Oleh: Abdulmuluk Attim*
Pada abad ke-6 Masehi, telah disebarkan firman agung melalui seorang utusan yang membawa risalah keNabian. Diceritakan pula bahwa sang utusan telah dinanti kedatangannya oleh setiap kaum yang meyakini agama samawi dalam sanubarinya, entah bagaimana tanggapan mereka setelah ajaran tersebut tersebar. Mengapa dinanti-nanti? Karena sang utusan hadir untuk menjadi penyempurna agama-agama sebelumnya. Menggenapi kedatangan serta tugas mulia para utusan terdahulu. Mengajarkan syariat Islam, seluruh tata aturan mengenai kehidupan yang akan menjadi landasan peradaban yang tepat dimulai ketika sang utusan menggigil sepulang dari gua dan diselimuti oleh istri tercinta.
Dialah Muhammad SAW, sang khataman Nabi yang tidak ada Nabi serta Rasul sepeninggal beliau. Seorang manusia yang agung, kekasih Allah, yang senantiasa memikirkan umat manusia, mereka yang beliau katakan sebagai saudara-saudaranya hingga akhir hayat di ujung dada. Ummati, ummati, ummati, setidaknya kata tersebut yang senantiasa kita ingat dan menjadi kisah indah yang terjaga hingga saat ini.
Rasulullah SAW merupakan insan yang senantiasa berkasih sayang terhadap sesama. Tak jarang kita dengar bagaimana kisah lemah lembutnya beliau terhadap kaum yang lemah. Mulai dari kisah nenek yahudi yang senantiasa disuapinya, seorang badui yang ditanggapi dengan lembut ketika meminta bagian dari harta Allah yang ada pada beliau, hingga ketenangan kepribadian penuh rasa maaf yang sangat ketara ketika dimaki, dihina dan dilempari sedemikian rupa oleh penduduk suatu kaum. Sungguh uswatun hasanah mana lagi yang patut dijadikan contoh selain beliau sebagai manusia yang paling sempurna akhlaknya.
Kisah keteladanan Rasulullah Muhammad SAW pada kemudian hari tidak hanya menginspirasi kaum muslim sebagai pemeluk agamanya. Pengakuan pun datang dari para tokoh barat yang menjadikan beliau sebagai orang paling berpengaruh nomor satu di dunia. Hal inilah yang kemudian kita rasakan sebagai bumbu manis umat muslim yang memberikan rasa berbeda dalam peradaban dunia. Tak ayal kesadaran untuk berislam tumbuh lewat akhlak yang ditunjukkan. Tentunya kita tak lupa kisah seorang nenek tua yang masuk Islam setelah melihat akhlak anak seorang imam masjid di Negara barat sana ketika memberikan buletin pada saat malam musim dingin terjadi.
Pertanyaannya kemudian, dari manakah kita bisa mengetahui seperti apa akhlak seorang muslim dan bagaimana ia terbentuk? Jawabannya adalah dengan kembali kepada al Qur’an dan Hadits.
A.M. Sangadji dalam buku HOS Cokroaminoto (Hidup dan Perjuangannya) menyampaikan, “Tidak ada lain agama di dunia melainkan Islam sajalah yang bisa menunjukkan, bahwa Kitab Sucinya (Qur’an) yang sampai kepada pemeluk-pemeluknya hingga pada dewasa ini, tetaplah Kitab Sucinya itu didalam kesuciannya yang semula. Apabila Allah Ta’ala berkenan menyatakan kemauan-Nya kepada manusia dengan perantaraan rupa-rupa Nabi lebih dulu sebelum Nabi kita Muhammad SAW, dan apabila nyata bahwa Kitab-Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi-Nabi yang duluan itu, ada setengahnya yang sudah lenyap sama sekali dan setengahnya pula menjadi rusak lantaran dari perubahan-perubahan bikinan manusia, maka sudah tentulah ada sesuatu lagi yang diturunkan oleh Allah Ta’ala buat mengganti Kitab-Kitab Suci yang sudah lenyap dan sudah mejadi rusak itu.”
Selain itu, pada salah satu bagian dari kitab Khutbatan min kunuz ad-durar wa jawami al-Kalim karya Muhammad Khalil Khathib yang membahas mengenai Takwa, Silaturahim dan Sedekah dijelaskan bahwasannya Rasulullah SAW pernah berkhutbah dengan matan sebagai berikut,
Dari Abu Salamah ibn Abdurrahman ibn Auf r.a., bahwa Rasulullah SAW pernah berkhutbah di Madinah
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya segala puji hanyalah bagi Allah semata. Aku senantiasa memuji dan memohon perlindungan kepada-Nya. Kita senantiasa berlindung kepada-Nya dari kejahatan nafsu kita dan dari keburukan perbuatan kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan (oleh-Nya) maka tak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk padanya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah seata yang tiada sekutu bagi-Nya.
Sesunggunya sebaik-baik petunjuk adalah Kitabullah. Sungguh beruntung dan berbahagialah orang yang di dalam hatinya diperindah oleh Allah dengan al Qur’an lalu Allah memasukkan dia ke dalam agama Islam setelah kekufuran. Dan Allah (juga) telah memilih al Qur’an atas berbagai ucapan manusia. Sesungguhnya al Qur’an adalah firman yang terbaik dan terfasih. Maka cintailah orang yang mencintai Allah, dan cintailah Allah dari lubuk hati kalian yang paling dalam.
Janganlah kalian merasa bosan terhadap firman Allah dan peringatan dari-Nya, dan janganlah hati kalian menjadi keras sehingga jauh darinya. Karena sesungguhnya orang-orang yang telah dipilih Allah itu dirinya telah disebut sebagai orang yang terbaik amalnya, sebagai hamba-Nya yang terbaik, sebagai orang yang baik ucapannya, dan termasuk orang yang paling mengerti terhadap halal dan haram. Maka sembahlah Allah, dan janganlah sekali-kali menyekutukan-Nya dengan seseuatu apapun.
Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, jujurlah kepada Allah agar selalu baik apa yang kalian ucapkan, dan saling mencintailah kalian atas nama keridhaan Allah. Sesungguhnya Allah akan murka manakala janjinya dilanggar. Wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh”. [Al Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, jil., 3 hlm. 213]
Al Qur’an merupakan pedoman dalam perubahan hidup peradaban dunia. Dimulai dari zaman jahiliyah yang berubah menjadi peradaban Madinah, hingga kini al Qur’an makin banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan menjadi konsumsi yang memuaskan dahaga spiritual penduduk di banyak Negara. Semuanya dimulai dari mengenal al Qur’an dan mengamalkannya. Menghiasi akhlak dengan al Qur’an, hal inilah yang menjadi faktor utama dari tumbuh berkembangnya peradaban Islam sejak masa lalu.
Pada akhirnya, semoga Allah memberikan kita semangat untuk senantiasa mengkaji al Qur’an, membukakan hati yang kotor ini agar dapat menerima cahaya yang dipancarkan darinya, sehingga dapat memaknai al Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, melainkan juga dapat mengamalkannya sebagai cerminan yang senantiasa menghiasi diri. Mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan, bahu membahu membangun peradaban Islam!
Fastabiqul khairat!
*Ketua PK IMM Al Khawarizmi UGM