Oleh : M Afnan Hadikusumo*
Politik pada era global telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Pradigma politik semacam itu dalam fakta historis berkecambah dari dunia Barat semenjak zaman Yunani kuno dan berkembang sampai dewasa ini.Secara ontologis pemikiran politik Barat disandarkan dan didominasi oleh pandangan monisme materialisme spesifik dari zaman modern abad ke-18 M. Falsafah hidup yang berdasarkan pandangan tersebut telah melahirkan pola kehidupan atau peradaban kapitalisme, individualisme dan kemudian bermuara pada sistem politik positivisme. Sistem politik ini memandang spiritualitas dan moralitas sebagai sesuatu yang tidak ada korelasinya dengan ranah kehidupan dunia termasuk politik, maka bagi politik positivism manusia ditempatkan sebagai makhluk material tanpa spiritual, berjasmani tanpa rohani.
Hal di atas itulah yang sekarang ini sedang dirasakan oleh bangsa Indonesia. sepertinya bangsa yang sebenarnya besar ini belum siap untuk menjadi bangsa dan negara maju. Bangsa yang maju adalah apabila peran pemerintah tidak dominan. Atau bahkan rakyat tidak terlalu terpengaruh ada atau tidaknya sebuah pemerintahan. Dengan meminjam istilah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Allah telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luar biasa menakjubkan. Siapa pun pemerintahnya, bagaimana cara memerintahnya, kenyataannya rakyat tetap mampu hidup cari makan sendiri. Akan tetapi, kenyataannya, di bumi Nusantara ini, peran negara sangat dominan. Politik Machiavelli sedang berlangsung baik secara sadar ataupun tanpa kita sadari. Hal ini bertentangan dengan cita-cita para pendiri negeri ini yang secara sadar mendesain agar Negara ini menjadi Negara yang baldatun thayibatun warabun ghafur.
Semangat Macviavelian dan Hobbes tanpa terasa hidup dan berkembang di tengah sebuah bangsa yang mengaku berketuhanan yang maha esa. Sederet permasalahan rasanya tidak akan pernah berhenti mengantre untuk diselesaikan. Mulai hilangnya semangat kebangsaan, hukum yang sudah kehilangan keadilannya, moralitas yang dipertanyakan hingga makin lemahnya daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Budaya feodal yang menganggap pemimpin sebagai wakil Tuhan yang tidak pernah salah dan adanya sikap pejah gesang ndherek panjenengan serta sikap yang pasrah dan nrimo yang fatalis adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama.
Belum lagi keadaan dengan orientasi pada materi cenderung berlebihan. Bisa jadi Indonesia menjadi bangsa paling materialistis di dunia. Dengan demikian, banyak yang menempuh berbagai cara untuk mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi. Akhirnya, menggunakan jalan pintas dan korupsi dipandang sebagai hal yang lumrah dan biasa. Bahkan seorang koruptor pun sudah tidak merasa hina dan malu. Lembaga publik pun dibelokkan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Itulah yang menjelaskan kenapa lembaga publik sering tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Yang mengkhawatirkan adalah politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan publik (rakyat). Namun, masih sekadar dijadikan sebagai alat berebut kekuasaan. Politik sebagai kendaraan untuk memperebutkan kekuasaan ini sudah membudaya di bangsa ini. Biasa apabila dalam pergantian pengurus sebuah partai atau organisasi selalu sibuk dengan keributannya sendiri. Ini terjadi karena adanya orientasi kekuasaan yang diperebutkan. Bahkan tidak segan menggunakan cara-cara yang mengingkari hati nurani. Menghabisi lawan baik secara fisik maupun menghabisi karakternya (character assassination). Fatsun dan kesantunan berpolitik telah mulai bergeser.
Banyak yang bertanya bisakah NKRI bangkit dari keterpurukan? Jawabannya adalah bisa. Jika saja para pelaku politiksadar diri untuk beretika politik yang bersih, cerdas dan santun, menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis sekaligus religius.
Pertama-tama patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak diperjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan demikian, nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa ini dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan. Di sisi lain, politik yang bersih juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antar partai sebagai suatu kewajaran demokrasi.
Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan. Hal itu dapat dimulai pada saat ini di bulan Ramadhan dimana ummat Islam diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana puasanya ummat terdahulu agar menjadi insan yang bertaqwa, Sehingga dengan meningkatnya derajad ketaqwaan ummat islam yang mayoritas ini, dapat mewujudkan cita-cita para founding father agar negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayibatun warabun ghafur, walaupun entah kapan…
*Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI