Oleh: Thoufanie Barikly*
Dua kata yang terpikir di benak ketika mendengar kata “ghibah”, adalah: perempuan dan gosip. Allan dan Barbara Pease (2006: 118) dalam Why Men Don’t Listen and Woman Can’t Read Maps menyatakan bahwa wanita mampu bicara 20.000 kata per hari, sedang pria hanya 7.000 kata. Agaknya ini yang menyebabkan wanita diidentikkan dengan banyak bicara dan jika tidak terkontrol akan berujung pada menggunjing. Selain itu, karakter wanita yang lebih ekspresif dibandingkan lelaki memungkinkan wanita membicarakan segala hal yang ada di benak sebelum dipikirkan secara matang. Pun demikian, bukan berarti pria terbebas dari kebiasaan yang mengurangi amalan Ramadhan ini.
Secara bahasa ghibah bermakna mengatakan sesuatu yang benar tentang seseorang di belakangnya tetapi hal tersebut tidak disukai oleh orang yang dibicarakan. Dari Abu Hurairah, Rosulullah bersabda, “Tahukah kamu apa itu menggunjing?” Para sahabat menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan, “Kamu menyampaikan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.” Ada yang bertanya, “Bagaimana jika yang saya sampaikan itu merupakan (kenyataan) yang terjadi pada diri saudaraku itu?” Nabi saw. Berkata: “Jika yang kamu sampaikan itu benar terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya. Jika tidak terjadi pada dirinya berarti kamu telah berbuat dusta terhadapnya (HR. Muslim dari Aisyah r.a.).
Jika selama Ramadhan kita mampu untuk mengurangi bahkan tidak mengghibah, lalu bagaimana setelah Ramadhan esuk? Terdapat beberapa tips agar terhindar dari kebiasaan mengghibah. Pertama, waspada dalam bersosial media. Di era yang bebas akses sosial media saat ini, sosmed menjadi media empuk untuk menggunjing. Bahkan kita temukan banyak sekali akun sosial media yang justru mendedikasikan diri sebagai sumber ghibah bagi netizen. Semua orang berlomba-lomba menggugat korban gunjingan seolah-olah paling tahu kehidupan orang lain. Sepantasnya hindarkan diri kita membaca artikel atau bacaan apapun yang sarat esensi ghibah.
Selain itu, terkadang orang menggunjing karena ada kesempatan. Bagaimana maksudnya? Di masa digdaya media ini, bisa jadi postingan kita yang kurang pantas sebagai konsumsi publik menjadi bahan gunjingan bagi orang lain. Foto – foto yang kita upload, caption yang kita tulis, dalam satu kali “klik” dapat dilihat oleh orang lain dengan berbagai sudut pandang. Kita dapat mengurangi postingan – postingan yang bisa menimbulkan gunjingan bagi orang lain. Memilah dan memilih mana yang pantas untuk kita bagikan serta mana yang perlu kita simpan sebagai konsumsi pribadi.
Kedua, berkumpul dengan sahabat yang saleh dan salihah. Seperti dalam salah satu lirik kalimat lagu tombo ati, “…berkumpulah dengan orang-orang sholeh”. Lingkungan adalah pembentuk karakter paling ulung. Berkumpul dengan sahabat – sahabat yang saleh dan salihah membuat kita tertular kebaikan. Ketika memiliki sahabat yang antighibah, sedikit demi sedikit kita pasti akan mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan tersebut.
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi, Rasulullah bersabda, “Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”.
Ketiga, intropeksi diri dan saling mengingatkan. Kita sadari atau tidak, ketika sedang menggunjing, kita sebenarnya sedang berlaku sombong. Kita merasa diri kita adalah mahluk yang paling sempurna dan orang lain penuh cela. Padahal belum tentu kita lebih baik dari orang yang kita pergunjingkan. Dan ketika sudah ada kawan yang hendak berubah dari kebiasaan ghibah, jangan menciutkan dirinya dengan komentar kurang menyenangkan seperti, “halah kamu kan dulunya juga suka gosip…”. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk berbenah. Bukankah agama kita juga selalu mengajarkan untuk saling mengingatkan bukan berselisih?
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Q.S. Ali Imran 104 – 105)
Namun, ternyata ada pengecualian diperbolehkan ghibah dalam enam hal. Yakni, ketika mengadukan kezaliman seseorang kepada hakim, permintaan bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat pada kebenaran. Kemudian korban yang terdholimi yang meminta nasihat atau pendapat seseorang yang ahli dan dipercaya agar ia terhindar dari kezaliman itu lagi. Sebagai peringatan atau untuk menasihati sesama saudara muslim agar waspada terhadap suatu keburukan. Seseorang yang melakukan kesyirikan, kemaksiatan, kefasikan, atau bid’ah secara terang-terangan. Terakhir saat memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang telah melekat pada diri seseorang, misal seseorang telah terlanjur dijuluki Si Pincang, Si Juling, dsb. “Apakah si Pincang itu akan ke sini besok?” Tetapi dengan catatn kita belum mengetahui nama asli orang tersebut dan tidak ada maksud menjelekkan selain karena masyarakat telah terlanjur mengenalnya dengan ciri tersebut. (Disadur dari Riyadhushsholihin karya Imam Abu Zakariya An-Nawawi).
Namun enam hal di atas diperbolehkan apabila kita betul-betul mengalami situasi tersebut, bukan sebagai pembenaran untuk mengghibahkan hal-hal di luar kondisi itu.
Mari berbenah dari kebiasaan ghibah yang kadang tidak kita disadari. Semoga Ramadhan dapat menjadi bulan muhasabah untuk menjadi hamba yang lebih baik di bulan-bulan berikutnya. Aamiin.
*Mahasiswa Pascasarjana UNY