Oleh: Dr H Haedar Nashir, MSi
Alhamdulillah puji dan syukur ke haribaan Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita kaum muslimin di seluruh persada negeri dapat menunaikan shalat Idul Fitri mengikuti Sunnah Nabi. Kita kumandangkan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai wujud syukur atas hidayah Allah sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al–Baqarah: 185).
Seraya dengan itu, mari kita bershalawat kepada Nabi akhir zaman, Muhammad Rasul dan figur teladan. Kita ikuti risalah dakwah dan jejak perjuangannya untuk membangun peradaban utama sebagai rahmat bagi semesta raya. Kita ikuti Sunnahnya untuk menjadi umatnya yang terbaik di bumi tercinta ini.
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah
Hari ini kita kaum muslimun menunaikan ibadah shalat Idul Fitri mengikuti sunnah Nabi. Idul fitri bermakna ”Hari Raya Berbuka Puasa”. Setelah berpuasa di bulan Ramadlan, maka pada 1 Syawwal semua yang dilarang itu menjadi halal kembali. Kita dibolehkan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis sebagaimana mestinya. Kendati dihalalkan, seyogyanya pemenuhan hasrat alamiah itu dilakukan secara baik dan tidak berlebihan. Sebab apalah artinya berpuasa manakala tidak melahirkan perubahan perilaku yang terkendali sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-‘Araf: 31).
Idul fitri bagi kakangan umat Islam di tanah air sering dimaknai sebagai “Hari Raya Fithrah”, yakni menepati jiwa yang suci. Pada hari Idul Fitri umat Muslim diwajibkan menunaikan zakat fitrah, yang mengandung arti menyucikan harta kita dengan berzakat sebagai ikhtiar “memberi makan untuk orang miskin dan penyucian diri bagi mereka yang berpuasa” sebagaimana hadis Nabi. Dalam konteks puasa, kembaki ke fithrah dapat dikaitkan dengan proses sublimasi atau pengucian diri, bahwa setiap muslim kembali menjadi pribadi yang bersih jiwanya dari dosa sebagaimana sabda Nabi:
Artinya:
”Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala Allah niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu” (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari Abu Hurairah)
Dalam Al-Quran proses penyucian diri dikaitkan dengan mengembalikan diri pada jiwa bertaqwa yang fitri atau autentik. Pemaknaan ini mengandung relasi dengan firman Allah dalam Al-Quran, yang artinya “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya (QS Asy-Syams: 9-10).
Karenanya, mari kita rawat jiwa fitrah itu agar tetap bening di hati dan indah dalam perbuatan. Boleh jadi setelah waktu berlalu masih terdapat paradoks perilaku. Qalbu yang semestinya dijaga agar tetap bersih dari dosa, dalam praktiknya tergoda oleh hal-hal tercela. Lisan yang seharus terjaga masih memproduksi ujaran-ujaran tidak berguna. Sementara sikap-tindak sehari-hari jauh panggang dari api.
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah
Tujuan berpuasa ialah terbentuknya insan bertaqwa sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Makna pertama dari “la’alakum tattaqun” dikaitkan langsung dengan fungsi puasa. Bahwa setiap muslim harus “berhati-hati, waspada, dan menahan diri” dari makan, minum, dan pemenuhan hasrat biologis agar tidak berlebihan. Secara filosofs agar setiap Muslim mampu mengendalikan diri terhadap segala pesona dunia, serta menjadikan dunia sebagai jalan lurus menuju akhirat.
Makna yang kedua ialah puasa “membentuk diri insan bertaqwa” sebagaimana pandangan banyak mufasir. Bahwa selama sebulan lamanya dan sesudahnya mereka yang berpuasa terus menggembleng diri sehingga menjadi pribadi-pribadi yang bertaqwa, yakni sosok insan beriman dan beramal kebajikan serbautama (QS Al-Baqarah: 177).
Orang-orang bertaqwa itu memiliki habluminallah dan habluminannas yang baik dan harmoni. Mereka berjiwa bersih, jujur dan amanah, cerdas dan maju, serta bertindak serbapositif yang membawa kemaslahatan hidup bagi diri dan lingkungannya. Mereka adalah sosok pemakmur dan bukan perusak bumi.
Orang bertaqwa memiliki perisai diri yang kokoh. Mereka tidak akan korupsi, jahat, menyimpang, dan berbuat kemunkaran meskipun ada peluang yang leluasa. Manakala menjadi pemimpin dan elite negeri, mereka jujur dan amanah, serta berkomitmen kuat untuk menyejahterakan rakyat dan membangun negara menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Jika puasa diproyeksikan untuk membentuk perangai serbautama seperti itu, maka shiyamu-Ramadlan akan menjadi mi’raj ruhaniah; yakni proses naik tangga spiritual ke puncak tertinggi selaku insan muttaqin menuju terwujudnya keadaban utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal.
Sebaliknya jangan ada paradoks perlikaku pasca puasa dan idul fitri, yakni berbuat hal-hal yang berlawanan dengan perintah Allah dan Nabi. Jika masih berbuat keburukan, maka puasa yang dilakukan sebulan penuh itu mungkin hanyalah puasa rukun tanpa isi dan fungsi sebagaimana sabda Nabi:
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga” (HR Nasai, Ibn Majah, dan Hakim). Semoga kita dijauhkan dari puasa verbal tanpa makna seperti itu.
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Pasca Ramadlan dan Idul Fitri umat Muslim di negeri ini dapat menyebarkan energi positif dalam membangun keadaban diri dan lingkungan sosial yang serbautama. Bangunlah perilaku individu dan sosial yang membuahkan kebaikan, kedamaian, permaafan, ketulusan, solidaritas sosial, serta hubungan antarsesama yang saling menebarkan adil dan ihsan.
Kita sungguh prihatin dengan rusaknya hubungan sosial di tubuh bangsa ini. Sebagian orang di negeri ini karena soal-soal sepele tidak jarang berrbuat kekerasan dan anarki. Melalui media sosial bahkan lahir ujaran-ujaran yang kotor, buruk, tidak patut, serta menyebarkan kebencian dan permusuhan. Kehidupan sosial pun masih diwarnai penyimpangan perilaku. Masyarakat kita saat ini tengah diancam oleh ganasnya narkoba, miras, pornografi, kekerasan, terorisme, kejahatan seksual, dan pengaruh buruk teknologi elektronik yang menjadi beban berat bangsa.
Sebagian orang dengan mudah melenyapkan nyawa sesama seolah harga manusia begitu murah. Ruang publik serbabebas sehingga atasnama demokrasi dan hak asasi manusia tidak sedikit yang berbuat sekehandaknya dan mekanggar norma-nirma moral dan agama. Nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, dan sopan santun yang selama ini menjadi karakter bangsa kita mengalami peluruhan karena terkalahkan oleh hasrat rebutan kepentingan, konflik, dan perangai menerabas.
Dunia anak-anak dan perempuan tidak bebas dari ancamanosial. Kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan berada pada fase gawat darurat. Padahal anak adalah permata hati keluarga dan tunas generasi yang akan menentukan nasib bangsa dan peradaban ke depan. Perempuan pun merupakan pilar penting bangsa, yang semestinya memperoleh perlakuan yang adil dan bermartabat sebagaimana Allah dan Rasul memuliakannya selaku insan fi-ahsani at-taqwim.
Dunia politik tidak jarang keras, menebar benih konflik, dan berbagai transaksi curang yang mekanggar norma agama, moral, dan hukum. Politik yang semestinya dibingkai moral dan agama menjadi serbaboleh hingga menghalalkan segala cara. Perilaku ekonomi sebagian pihak pun tak kalah buruk demi mengejar kepentingan yang sebesarbesarnya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.
Karenanya pasca Ramadlan dan Idul Fitri perlu dikembangkan keadaban perilaku dan relasi sosial yang serbautama, yang membawa kebajikan hidup untuk diri dan lingkungannya. Keadaban yang berbasis al-akhlaq al-karimah yang mengedepankan sikap hidup yang benar, baik, dan patut serta menjauhi perilaku yang salah, buruk, dan tidak patut berdasarkan nilai-nilai luhur agama dan kearifan budaya bangsa.
Manusia beriman pasca puasa dan Idul Fitri harus berhasil menampilkan perilaku mulia. Mulia dalam berpikir, berkata, bersikap, dan bertindak naik untuk diri sendiri maupun untuk sesama dan lingkungan semesta. Jadilan insan mulia sebagaimana Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan manusia dalam martabat yang luhur sebagaiman firman-Nya dalam Al-Quran:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS Al Isra: 70).
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Puasa dan Idul Fitri bagi umat Islam harus menjadi washilah atau jalan meneguhkan keberagamaan yang fithri atau hanif sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar-Rum: 30).
Dengan puasa dan idul fitri setiap muslim menjadi insan yang berislam atau beragama secara bersih dan lurus, karena jiwanya sepenuhnya lurus bertauhid kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan. Karennya beragama atau berislam pun dijalaninya dengan kesejatian, yakni menembus hakikat atau esensi dan tidak berhenti pada kulit luar atau syariat belaka. Dengan kata lain terdaoat kesejalanan antara syariat dan hakikat, antara rukun dan isi, serta antara hal yang semestinya dan senyatanya. Jika setiap muslim menjalankan Islam dengan konsisten seperti itu maka Islam akan terwujud sebagai pedoman hidup yang utuh dan menyeluruh dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kehidupan semesta.
Ketika insan muslim beragama dengan fithri dan hanif maka di dalam dirinya luruh seluruh jiwanya untuk menjadikan agama sebagai pedoman hidup yang utuh dan autentik. Dalam gerak hidupnya terpancar kebenaran, kebaikan, dan kepatutan hidup berbasis nilai-nilai Ilahi yang fithri. Segala kebaikan dia lakukan dengan tulus, sebaliknya keburukan dia jauhi dengan sepenuh hati, tanpa merasa berat dan basa-basi. Beragama itu ditunaika semata kaena Allah, bukan karena yang lain-lain.
Jika manusia itu bersih beragama dengan bersih maka akan lurus hidupnya semata karena Allah, serta tidak akan bersekutu dengan apapun. Insan yang beragama dengan bersih tidak mendewakan ego diri, kelompok, golongan, dan segala atribut ananiyah lainnya. Insan muslim tidak akan membudakkan diri para tahta, kuasa, dan segala pesona dunia yang membuat dirinya jatuh. Mereka yang beragama dengan hanif tidak akan meniru perangai Firaun, Qarun, dan Hammam yang ajimumpung dan merasa paling digdaya sehingga sewenang-wenang terhadap sesama.
Mereka yang beragama dengan hanif dan menjelma sebagai al-mukhlisun, keberagamaanya hanya dipertunjukkan kepada Allah semata. Mereka yang awam maupun berilmu, termasuk sebagai penyebar misi dakwah dan tokoh-tokoh agama, tidak akan angkuh diri atasnama agamanya. Mereka tidak akan tazakku atau merasa diri paling suci dan Islami dalam beragama, seraya dengan mudah menujukkan telunjuknya kalau orang lain salah dan sesat.
Ketulusan orang beragama juga akan dibuktikan dalam kelurusan konsistensi antara kata dan laku. Ketika agama mengajarkan damai maka dirinya menjadi pendamai kehidupan. Ikhlas menegakkan damai ketika kemarahan diri dan umatnya membara. Damai dan toleran diuji tatkala keberbedaan menjadi ganjalan yang perlu bingkai dengan jiwa ukhuwah dan tasamuh di ranah muamalah-dunyawiyah. Buktikan bahwa kita sesama muslim dan dengan umat yang lain dapat hidup dengan baik, damai, dan saling menghormati secara tulus dengan menebar semangat beragama yang rahmatan lil-‘alamin.
Beragama yang fithri dan hanif itu harus konsisten antara kata dan perbuatan. Manakala seorang muslim bersuara lantang mengajarkan kebenaran, kebaikan, dan kepantasan maka dia praktikkan jalan hidup yang benar, baik, dan patut itu dalam seluruh gerak lakunya. Agama benar-benar dijadikan rahmat bagi semesta, termasuk bagi diri, keluarga, dan lingkungan terdekatnya. Beragama yang ikhlas akan membebaskan diri dari sangkar-besi kejumudan, keangkuhan, nifaq, dan kenaifan. Beragama yang futhri dan hanif buah dari puasa justru dibuktikan dalam seluruh denyut nadi kehidupannya secara nyata dan konsisten sebagaimana perintah firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Ash-Shaf: 2-3).
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Di penghujung khutbah ini mari kita bermunajat kepada Allah dengan khusyuk dan penuh pengharapan. Semoga seluruh amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan sesudahnya kian bermakna dan diterima di sisi Allah, sehingga di Hari Akhir nanti menjadi jalan meraih surga jannatun na’im dalam rengkuhan Ridla dan Karunia-Nya. Amin ya Rabb al-‘Alamin!
Download PDF Khutbah Idul Fitri 1438 H di Sini!