BANJARMASIN, Suara Muhammadiyah-Bertempat di Masjid Muhammadiyah Ar Rahim Jl. Sultan Adam Banjarmasin telah dilaksanakan kajian yang sangat fundamental dan penting khususnya bagi warga persyarikatan. Kajian yang dilaksanakan ba’da Ashar hari Kamis (15/6) tersebut berkaitan dengan manhaj tarjih Muhammadiyah vs Salafi yang digelar oleh Majelis Tabligh dan Majelis Tarjih PD. Muhammadiyah Kota Banjarmasin. Adapun narasumbernya adalah Prof Dr H Ahmad Khairuddin, MAg yang merupakan Rektor Universitas Muhammadiyah Banjarmasin sekaligus Wakil Ketua PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan.
Dalam paparannya, guru besar UIN Antasari Banjarmasin ini menguraikan bahwa sejarah salafi bermula dari Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al Jauzi. Selanjutnya Muhammad bin Abd Al Wahhab dengan gerakan Wahabi, yang lebih senang disebut dengan Muwahhidun. Kemudian di masa modern: muncullah Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha yang mengintegrasikan Islam dengan modernitas. Adapun doktrin salafi yang dianggap menonjol adalah: tauhid, mengikuti sunnah dan menentang bid’ah, al wala wal barra serta taat pada pemerintah.
Lebih lanjut, Ahmad Khairuddin mengatakan bahwa perkembagan Salafi pada tahap berikutnya tidak terlepas dari kerajaan Saudi. Di mana keinginan Saudi mengambil peran dakwah & politik di dunia Islam yang dipengaruhi perkembangan politik di Saudi 1980 – 1990. Contoh: penguasaan Juhayman atas masjidil Haram merubah pola salafisme yang dikembangkan kerajaan Saudi. Dimana Saudi mengkondisikan dan mensubordinasikan tokoh ilmuwan Salafi yakni: Abd al Aziz bin Baz, Nashiruddin al Bani, Muhammad bin Shalih Usaimin dan Kabi ibn Hadi al Madkhali.
Salafi dalam tahap awal hanya berorientasi pada pemurnian pada aspek akidah saja, tetapi belakangan salafi juga berorientasi pada aspek fiqh/ibadah serta pada aspek simbol juga. Simbol yang dimaksud seperti penggunaan jenggot dan celana cingkrak yang menjadi ciri khasnya. Hal tersebut seakan menjadi sebuah kewajiban dalam mengikuti sunnahnya Nabi Muhammad Saw, tambahnya.
Dalam konteks ini menurut Prof Khairuddin bahwa Muhammadiyah pada dasarnya punya hubungan yang erat dengan para tokoh salafi di atas. Yakni ketika Muhammad Darwis yang pergi menuntut ilmu ke Mekkah yang kemudian hari berubah nama menjadi Ahmad Dahlan banyak terinspirasi tokoh seperti Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Sehingga sekembalinya ke tanah air, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912. Jadi dalam hal ini bisa disebut sebagai gerakan salaf juga.
Tetapi Muhammadiyah melalui majelis Tarjihnya telah menetapkan manhajnya sebagai jalan berfikir dalam mengambil istinbath hukum. Selain merujuk kepada Alquran dan Sunnah Maqbullah, Muhammadiyah juga tetap menggunakan akal dalam memahami teks dan bersifat kontekstual. Hal tersebut berbeda dengan Salafi yang bersifat tekstualis dan tidak menggunakan akal dalam memahami teks. Sehingga tidak heran ada oknum dai Salafi di Banjarmasin ada yang mengatakan bahwa Muhammadiyah melakukan bid’ah dengan menetapkan awal Ramadhan melalui metode hisab. Muhammadiyah berpaham bahwa dalil penggunaan metode ru’yah yang dilakukan zaman Nabi Muhammad Saw mengandung unsur ‘illat, ketika ‘illat dapat diatasi seiring dengan perkembangan iptek saat ini, maka metode hisab dianggap lebih tepat dan akurat dala menetapkan awal ramadhan. Bahkan kata Prof. Khairuddin dengan menggunakan metode hisab, umat Islam bisa membuat kalender Islam yang satu di dunia.
Pada kesempatan kajian yang dilaksanakan hingga buka puasa bersama tersebut, seorang mahasiswa PTN di Banjarmasin melakukan prosesi masuk islam. Adalah Derry Claudi binti Mujianto yang berusia 22 tahun kelahiran Marabahan suku Tana Toraja. Mahasiswi yang tinggal di Banjarmasin dibimbing membaca shahadat oleh Prof Dr H Akh. Fauzi Aseri MA selaku Ketua Yayasan Dangsanak Banjarmasin dan disaksikan oleh Prof Dr H Ahmad Khairuddin, MAg selaku Rektor Univ. Muhammadiyah Banjarmasin dan H Khairul Anam SH, MKes selaku Pengurus masjid Muhammadiyah Ar Rahim Banjarmasin. (abdul khaliq)