Suara Muhammadiyah-Umurnya sudah 67 tahun. Bukan usia ideal sebagai seorang guru TK, yang harus selalu aktif, enerjik dan ekspresif. Kiprahnya membuktikan bahwa usia bukan penghalang bagi niat tulus mencerdaskan anak bangsa. Baginya, berpangku tangan bukanlah pilihan. Dan pengabdian hanya membutuhkan ketulusan.
Sekolah Darurat Kartini yang digagas ibu guru kembar, Sri Rossyati (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian), kerap menjadi role model sekolah di daerah marjinal kota dan pedalaman. Sekolah yang meliputi PAUD, TK, SD, SMP dan SMA itu tersebar di beberapa kolong jembatan di wilayah Jakarta seperti Rawa Bebek dan Ancol. Belakangan, Rossy dan Rian juga membangun sekolah Akademi di kediamannya, Kelapa Gading.
Kamis, 18 Mei 2017 yang lalu, di Universitas Aisyiyah Yogyakarta, keduanya berbagi pengalaman di hadapan ratusan pimpinan Aisyiyah se-Indonesia, yang mengikuti Rembuk Nasional Pendidikan Anak Usia Dini.
Sekolah ini menggratiskan semua biaya. Para siswa mendapatkan segala fasilitas, seperti tas, seragam, buku dan alat tulis. Bahkan, kebutuhan lainnya seperti perlengkapan untuk memasak, berkebun, dan perbengkelan, juga dipenuhi. “Banyak orang yang tanya kepada saya, darimana uang yang diperolehnya untuk membangun sekolah gratis. Saya tegas bilang uangnya dari Allah Swt atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Modalnya awalnya dari keuntungan saya memiliki rumah sakit dan klinik.” kata Rian, kelahiran Yogyakarta, 4 Februari 1950 ini.
Rossy memulai pendirian sekolah itu sejak tahun 1990. “Saya masuk ke situ tahun 90 itu benar-benar tidak beradab. Bahkan ML (Make Love) itu di depan mata saya,” katanya. Di tengah kondisi yang sangat memprihatinkan itu, Rossy memilih bertahan. “Kita ngajar orang itu di kolong jembatan yang lingkungannya itu brutal. Tidak punya santun, tidak beradab. Sudah pelacur. Miskin semuanya. Miskin adab, miskin ilmu, miskin harta. Saya mensikapinya dengan penuh kasih, penuh cinta. Bagaimana pun juga itu adalah bangsa saya sendiri,” tuturnya.
Tahun 1996, Rossy mengajak Rian bergabung membesarkan Sekolah Darurat Kartini. Keduanya memiliki prinsip bahwa mendidik satu anak berarti menyelamatkan masa depan bangsa dan sekaligus mengurangi beban negara. Pendidikan yang digagasnya tidak berhenti pada proses belajar dan mengajar. “Kita ajarkan ketrampilan, kasih modal, kasih gerobak untuk jualan, udah. Gak banyak-banyak juga, saya gak punya duit, bukan konglomerat,” kata Rossy. Biaya yang harus dikeluarkannya untuk membiayai Sekolah Darurat Kartini sekitar Rp 30 juta setiap bulannya.
Sesekali ia menerima bantuan dana. “Saya kalau misalnya dapat uang dari lembaga, saya juga konsultasi dengan KPK, takut saya masuk KPK (penjara). Sound sistem saya yang ngasih KPK. Mungkin KPK-nya kasihan melihat kami muridnya banyak sekali gak punya pengeras suara. Itu zamannya Pak Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK,” papar Rossy yang mengaku ibunya merupakan aktivis Aisyiyah di Padang.
Sekolah yang sudah berusia 27 tahun itu telah banyak berubah dan membawa perubahan. Anak-anak yang dulu ditempa di sekolah ini kini telah menjadi manusia yang seutuhnya dengan karakter dan skill yang mumpuni. Termasuk perubahan pada keseluruhan desa tersebut. “Di tempat itu sekarang sudah ada mushala, sudah ada ngaji, sudah shalat. Alhamdulillah sudah ada yang jadi guru, jadi polisi, ada yang jadi chef,” ungkapnya. Yang lebih membahagiakan ibu kembar adalah karena para lulusan kini sudah bisa menyumbang untuk sekolah. Meskipun tidak kaya, mereka peduli dengan nasib anak-anak seperti yang mereka alami dahulu. (Ribas)