pertengahan Ramadhan sampai akhir Ramadhan tingkat konsumsi masyarakat selalu stabil di level tinggi.

Beberapa hari yang lalu, mata saya terpapar oleh siaran entertainment yang menanyangkan kegiatan Ramadhan Selebriti. Yang membuat saya terpana adalah salah satu “scene” yang menampilkan pasangan selebriti yang sebenarnya sudah taubat dari dunia keartisan karena ngaji di komunitas Salafi. Pasangan “mantan artis” ini hijrah dengan istiqomah dan penuh bangga dengan stye-lan pakaian jingkrang dan jenggotan, sementara yang perempuan memakai cadar. Menarik bagi saya adalah di bulan Ramadhan ini mereka sengaja berkunjung ke Eropa dan membiarkan para awak program infotainment meliput kegiatan-kegiatan mereka. Padahal saya tahu betul bagaimana teman-teman ngaji saya di Salafi dulu menyembunyikan istri mereka dari ruang publik dan saya tahu betul bagaimana beberapa ustadz Salafi saya sangat anti yang namanya TV. Bahkan dalam banyak kajian saya cukup kenyang dengan ungkapan “Buat Keluarga Muslim, Punya TV di rumah itu Haram”. Jika pasang TV haram bagaimana hukumnya malah dengan senang hati menjadi aktor dari program infotainment gossip?

Di bulan Ramadhan ini para selebriti bahkan harus berbuka dan sahur di lokasi syuting demi meraih rating tontonan yang tinggi. Para ustadz dipaksa begadang untuk menjadi juri acara lomba da’i tingkat Asia Tenggara. Yang jam tayang-nya dimulai tengah malam hingga waktu sahur. Semua program dibuat sebagus mungkin untuk meng-attrack masyarakat terus nonkrongin TV dari Sahur sampai Buka, dari Sholat Shubuh sampai Sholat Tarawih. Sehingga saya-pun bertanya-tanya, bukankah di bulan Ramadhan yang disunnahkan itu lebih banyak menghabiskan waktu di Masjid dibandingkan menghabiskan waktu pelotitin TV?

Realita terakhir yang ingin saya sampaikan adalah berbagai sidang kasus korupsi yang di berbagai pengadilan tindak pidana koruspi yang ada di Jakarta yang menjerat nama pemimpin-pemimpin Islam, serta penangkapan Jaksa di Bengkulu dan Anggota DPRD di Jawa Timur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Empat kisah di atas hendak saya bawa dalam telaahan 4 makna puasa yang seharusnya menjadi target dari setiap muslim dalam setiap bulan Ramadhan.

Menjauhi Popularitas dan Pamer

Ibadah puasa adalah ibadah yang sangat jauh dari sisi pamer dan popularitas. Apalagi apabila dalam sebuah daerah hampir semua masyarakat muslim dan sama-sama menjalankan ibadah puasa. Sehingga tidak ada sisi riya yang bisa ditonjolkan dalam prosesi puasa di bulan Ramadhan. Berbeda dengan ibadah Sholat, Zakat, Haji yang secara lahiriyah tampak oleh mata manusia. Tetapi khusus untuk ibadah puasa, sisi pamernya sangat sedikit. Oleh karena itulah Allah memberikan pahala yang tak terbatas kepada siapapun yang berpuasa dengan iman dan ikhlas.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)

Sehingga berdasarkan filosofi “penyembunyian amal” itulah yang membuat Allah memberikan reward yang tidak terbatas kepada orang-orang yang berpuasa.

Jujur

Kejujuran adalah nilai yang diajarkan puasa kepada kita. Meskipun tidak diketahui oleh orang lain, muslim yang taat melakukan puasa tidak akan memanfaatkan momen berwudhu’ untuk sedikit menelan air mengobati hausnya di tengah hari saat panas terik. Bahkan yang sering dilakukan oleh orang yang berpuasa setelah berwudhu adalah sering meludah untuk memastikan tidak ada satu tetes airpun yang masuk ke kerongkongan. Ia tidak akan mencuri start berbuka hatta barang satu detik. Dan tidak akan melambatkan waktu sahur hatta satu detik. Bahkan untuk kehati-hatian, di Indonesia ada  jadwal Imsakiyah yang berdurasi 10 menit sebelum adzan shubuh yang sesungguhnya menjadi waktu syar’i untuk memulai menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.

Dengan sangat keras Allah mengancam para pelaku kebohongan meskipun mereka mampu menahan makan, minum dan syahwat biologis. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)

Sederhana

Puasa sebenarnya adalah momen bagi setiap muslim untuk melakukan perubahan kebiasaan dari sifat boros dan rakus menjadi pribadi-pribadi yang sederhana, terutama sekali dalam hal konsumsi makanan. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).

Kesederhanaan menu makan Rasulullah sangat tampak dari testimoni yang disampaikan oleh Anas bin Malik:

“Aku belum pernah melihat Rasulullah saw memakan roti tipis halus lagi empuk hingga beliau wafat, juga tidak pernah melihat beliau memakan daging kambing yang dipanggang hingga beliau meninggal.”

Bila kita renungi sungguh indah bagaimana Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berlaku tidak berlebihan dalam berbuka meskipun rasa lapar mencapai puncaknya setelah perut menahan lapar selama belasan jam. Hanya beberapa butir kurma dan seteguk air putih. Dari spirit perlawanan terhadap sifat rakus inilah kemudian Rasulullah hidup dengan penuh kesederhanaan di luar bulan Ramadhan dan bisa men-tarbiyah komunitas sahabat-sahabat yang tidak tergiur dengan kelezatan dunia hatta itu ketika pintu-pintu kenikmatan dan rezeki dibuka seluas-luasnya oleh Allah.

Wara’

Secara sederhana, wara’ bisa diartikan sebagai sikap hidup hati-hati dari hal-hal yang diharamkan dan meragukan atau “syubhat”. Puasa melatih orang-orang yang beriman bahkan tidak saja menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan, bahkan menahan dirinya untuk mencicipi, menikmati, dan melakukan hal-hal yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah pada waktu di luar jadwal “menahan”.

Dalam konteks korupsi, hal-hal yang syubuhat itu bisa berupa pemberian dari orang lain baik itu dalam jumlah yang besar maupun dalam jumlah yang kecil. Suap sebagai salah satu bentuk korupsi meniscayakan syarat. Artinya, ketika seseorang menghadiahkan sesuatu dengan pretensi sesuatu yang sifatnya politik, pengaruh dan kekuasaan, maka ia sangat rentan tergelincir pada peringatan yang diwanti-wanti oleh Rasulullah:

‎ عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Lihat Irwa’ Ghalil 8/244].

Meskipun menerima hadiah merupakan sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam, tetapi hadiah yang sifatnya karena wibawa jabatan dan politik seharus bisa dihindari jauh oleh pemimpin dan orang-orang beriman sebagai bagian dari sikap wara’ mereka terhadap pemberian yang tendensius.

Kisah terdekat yang dalam konteks Indonesia yang bisa dijadikan sebagai ibrah oleh para pemimpin umat, penyelenggara negara dan generasi muda terkait sikap wara’ ini adalah kisah yang pernah dialami oleh Jenderal Dr. A.H. Nasution.

Ny. Johanna Sunarti Nasution (istri Pak Nas) sebagaimana diungkapkan dalam buku Bakri A.G. Tianlean mengatakan, suatu kali Pak Nas ada acara sehingga ia menggunakan kendaraan yang tidak biasanya. Kemudian, Pak Nas bertanya kepada sopir, Sersan Sutrisno, “Ini bukan mobil saya. Ini mobil siapa?” Sopir menjawab, “Ini mobil dari Pak Hasjim Ning untuk Bapak”. Hasjim Ning adalah seorang pengusaha pribumi-muslim terkemuka. Kata Pak Nas, “Saya tidak pantas dibantu. Masih banyak orang lain yang perlu dibantu. Bisa saja mobil ini dijadikan uang dan disumbangkan kepada anak yatim piatu. Saya minta mobil ini dikembalikan” ujar beliau. Dengan disertai permintaan maaf, mobil hadiah Hasjim Ning untuk Pak Nas dikembalikan (Buku “Islam dan Muslim di Negara Pancasila, Fuad Nasar, Gre Publishing – 2017).

Semoga Ramadhan kali ini bisa menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang menjauhi popularitas dan riya’, menguatkan sifat jujur, melatih diri menjadi pribadi yang sederhana, dan tak gampang tergiur dengan godaan dunia dengan mengedepankan sikap wara’. Amiin.


*Pengurus ICMI DI. Yogyakarta

Exit mobile version