Oleh: Pradana Boy ZTF
Pagi ini, sekitar pukul 07.15 waktu Massachusetts, atau 18.15 WIB, 22 Juni 2017, saya tiba di University of Massachusetts Amhert di negara bagian Massachusetts, Amerika Serikat. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, sampai ke tujuan adalah sebuah kelegaan. Perjalanan bermula dari kampung halaman, Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan pada 21 Juni 2017 jam 3 pagi. Setelah itu, dari Juanda, penerbangan pertama adalah ke Hong Kong kurang lebih 5 jam.
Di Hong Kong, saya menunggu sekitar 4 jam untuk melanjutkan perjalanan menuju Los Angeles yang memakan waktu 14 jam. Los Angeles ternyata bukan kota tujuan akhir saya di AS. Dari LA saya masih harus menjalani penerbangan sekitar lima jam ke Hartford, negara bagian Connecticut, kemudian dilanjutkan perjalanan darat sekitar satu jam menuju Amherst.
Di bagian pengambilan bagasi bandara Hartford, seorang penjemput telah menunggu saya. Ia adalah Mike. Mengenakan batik yang dibeli dari Yogyakarta, sepanjang perjalanan Mike memberikan berbagai informasi tentang Amerika. Setelah 1 jam perjalanan yang sangat lancar, saya tiba di University of Massachusetts, dan langsung dibawa ke penginapan yang bernama North C. Gedung berwarna merah bata dengan tinggi yang tak seberapa itu terlihat asri. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya rimbun dan teduh. Di sini, saya disambut panitia lain, Heather Day, yang sangat sigap menunjukkan segala kebutuhan saya dan memberikan informasi dasar yang sangat berharga.
Setelah mendapatkan kamar, saya menata barang bawaan, termasuk mi instan yang saya bawa dari tanah air (hehe), dan membersihkan diri. Jarum jam menunjukkan pukul 8.45 setelah saya selesaikan semua urusan. Hari pertama belum ada kegiatan resmi, jadi saya manfaatkan untuk istirahat. Namun sulit sekali mata saya memejam. Maka, saya buka-buka buku yang telah tersaji di kamar. Semua tentang politik Amerika. Tak lupa pula saya kembali membuka buku _The Death of Expertise_ yang saya beli di bandara LA.
Tak terasa, rupanya waktu telah beranjak siang. Bahkan tengah hari terlewati. Artinya, waktu shalat telah tiba. Saya mengambil air wudhu, lalu membongkar koper dan mencari sajadah bergambar Ka’bah yang telah disiapkan oleh istri saya. Saya mencari-cari arah kiblat. Lalu, matahari adalah patokannya. Hari telah beranjak siang, melewati tengah hari, maka saya tetapkan saja menghadap sejajar arah matahari. Allahu Akbar. Rakaat pertama saya mulai. Selesai. Namun, pada rukuk rakaat kedua, gambar Ka’bah seperti mengingatkan saya satu hal. “Hai, kamu sekarang di Amerika. Ka’bah tidak lagi berada di sebelah baratmu. Ka’bah ada di sebelah timur dari tempatmu berdiri sekarang.” Astaghfirullah! Segera saya akhiri shalat. Lalu saya berbalik arah memutar posisi badan menghadap kiblat di sebelah timur.
Ketika tadi shalat menghadap ke barat, saya memahami kiblat secara refleks, karena telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Untunglah, saya segera diingatkan oleh Allah. Pelajaran pentingnya adalah, inilah yang kita sebut perspektif dalam dunia ilmiah. Posisi kita menentukan cara pandang kita terhadap sesuatu. Maka arah pandang bisa berubah berdasarkan situasi. Namun demikian, dalam perubahan perspektif, ada satu hal yang tak berubah yaitu makna dan hakikat. Menghadap ke barat atau timur adalah perspektif. Tetapi makna utamanya adalah penghambaan kepada Allah yang disimbolkan oleh Ka’bah. Maka Ka’bah adalah poros yang tak berubah. Sehingga perubahan perspektif harus selalu bertumpu pada poros ini. _Wallahu A’lam._
Amherst-Massachusetts, 22 Juni 2017