Oleh: Pradana Boy ZTF
Terbangun menjelang subuh, saya membuka tirai jendela kamar di North C Apartment, University of Massachusetts, Amherts. Hari masih gelap. Waktu shalat subuh belum lagi menjelang. Saya menengok perangkat lunak penunjuk waktu shalat di telepon genggam. Tak lama lagi waktu subuh datang. Ketika akhirnya waktu subuh datang, tak ada pula adzan mengumandang. Saya langkahkan kaki, mengambil air wudhu, dan menunaikan shalat subuh dalam kesendirian. Usai shalat, saya tergoda untuk kembali merebahkan badan. Maklum, pada musim panas, siang terlalu panjang dan malam seperti sekilas saja menawarkan kenyamanan. Selama di Amherst, MA, biasanya pukul 22.30, saya mulai merebahkan badan. Mungkin karena masalah zona waktu yang terpaut panjang, atau jam biologis dalam tubuh yang belum sepenuhnya tersesuaikan, sekitar pukul 03.00 biasanya saya terbangun dan menunggu shalat subuh yang jatuh pada sekitar pukul 03.15. Namun, pagi itu, betapapun saya paksakan, kedua kelopak mata tak jua mau memejam.
Di luar, rintik hujan terlihat kurang jelas, meski suaranya deras. Di beberapa ruas, cahaya lampu jalan menjadikan rintik hujan itu bagai butiran-butiran kristal yang ditumpahkan dari atas. Hujan tak juga reda setelah hampir dua jam berlalu. Juni adalah bulan permulaan musim panas. Tetapi cuaca pagi itu mengesankan matahari enggan terbit bergegas. Suara gemerisik dahan dan daun bergoyang dari pohon yang berada persis di hadapan jendela kamar apartemen, membuat saya enggan untuk keluar. Hari perlahan merambat siang. Namun matahari sepertinya segan bersaing dengan awan. Diselimuti setengah keengganan karena dingin, akhirnya tangan saya menggerakkan gagang pintu yang berwarna putih tulang. Kedua kaki mengayun pelan dan membaur di tengah rasa dingin dan merelakan diri disapa angin yang berhembus cukup kencang. Saya menyusuri jalan-jalan di kompleks kampus yang pagi itu masih sunyi, lengang.
Tiba di ruang kelas, ada dua peserta telah duduk manis di kursinya masing-masing. Satu hal yang membuat saya heran, setiap hari para peserta duduk di kursi dan posisi yang sama. Hanya satu dua peserta yang sering berganti posisi. Saya termasuk yang sering berganti-ganti kursi, agar tidak bosan duduk di kursi yang sama. Pagi itu, saat memasuki ruang kelas, di bagian depan ruangan telah duduk seorang pria berusia di awal lima puluhan. Lampu bagian depan kelas itu dimatikan, agar cahaya pada layar tampilan terlihat terang. Dalam keremangan, pria itu duduk diam, sembari menatap tajam ke arah para peserta yang mulai berdatangan. Rambutnya yang jarang-jarang, dan kacamata yang lebar, semakin menambah kesan keangkeran. Eh, entah wibawa atau keangkeran? Kadang-kadang antara keduanya sulit dibedakan.
Lima menit menjelang pukul sembilan, semua peserta telah datang. Lelaki yang nampak misterius itu berdiri hendak memulai sesi. Ia berbicara lantang. Gaya bicaranya atraktif dan mengesankan ia sangat profesional. Pria itu bernama David A Yalof, seorang guru besar dan Ketua Jurusan Ilmu Politik dari University of Connecticut, Negara Bagian Connecticut, Amerika Serikat. Pagi itu, David hendak mengajak kami “berkelana” di alam Kongres dan Kepresidenan Amerika Serikat. Dengan lincah, ia membawa kami “memasuki” ruang-ruang sidang Kongres Amerika dengan kritik tajam. Bahkan ia seperti menyeret kami ke White House, mengetuk-ngetuk pintu kantor kepresidenan seraya menunjukkan apa sejatinya makna menjadi seorang presiden dalam kompleksitas struktur politik di Amerika Serikat. Saya mengikuti seksama “pengembaraan” bersama David pagi itu. Ia menyampaikan materi dengan cara yang tak biasa, hingga membuat kami semua tetap terjaga.
Sayangnya, setelah setengah jam berjalan, kantuk datang menyerang. Kelantangan bicara David, tak cukup digdaya mengusir kantuk dari kedua mata saya. Segelas kopi yang saya sambar dari kafe di seberang ruangan, tak jua mampu menjadikan kedua mata saya benderang. Saat mata saya setengah terbuka dengan kantuk yang tertahan, tiba-tiba David Yalof berbicara tentang impian. Ajaib! Mendengar kata impian, saya gelagapan. Justru ketika David berbicara tentang mimpi, mata saya seketika benderang. Padahal mimpi umumnya terjadi dalam dari kelelapan. David berbicara tentang “Impian Amerika,” dan itu begitu menyentakkan. Ya,”Impian Amerika.” Sebuah frase yang pagi itu hangat dibincangkan.
Lalu apa itu “Impian Amerika” atau American Dream? Impian Amerika adalah sebuah etos kebangsaan Amerika Serikat. Sebuah bayangan tentang hal-hal ideal yang harus berlaku dalam tata laku kehidupan masyarakat Amerika Serikat setelah mereka meraih kemerdekaan. Etos ini menyebar ke berbagai wilayah kehidupan: demokrasi, hak, kebebasan, kesempatan dan persamaan. Adalah James Truslow Adams, seorang penulis yang dikenang sebagai pencetus etos “Impian Amerika.” Dalam buku Epic of America yang terbit tahun 1931, ia menuliskan:
But there has been also the American dream, that dream of a land in which life should be better and richer and fuller for every man, with opportunity for each according to his ability or achievement. It is a difficult dream for the European upper classes to interpret adequately, and too many of us ourselves have grown weary and mistrustful of it. It is not a dream of motor cars and high wages merely, but a dream of social order in which each man and each woman shall be able to attain to the fullest stature of which they are innately capable, and be recognized by others for what they are, regardless of the fortuitous circumstances of birth or position.
(Tapi selama ini telah ada juga impian Amerika, mimpi tentang sebuah negeri di mana kehidupan seharusnya lebih baik dan lebih kaya dan lebih sempurna untuk setiap orang, dengan kesempatan untuk masing-masing sesuai dengan kemampuan atau prestasinya. Ini adalah mimpi yang sulit ditafsirkan secara memadai oleh orang Eropa kelas atas, dan terlalu banyak dari kita sendiri telah mulai merasa lelah dan tidak mempercayainya. Ini bukan semata-mata mimpi mengendari kendaraan bermotor dan upah yang tinggi, tapi juga mimpi tatanan sosial di mana masing-masing pria dan setiap wanita dapat mencapai penampilan maksimal yang mereka miliki secara bawaan, dan dikenali oleh orang lain untuk apa yang mereka lakukan. Adalah, terlepas dari bagaimanapun keadaan dan posisi yang dibawa sejak kelahiran).
Etos itu begitu penting dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat. Dulu dan kini. Sejarawan dan sastrawan yang saya kagumi, almarhum Kuntowijoyo, menulis sebuah novel berjudul Impian Amerika. Entah apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Pak Kunto, tetapi novel berisikan tiga puluh cerita tentang orang Indonesia di Amerika Serikat itu, telah menghadirkan Impian Amerika dalam makna yang beragam. Bisa saja, Pak Kunto memaknainya sebagai impian banyak orang Indonesia untuk meng-Amerika lewat berbagai macam cara. Bisa juga Pak Kunto hendak memaknai Impian Amerika sebagai sebuah contoh etos bersama yang menggerakkan kinerja kolektif sebuah masyarakat. Ya, karena adalah mimpi tentang sesuatu yang mula-mula menjadikan individu atau komunitas meraih sebuah capaian. Mungkin begitu, maksud Pak Kunto.
Lalu pagi itu, David mengutip sebuah kalimat populer dalam rangkaian yang panjang tentang impian Amerika dalam bidang politik, khususnya menyangkut kepresidenan. “What’s great about America is that everyone can grow up to be president.” Bahwa di dalam politik Amerika siapapun ia orangnya bisa tumbuh dan menjadi seorang presiden pada suatu hari nanti. Kata David, ini bisa bermakna positif, bisa juga bermakna negatif. Begitukah?
David menghadirkan kasus Barack Obama sebagai contoh positif tentang “siapapun bisa tumbuh menjadi presiden” itu. Siapa sangka Barack Obama yang keturunan Afrika, berkulit hitam, mampu tampil sebagai presiden Amerika. David menyebut, secara pendidikan, Obama tidak tumbuh besar di tangan ibu dan bapaknya, tetapi di tangan neneknya. Ibunya yang seorang antropolog, terlalu sibuk dengan riset-riset etnografisnya; sementara sang bapak telah lama tiada. Tidak ada larangan bagi mereka yang lahir tidak di wilayah daratan Amerika Serikat untuk menjadi presiden. Tetapi begitu Obama yang lahir di Hawaii menjadi presiden, lalu masyarakat Amerika Serikat membenarkan ungkapan “everyone can grow up to be president.”
Saya datang ke Amerika pada saat terjadi perubahan iklim politik. Hal yang paling nyata adalah pergantian presiden dari Barack Obama ke Donald Trump. Ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik, karena pergantian presiden itu juga membawa dampak pada perubahan sikap masyarakat Amerika. David menampilkan kasus Donald Trump sebagai contoh implementasi negatif dari Impian Amerika “everyone can grow up to be president.” Kehadiran Donald Trump memicu kontroversi. Itu juga salah satu pesan yang disampaikan Bu Tatik, staf bidang politik di Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya. “Setidaknya Anda bisa tahu bagaimana kontroversi yang berkembang di kalangan masyarakat Amerika Serikat tentang Donald Trump, Mas,” demikian pesan Bu Tatik kepada saya.
Dalam konteks kepresidenan, mungkinkah kita di Indonesia mengikuti jalan “Impian Amerika”? Mungkin iya mungkin tidak. Mungkin bisa, karena keterbukaan politik demikian bebas. Terlebih di era ketika media sosial mampu memainkan, membentuk, bahkan menjungkirbalikkan keabasahan fakta dan kewarasan nalar, presiden dengan pola Impian Amerika ala Trump bisa saja terjadi. Namun, bisa juga tidak. Kenapa? Belakangan kita menyaksikan geliat politik dinasti yang marak. Artinya, dalam struktur politik dinasti, tidak bisa berlaku rumus “everyone can grow up to be president.” Anda anak siapa, Anda istri siapa, Anda keluarga siapa menjadi faktor determinan dalam keberhasilan meraih posisi kepemimpinan politik. Di samping politik dinasti, persoalan politik atas dasar popularitas juga menjadikan “everyone can grow up to be president” sulit tercapai.
Maka, ketika saya sempat memimpin sebuah organisasi kepemudaan, yang bagi sebagian orang itu dianggap sebagai pintu masuk menuju pencapaian popularitas, seorang teman berkomentar. “Ada satu hal yang saya takutkan, Mas. Ketika Anda populer, dan tahu memiliki kantung-kantung dukungan massa; tak lama kemudian Anda akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.” Oh, My God. Sejauh itukah dampak popularitas dalam dunia politik? Lalu saya menjawab, jangankan mencalonkan diri, mimpi pun saya tidak berani. Maka, supaya tidak bermimpi, lebih baik saya bangun dari tidur dan menatap mentari pagi.
——————————————————————-
Pradana Boy ZTF
Amherst-Massachusetts, 1 Juli 2017