Oleh: Pradana Boy ZTF
Hari itu fikiran saya mulai tidak tenang. Sabtu, 24 Juni 2017 adalah hari ketiga saya berada di Amherst, Massachusetts. Mudah sekali diduga, ketidaktenangan fikiran saya adalah karena pada saat yang kurang lebih sama, di Indonesia gegap gempita takbir menyambut Hari Raya Idul Fitri pasti tengah berlangsung. Pesan singkat atau pesan gambar yang bertubi-tubi masuk ke telepon genggam, yang berisikan ucapan selamat Hari Raya, hadir sebagai hiburan. Tetapi, ia sekaligus sebagai pemicu rasa gundah. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya melewatkan Hari Raya di negara orang. Namun, kali ini sangat terasa kemasygulan yang saya alami, oleh karena saya berada di luar negara seorang diri, tanpa ditemani keluarga.
Kedatangan saya ke Kota Amherst, Massachusetts, hanya berselang dua hari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Jauh sebelum perjalanan ke Amerika Serikat, sebenarnya saya telah berusaha mencari-cari informasi tentang komunitas Muslim di Amherst atau di University of Massachusetts. Namun, sangat sedikit informasi yang saya peroleh. Sedikit informasi itu adalah di University of Massachusetts memang terdapat komunitas mahasiswa Muslim yang bernama “University of Massachusetts Muslim Students Association” (UMass MSA). Dengan bekal informasi dari internet itu, lalu saya menelusuri laman komunitas ini. Terdapat informasi tentang komunitas Muslim di UMass. Tetapi, sayangnya, blog ini rasanya lama tidak memperoleh update dari para pengelolanya.
Tapi, daripada tidak berbuat apa-apa, saya berspekulasi mengirim pesan ke pengelola laman tersebut, karena saya memerlukan informasi tentang shalat Idul Fitri yang tinggal beberapa hari itu. Begini pesan yang saya kirim: “Assalamualaikum. I am a Moslem from Indonesia. Just arrived at UMass Amherst for 6 weeks Short Course. Is there any information where Ied Prayer will be held this Sunday, June 25, 2017. Thanks.” Pesan itu terkopi ke alamat surat elektronik saya. Karena itu, saya optimis akan segera memperoleh jawaban. Tetapi sampai malam Ahad, 25 Juni 2017, tidak ada respons atas pesan saya itu. Tentu saya bingung dan bertanya-tanya: Lalu di mana dan ke mana saya harus langkahkan kaki untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri? Jika sampai tanggal 25 Juni saya tidak memperoleh informasi itu, haruskah saya tidak melaksanakan Shalat Idul Fitri tahun ini?
Kebetulan dalam kelompok kursus singkat saya, terdapat peserta dari Turki dan Pakistan. Mereka Muslim. Maka, kepada peserta dari Pakistan saya menanyakan tentang rencana Shalat Idul Fitri. Jawaban yang saya terima sangat mengecewakan. “Saya tidak memikirkan untuk Shalat Idul Fitri,” jawabnya. Ah, saya kaget. Terus terang, saya sungguh bingung dengan situasi ini. Memang di tengah kebingungan itu, lalu muncul pemikiran, seandainya memang sangat terpaksa saya tidak bisa melaksanakan Shalat Idul Fitri, ya apa boleh buat. Ini namanya udzur. Para ulama’ memang berbeda pendapat tentang hukum Shalat Ied. Setidaknya ada tiga kelompok pendapat: wajib, sunnah muakkad, dan fardu kifayah. Imam Abu Hanifah mewajibkannya dengan alasan perintah menjalankan shalat adalah wajib. Pendapat ini dianut oleh Imam al-Syaukani dan Ibnu Taimiyah. Sementara, pendapat Imam Malik dan Imam Syafii adalah Shalat Ied merupakan ibadah sunnah muakkad. Sedangkan, Imam Ahmad Ibn Hanbal menyebut fardlu kifayah sebagai hukum shalat Ied. Begitu secara garis besar. Tentu, di sini bukan tempatnya untuk membahas soal hukum Islam secara panjang lebar.
Namun, penjelasan hukum ini bermaksud menenangkan saya, jika seandainya dalam keadaan yang sangat terpaksa saya tidak bisa menjalankan Shalat Idul Fitri, ada pendapat hukum yang bisa saya rujuk tentang hal tersebut. Bukan untuk mengakal-akali hukum, tetapi lebih sebagai upaya untuk mengetahui apakah tindakan kita dibenarkan secara hukum Islam atau tidak. Nah, di tengah situasi yang serba tidak pasti ini, muncul secercah harapan. Kawan saya, Mohammad Rokib, dosen muda cemerlang di Universitas Negeri Surabaya, memberikan informasi bahwa dia punya seorang kawan yang sedang menempuh pendidikan S-3 di University of Massachusetts, Amherst. Wow! Informasi ini seperti embun di tengah gurun pasir. Singkat kata, akhirnya saya terhubung dengan kawan dari Indonesia ini melalui Rokib. Namanya Boimin, yang ternyata adalah seorang dosen di Universitas Brawijaya, Malang.
Saya akhirnya menghubungi Boimin, dan darinya saya tahu bahwa di University of Massachusetts Amherst, akan dilaksanakan Shalat Idul Fitri pada tanggal 25 Juni 2017, pukul 09.00 atau sekitar jam 08.00 WIB. Pada saat yang kurang lebih bersamaan, Becky Howland, salah satu panitia Kursus Singkat, mengirimkan sebuah pesan dan gambar ke group Whatsapp kami, memberi informasi tentang pelaksanaan Shalat Idul Fitri di University of Massachusetts. Alhamdulillah. Lega rasanya mendapatkan informasi tentang Shalat Id ini. Karena saya berfikir, sudah menjalani Hari Raya jauh dari keluarga dan kampung halaman, apakah lalu saya juga tidak merasakan suasana Hari Raya sama sekali. Maka, pada pagi hari 25 Juni 2017, saya telah menyiapkan pakaian Hari Raya: baju koko warna abu-abu dipadu dengan warna kuning, lengkap dengan kopiah dan sajadah. Meskipun shalat baru akan dilaksanakan pukul 09.00 pagi, jam 07.30 saya melangkahkan kaki keluar dari penginapan. Tepat ketika membuka keluar penginapan, Jun Dumaung, kolega dari Filipina yang beragama Katholik, telah berada di halaman dan segera mendekati saya dan mengulurkan tangan sambil berseru: “Eid Mubarak, My Brother. Happy Eid. Enjoy your festival.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Jun Dumaung kemudian memeluk saya.
Setelah itu muncul Jan Nemec dari Ceko dan Chanroe Pa dari Kamboja. Keduanya menyalami dan memberikan ucapan selamat yang sama seperti Jun Dumaung. Saya bahagia dengan ucapan dari mereka. Lalu saya merenung, apakah saya mesti curiga dengan ucapan mereka itu karena mereka berbeda agama dengan saya? Betapa jahat fikiran saya kalau berpendapat demikian. Setelah bertemu mereka bertiga, dengan berpakaian Hari Raya ala Indonesia, saya bergerak menuju restoran tempat para peserta Kursus Singkat makan. Nama restoran itu adalah Franklin Dining Hall. Tentu, penampilan saya yang khas menyita perhatian banyak orang. Di Franklin Dining Hall, saya mengambil bubur ayam, beberapa lapis roti dengan selai, sebuah apel merah dan teh hangat. Tengah saya menikmati hidangan itu, seorang pelayan restoran tiba-tiba menyapa. “Good morning. Eid Mubarak for you. Enjoy your happy day.” Saya sedikit kaget, tetapi lalu menyambut hangat ucapan itu.
Pagi hari yang cerah itu, sebuah pelajaran yang sangat berharga ditunjukkan kepada saya. Ketulusan para penganut seorang penganut agama dalam menghormati ritual dan praktik dalam agama lain. Apalagi, tak terlalu lama setelah itu, saya menerima pesan singkat Whatsapp dari Pastur Romo Armada Riyanto, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang. Pesan itu berisi ucapan selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Sekali lagi saya tertegun. Betapa egois saya, ketika saya menganggap ucapan itu hanya basa-basi dan berisi kepura-puraan. Agama memang berbeda-beda dalam hal praktik dan ritual, tapi begitu menyangkut rasa yang paling mendasar dalam kebutuhan kemanusiaan, agama bersatu suara. Persaudaraan atas dasar kemanusiaan, ada dalam doktrin semua agama. Ucapan selamat adalah bagian dari ketulusan persahabatan agama, sekaligus sebagai pengakuan terhadap perbedaan yang niscaya. Persaudaraan, ternyata juga bisa dibangun di antara mereka yang berbeda iman.
Pukul 08.40, telepon genggam saya berdering. Boimin memanggil, ia menginformasikan bahwa shalat akan segera dimulai. Saya segera meninggalkan restoran, berlari kecil menuju Campus Center, tempat di mana Shalat Idul Fitri akan dilaksanakan. Di depan ruangan, seorang pria bertubuh tinggi, kurus, dengan kopiah hitam bertengger di atas kepala, lengkap dengan batiknya yang berwarna keemasan menyala, menyambut saya. Itulah Boimin yang sedang menempuh S-3 di bidang ilmu pangan. Ia mengajak saya menuju ruangan shalat yang ternyata di ruang bawah tanah. Ruangan seluas kira-kira 10 x 20 meter itu telah dipenuhi dengan Muslim dari berbagai negara. Alhamdulillah, meskipun berhari raya jauh dari keluarga, suasana Idul Fitri tetap saya rasakan.
Usai shalat, beberapa mahasiswa Muslim asal Pakistan, Bangladesh, India, bahkan dari sejumlah negara Eropa, menyalami kami. Boimin lalu mengenalkan saya dengan mahasiswa S-3 asal Indonesia lainnya, Yulia dari Aceh dengan ditemani suaminya yang berasal dari Papua. Setelah berkenalan dan terlibat dalam obrolan ringan, Boimin memutuskan untuk merayakan Idul Fitri berempat. Sebagai orang baru, saya ikut saja. Maka kami menuju sebuah lokasi yang teduh untuk kembali berbincang. Di pinggir kolam kampus, atau Campus Pond, kami duduk. Di tengah padang rumput yang luas, di bawah pohon-pohon rindang yang usianya ratusan tahun, sambil melihat angsa dan itik yang bermain di kolam, kami merayakan Idul Fitri dengan berdiskusi tentang ragam perkembangan di tanah air. Baik menyangkut kehidupan politik, maupun agama.
Menjelang tengah hari, Boimin mengajak kami makan siang di Hampshire Dining Hall, sebuah restoran kampus yang sangat besar. Dengan bekal “kartu sakti” yang saya miliki, saya bisa makan gratis di manapun, sepanjang masih di kompleks University of Massachusetts, Amherst. Ke sanalah kami menuju. Beberapa jam kami habiskan untuk kembali berdiskusi dengan ditemani makanan halal dari berbagai negara. Kami semua bersyukur, bahwa tanpa disangka, di tengah kesunyian Hari Raya Idul Fitri di Amherst, Massachusetts; kami masih dipertemukan dengan saudara seiman dan setanah air. Pelajaran kedua hari ini adalah, persamaan asal dan keyakinan juga dengan mudah bisa menjadikan orang terikat dalam persaudaraan.
Maka, pada hari itu, saya memang merayakan Idul Fitri di tengah kesunyian. Namun, hati saya tak sunyi karena adanya persaudaraan, baik persuadaraan atas nama persamaan agama dan negara; maupun persaudaraan atas nama kemanusiaan dari mereka yang berbeda agama dan negara. Betapa indah dunia ini jika demikian keadannya. Wa Lallahu A’lam.*
Amherst-Massachusetts, 26 Juni 2017.