Etos Spiritualitas Muslim

Etos Spiritualitas Muslim

Suara Muhammadiyah-Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki dimensi ganda, yakni sebagai agama private sekaligus publik. Ajaran Islam tidak hanya mengatur bagaimana ritual ibadah seorang hamba kepada Allah SWT, tetapi sekaligus membentuk karakter dan kepribadian Muslim serta mengatur kehidupan manusia secara luas. Pola hubungan antara Muslim dengan Muslim lainnya, atau antara Muslim dengan non Muslim, bahkan antara Muslim dengan alam di sekitarnya, telah diatur dalam ajaran Islam. Dalam konteks inilah kita melihat prinsip keseimbangan antara hablun minallah (vertikal) dan hablun minannas (horizontal). Sayang sekali, dimensi spiritualitas Muslim yang seharusnya seimbang antara hablun minallah dengan hablun minannas mengalami penyempitan makna setelah praktik spiritualitas yang dilakukan “para sufi” menjadi model jalan spiritualitas Islam.

Hingga kini, dimensi spiritualitas Muslim memang masih sering dipahami secara parsial. Nilai-nilai spiritual dalam Islam seperti wara’, zuhud, qana’ah, dan faqir lebih dipahami sebagai praktik mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat umum. Akibatnya, jalan untuk menggapai spiritualitas (tarekat) dianggap sebagai “jalan sunyi,” jauh dari hingar-bingar kehidupan manusia. Orang-orang yang dianggap mengetahui hakekat lebih identik sebagai “kaum sufi” yang mengabaikan kehidupan dunia. Padahal, nilai spiritual ihsan (dimensi hakekat) harus dapat dimanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Apa yang digagas dan dipraktikkan oleh Buya Hamka menjadi alternatif pemahaman spiritualitas Muslim yang baru. Tasawuf modern Hamka merupakan jawaban atas pemahaman parsial etos spiritualitas Muslim selama ini. Dengan merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam yang murni, Hamka mempraktikan ajaran spiritualitas Islam tanpa melalui ritual tarekat sebagaimana yang dilakukan para sufi. “Sufi tanpa tarekat”—meninjam istilah Khairuddin Aljunied—atau “muslim tanpa masjid”—meminjam istilah Kuntowijoyo—untuk memaknai ulang etos spiritualitas Muslim dalam konteks kehidupan masyarakat umum, khususnya dalam dunia kerja profesional.

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai spiritual Islam seperti sifat wara’, zuhud, qana’ah, faqir, seorang Muslim tidak harus mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat secara umum. Beribadah, berdzikir, dan berdoa tidak harus di tempat sunyi. Dalam kehidupan masyarakat, nilai-nilai spiritualitas Muslim harus dapat dirasakan oleh sesamanya. Agar orang lain dapat merasakan rahmat yang hadir dari pribadi-pribadi Muslim yang telah mencapai derajat ihsan. Dalam kehidupan modern, aktivitas ibadah tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu karena di manapun datang waktu shalat, maka tempat kerja seperti kantor, gedung, pabrik, dan lain-lain dapat menjadi tempat bersujud.

Pemahaman ihsan sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Nabi saw adalah supaya “beribadah seakan-akan Allah SWT melihat kita.” Seluruh aktivitas yang positif dapat diniatkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dalam dunia karir profesional, bekerja secara ikhlas dan bertanggung jawab berdasarkan kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu yang bermanfaat bagi sesama merupakan bentuk ibadah. Dalam bekerja, prinsip ikhlas dan bertanggung jawab dapat membentuk karakter jiwa yang ihsan sekaligus profesional. Ia bekerja bukan karena takut oleh atasan. Dengan bekerja secara ikhlas dan bertanggung jawab, ia lebih yakin sedang beribadah kepada Allah SWT. Dengan begitu, terbentuklah karakter kepribadian seorang Muslim yang mencapai derajat ihsan-profesional. (Abu Rafif)

Dapatkan ulasan lengkap tentang Etos Spiritualitas Muslim di Majalah Suara Muhammadiyah edisi cetak, No. 10, 16-30 Mei tahun 2017

Exit mobile version