YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengajak segenap komponen bangsa untuk berbenah diri. Momentum pasca Ramadhan dan Idul Fitri dianggap sebagai saat yang tepat untuk evaluasi dan mempersiapkan masa depan bangsa menuju Indonesia yang Berkemajuan.
“Bangsa ini tidak mungkin menjadi bangsa yang maju jika centang perenang dan kita tidak mungkin menjadi bangsa yang maju jika kita tidak mau peduli dan berbagi,” kata Haedar dalam sebuah wawancara di program AFD yang ditayangkan oleh CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.
Pasca Ramadhan dan idul fitri, kata Haedar, umat islam sebagai mayoritas harus menjadi contoh teladan, memberi warna, dan memberi kesaksian sebagai umat yang berjiwa besar dan tulus. Semua itu harus dimulai dari jiwa yang bersih. “Mari Indonesia milik kita bersama ini kita besarkan dengan kejujuran,” tuturnya.
Menurutnya, Idul fitri mengajarkan untuk sublimasi hati, pikiran, tindakan. Beragam peristiwa yang melatari Ramadhan dan Idul Fitri beberapa waktu lalu harus dimaknai dengan mengambil pelajaran. “Kita sebagai bangsa dan umat muslim diajarkan untuk belajar hikmah,” katanya.
Ada beberapa hikmah dari beragam peristiwa di negeri ini. Pertama, keberagamaan itu selalu akan berhadapan dengan realitas kehidupan budaya, politik, ekonomi. Dalam keberagamaan ini ada wilayah instrinsik dan ekstrinsik. Di sini umat beragama harus bisa jernih membedakan dan menyikapinya.
Kedua, politik itu sering membelah karena kepentingan yang keras. “Dari sini kita belajar ternyata berpolitik tidak cukup dengan procedural dan kontestasi. Kita belajar bahwa berpolitik butuh nilai. Nilai kebajikan, nilai kebersamaan, nilai menang-kalah,” urai Haedar.
Seharusnya, sebagai umat beragama dan sebagai bangsa berpancasila, bisa memahami bahwa setelah pemilu selesai, maka semua kembali menjadi sebuah keluarga besar. “Dan politik tidak boleh membuat kita beragama, berbangsa, bernegara, menjadi kerdil,” ulasnya.
Ketiga, adanya perebutan tafsir dalam konteks berbangsa. Bangsa Indonesia, kata Haedar, belum tuntas dalam memberi makna tentang bangsa dan simbol-simbol. Ada beragam pertarungan dan kontestasi tafsir di dalamnya. Miris ketika kemudian nilai-nilai yang ada di dalamnya tidak dihayati dan diinternalisasi dengan baik. Nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri bangsa tidak diamalkan oleh para elit dan masyarakat.
“Yang terjadi justru masing-masing golongan atau kelompok menganggap diri paling pancasila, paling toleran, paling pluralis, paling beragama, tetapi nilai-nilai itu tidak terinternalisasi. Semisal ketidaksiapan dalam berpolitik di tengah kebhinnekaan,” katanya.
Haedar mengingatkan bahwa bangsa ini tumbuh berproses dari kecil menjadi dewasa. “Dalam bahasa agama disebut sebagai akil baligh. Orang yang akil baligh bisa tahu benar dan salah, baik dan buru, pantas dan tidak pantas,” katanya. Nilai-nilai itu harus menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari.
Haedar juga menyikapi tentang keadaan bangsa yang terpolarisasi dan diposisikan untuk selalu berhadap-hadapan. “Kita mudah dibenturkan karena, pertama, bodoh. Umat yang bodoh itu, kata nabi, seperti daging yang dicincang dan dimangsa oleh binatang buas,” katanya
Oleh karena itu, ungkap Haedar, Muhammadiyah senantiasa mendorong umat untuk menjadi cerdas berkemajuan. Yaitu umat yang mampu memilah beragam informasi. Lalu lintas informasi sering menjadi asupan dan pilihan politik dan akhirnya saling berhadap-hadapan. Menjadi fanatic buta. Berebut sesuatu yang tidak ada manfaatnya. “Seperti berebut tulang,” ujar Haedar mengumpamakan.
Kondisi ini diperparah oleh adanya pihak yang mengkapitalisasi untuk mengawetkan situasi berhadap-hadapan. Ada aktor yang bermain api. Memancing-mancing di setiap ada isu atau peristiwa. Biasanya ada aktor politik.
“Solusinya adalah dialog. Bangsa besar itu bukannya tanpa masalah tetapi bisa mengurai masalahnya itu dan bisa menyelesaikannya secara kolektif. Di situlah dialog,” katanya.
Dalam proses dialog itu, kata Haedar, harus ada yang menjembatani dan yang menjembatani ini harus bebas kepentingan. Haedar menyebut bahwa Indonesia sebenarnya memiliki orang-orang yang bebas kepentingan itu. Namun jarang dimanfaatkan.
Muhammadiyahy, kata Haedar, termasuk sebagai kelompok yang bebas kepentingan pragmatis. “Muhammadiyah punya sesuatu yang dimiliki dan selesai dengan dirinya,” kata Haedar. Muhammadiyah dianggap telah mandiri dan tidak punya kepentingan politik untuki berebut kekuasaan dan lading ekonomi.
Selain itu, Haedar mengajak para pemimpin untuk juga berbenah diri. “Sosok pemimpin harus menjadi milik semua golongan, jangan partisan. Harus ada moralitas dan wawasan kebangsaan yang luas,” tuturnya. (Ribas)