YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menjadi khatib di hadapan ribuan jamaah yang memadati Lapangan Karang Kotagede, Yogyakarta. Dalam tausiyahnya, mengingatkan segenap hadirin untuk merenungi makna puasa Ramadhan dan Idul Fitri.
Menurutnya, pasca Ramadlan dan Idul Fitri, umat Muslim di negeri ini harus senantiasa menyebarkan energi positif dalam membangun keadaban diri dan lingkungan sosial yang serba utama. “Bangunlah perilaku individu dan sosial yang membuahkan kebaikan, kedamaian, permaafan, ketulusan, solidaritas sosial, serta hubungan antarsesama yang saling menebarkan adil dan ihsan,” tuturnya.
Haedar mengaku prihatin dengan rusaknya hubungan sosial di tubuh bangsa ini. Beragam perilaku degradasi moral dipertontonkan. “Sebagian orang di negeri ini karena soal-soal sepele tidak jarang berbuat kekerasan dan anarki. Melalui media sosial bahkan lahir ujaran-ujaran yang kotor, buruk, tidak patut, serta menyebarkan kebencian dan permusuhan. Kehidupan sosial pun masih diwarnai penyimpangan perilaku. Masyarakat kita saat ini tengah diancam oleh ganasnya narkoba, miras, pornografi, kekerasan, terorisme, kejahatan seksual, dan pengaruh buruk teknologi elektronik yang menjadi beban berat bangsa,” ulasnya.
Sebagian orang di negeri ini, kata Haedar, dengan mudah melenyapkan nyawa sesama saudara, seolah harga manusia begitu murah. Ruang publik serba bebas sehingga atas nama demokrasi dan hak asasi manusia tidak sedikit yang berbuat sekehandaknya dan melanggar norma-norma moral dan agama. “Nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, dan sopan santun yang selama ini menjadi karakter bangsa kita mengalami peluruhan karena terkalahkan oleh hasrat rebutan kepentingan, konflik, dan perangai menerabas,” kata Haedar.
Haedar ikut menyayangkan, dunia anak-anak dan perempuan tidak bebas dari ancaman sosial. Kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan berada pada fase gawat darurat. Padahal, ujar Haedar, anak adalah permata hati keluarga dan tunas generasi yang akan menentukan nasib bangsa dan peradaban ke depan. Perempuan pun merupakan pilar penting bangsa, yang semestinya memperoleh perlakuan yang adil dan bermartabat sebagaimana Allah dan Rasul memuliakannya selaku insan fi-ahsani at-taqwim.
Dunia politik tidak jarang keras, menebar benih konflik, dan berbagai transaksi curang yang mekanggar norma agama, moral, dan hukum. Politik yang semestinya dibingkai moral dan agama menjadi serbaboleh hingga menghalalkan segala cara. “Perilaku ekonomi sebagian pihak pun tak kalah buruk demi mengejar kepentingan yang sebesarbesarnya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak,” katanya.
Oleh karena itu, ungkap Haedar, pasca Ramadlan dan Idul Fitri perlu dikembangkan keadaban perilaku dan relasi sosial yang serbautama, yang membawa kebajikan hidup untuk diri dan lingkungannya. Keadaban yang berbasis al-akhlaq al-karimah yang mengedepankan sikap hidup yang benar, baik, dan patut serta menjauhi perilaku yang salah, buruk, dan tidak patut berdasarkan nilai-nilai luhur agama dan kearifan budaya bangsa.
“Manusia beriman pasca puasa dan Idul Fitri harus berhasil menampilkan perilaku mulia. Mulia dalam berpikir, berkata, bersikap, dan bertindak, baik untuk diri sendiri maupun untuk sesama dan lingkungan semesta. Jadilan insan mulia sebagaimana Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan manusia dalam martabat yang luhur,” urai Haedar Nashir. (Ribas/Foto: Dwi Agus)