Ikhlas Memberi, Ikhlas Menerima

Ikhlas Memberi, Ikhlas Menerima

Oleh : Amalia Ulinnuha*

Ramadhan merupakan bulan istimewa yang kehadirannya dinantikan banyak insan. Tentu, pertemuan kita dengan bulan Ramadhan perlu kita syukuri. Karena di bulan ini setiap insan berlomba-lomba untuk mendapatkan memberi. Ya, saya rasa memberi adalah sifat naluriah seorang manusia. Memberi adalah bukti manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, sekaligus makhluk religius.

Sederhananya di bulan ini kita akan melihat orang-orang memberi bingkisan lebaran untuk sanak-saudara maupun kolega, memberi santunan untuk anak yatim, bahkan memberi makanan untuk berbuka dan sahur menjadi pemandangan yang tak asing. Pada hadits riwayat Tirmidzi disebutkan bahwa siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga. Tentu kita semua juga ingin mendapatkan pahala itu, walau hanya dengan seteguk air maupun sebiji kurma.

Memberi tentu bukan hal yang sulit, meski juga tidak mudah. Ikhlas dalam memberi merupakan tantangan tersendiri bagi para pemberi. Ada satu perasaan ringan dan tenang yang luar biasa jika kita bisa melakukannya. Sudah banyak kita baca maupun kita dengar nasihat tentang nasehat untuk ikhlas. Namun, nyatanya kita kerap kesulitan melakukan atau menjaganya. Padahal ikhlas merupakan kunci diterima atau tidaknya amal kita.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S Al-Baqarah: 274).

Pada ayat tersebut bisa kita jadikan pegangan bahwa orang yang memberi (dengan ikhlas) tidak akan khawatir dan merasa bersedih hati. Hal itu bisa jadi tolak ukur kadar keikhlasan kita apakah benar-benar kita mampu memurnikan segala bentuk amalan kita hanya semata-mata mengharap ridho Allah SWT. Keihlasan dalam memberi bisa kita latih dengan beberapa cara.

Pertama, tentu semua berawal dari niat. Niat kita saat memberi tentu harus kita bersihkan dari rasa ingin dipuji maupun ingin dibalas. Artinya kita melepaskan diri dari ikatan bergantung dan menanti balasan kembali dari si penerima.  Niat yang baik ini bukan hanya diucapkan dalam hati tapi harus dibuktikan. Tak jarang seperti iman yang sering pasang-surut, niat juga seperti itu. Kadang kita merasa sudah berniat dengan tulus ikhlas tapi ada saja godaan yang mengikis niat itu. Untuk itu segerakan niat baik kita, tidak perlu menghitung langkah terlalu panjang apabila kita berbagi rezeki hari ini insyaallah esok Allah beri lagi rezeki untuk kita.

Kedua, niat baik tentu harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Kita harus pastikan memberi dari sumber yang halal. Kita tidak boleh memberikan sesuatu dari sumber yang kita sendiri tidak yakini kehalalannya seperti barang temuan. Selanjutnya, masih tentang cara tentunya kita tidak boleh merendahkan orang yang kita beri baik itu dengan sikap, perkataan, bahkan hanya tatapan mata.

Ketiga, tidak riya’ dan takjub dengan diri sendiri. Bagi saya sendiri ini adalah bagian tersulit dalam melatih diri untuk ikhlas. Dua hal ini tanpa sadar sering kita lakukan. Di zaman serba maya ini kita harus pandai-pandai mengendalikan diri agar tidak tergelincir pada riya’. Hal yang perlu lagi kita hindari adalah takjub pada diri sendiri. Ini adalah perang batin yang harus kita hadapi. Bagaimana kita menghindarkan diri dari rasa telah melakukan amalan yang luar biasa sehingga berbangga merasa menjadi orang baik. Kita harus terus bertafakkur dan melatih diri untuk ikhlas. Ikhlas dalam memberi artinya kita menyadari bahwa Yang Maha Pemberi itu adalah Allah semata, sedangkan kita hanyalah perantara. Kita wajib bersyukur kepada Allah hanya karena izin Allah kita bisa memberi.

 “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah [2]: 264).

Nah, pada bagian akhir ini saya akan sedikit berbagi tentang ‘ikhlas menerima’. Pada bagian sebelumnya, saya sebut memberi itu bagian dari naluriah manusia, lalu bagaimana dengan menerima?

Seorang fakir yang selalu bersyukur diberi nikmat dari Allah lewat tangan-tangan kita, saya yakin dalam hati dia juga sangat berkeinginan untuk memberi. Lalu jika suatu sore seorang fakir tersebut datang ke rumah kita memberi tempe goreng yang sedikit layu di dalam kantong plastik yang kumal, apa reaksi kita? Serta mertakah kita dengan senyum haru mengucap terima kasih? Bagaimana jika kita diberi oleh seorang yang kita anggap lebih rendah, tidak pantas memberi? Atau jika pemberiannya kita anggap tak layak untuk kita, kita pantas dapat pemberian yang lebih baik? Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, sebuah pepatah yang tak hentinya didengungkan turun-temurun. Potensi ‘memberi’ diajarkan dan dilatih sedemikian rupa tapi kita sering gagap dalam menerima. Dalam menerima tidak luput dari perlunya keikhlasan hati dan syukur nikmat. Bahwa apapun yang kita terima itu adalah bagian dari nikmat Allah untuk kita.


*Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY, Guru Muda Muhammadiyah

Exit mobile version