Oleh Mu’arif
Suara Muhammadiyah-Tanggal 17 Juni 1920, sebuah rapat umum terbuka (openbare vergadering) digelar di pendopo Kauman (depan rumah KRH Hadjid). Seorang lelaki tua berpakaian gamis dan mengenakan sarung. Sorban pelikat di kepalanya. Lelaki itu hendak melantik keempat santrinya yang sudah bersiap-siap mengemban tugas peradaban. Haji Syuja’, Haji Fachrodin, Haji Hisyam, dan Haji Mochtar. Mereka adalah santri sekaligus kawan seperjuangan lelaki kurus yang selalu mengenakan sorban pelikat itu. Lelaki itu tak lain ialah KH Ahmad Dahlan, khatib amin masjid gedhe Kauman, Yogyakarta.
Kepada Haji Syuja, KH Ahmad Dahlan memberi amanat untuk merintis dan mengembangkan Bahagian Penoeloeng Kesengsaraan Oemoem (PKO). Kepada Haji Fachrodin, khatib amin memberi amanat untuk merintis dan menyebarkan Muhammadiyah lewat Bahagian Tabligh. Kepada Haji Hisyam, pendiri Muhammadiyah mengamanatkan untuk mengembangkan Bahagian Sekolahan. Dan kepada Haji Mochtar, kiyai modernis dari Kauman itu memberi amanat untuk merintis penerbitan majalah dan buku-buku serta mendirikan bibliotheek.
Empat Bahagian (sekarang majlis) dalam struktur kepengurusan yang berfungsi sebagai unsur pembantu pimpinan dalam Muhammadiyah adalah Bahagian PKO, Tabligh, Sekolahan dan Taman Poestaka. Bahagian yang disebutkan terakhir inilah yang menjadi ujung tombak Muhammadiyah dalam proses publikasi ide-ide pembaruan yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan.
Sebelum Bahagian Taman Poestaka didirikan, gerakan Muhammadiyah hanya berskala lokal. Sejak 18 November 1912 hingga memasuki awal tahun 1920, gerakan Muhammadiyah tak sehebat seperti sekarang ini. Organ-organ pergerakan masih sangat terbatas. Tetapi setelah terbentuk Bahagian Taman Poestaka, Muhammadiyah mulai merintis penerbitan buku-buku, brosur-brosur, dan surat kabar yang berfungsi sebagai organ pergerakan. Sejak memasuki tahun 1920, majalah bulanan Soewara Moehammadijah dikelola di bawah manajemen Bahagian Taman Poestaka. Majalah ini memang terbit pertama kali sejak tahun 1915 (arsip Soewara Moehammadijah nomor 2/th I/1915), tetapi baru resmi sebagai organ pergerakan Muhammadiyah sejak terbentuk Bahagian Taman Poestaka. Selain menerbitkan majalah, Muhammadiyah mulai merintis percetakan sendiri. Buku-buku pelajaran yang dikonsumsi oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah disediakan lewat percetakan ini. Haji Fachrodin dan Haji Mochtar memiliki andil yang cukup besar dalam proses pendirian Percetakan Persatoean.
Kiprah Bahagian Taman Poestaka yang paling spektakuler adalah ketika berhasil mendirikan Bibliotheek Moehammadijah yang beralamatkan di Kauman nomor 44. Sebuah rumah milik KH Ahmad Dahlan disulap menjadi sebuah perpustakaan sederhana (tetapi cukup megah untuk zamannya). Rumah ini merupakan perpustakaan pribadi KH Ahmad Dahlan. Bibliotheek ini dikelola oleh pengurus komite Gedong Boekoe yang berada di bawah manajemen Bahagian Taman Poestaka.
Tampak dari luar, Gedong Boekoe tampak seperti rumah biasa, tetapi di atas pintu dipasang papan nama: BIBLIOTHEEK MOEHAMMADIJAH. Perpustakaan ini buka setiap hari kecuali hari Jum’at. Dalam sebuah photo yang diambil pada tahun 1927, tampak perpustakaan ini selalu ramai dikunjungi para murid dan aktivis Muhammadiyah. Tidak hanya orang-orang dewasa, tetapi anak-anak pun tampak antusias meminjam buku.
Jika dilihat dari dalam, Gedong Boekoe memang tampak mewah. Dalam sebuah dokumen (Almanak Muhammadiyah 1931), ruang perpustakaan berisi beberapa almari terbuat dari kayu jati tampak mengkilap. Di dalam almari tampak berjejer buku-buku dengan ukuran cukup tebal. Di tengah ruang terdapat sebuah meja dan dua buah kursi terbuat dari kayu. Di atas meja tampak beberapa pena dan stempel. Mungkin pena dan stempel itu peralatan administrasi perpustakaan yang dikelola secara profesional. Di pojok meja tampak sebuah bola dunia (globe).
Sungguh, gambar ini mengingatikan saya pada sebuah photo KH Ahmad Dahlan sewaktu berpose di sebuah perpustakaan! Beberapa fasilitas dalam Gedong Boekoe ini sungguh mirip dengan fasilitas dalam perpustakaan pribadi KH Ahmad Dahlan. Apakah perpustakaan pribadi KH Ahmad Dahlan telah disulap menjadi Gedong Boekoe milik Bahagian Taman Poestaka? Ini sebuah pertanyaan yang sedang saya cari jawabannya.
Taman Poestaka, penerbitan surat kabar dan buku-buku serta pendirian gedong boekoe merupakan torehan sejarah bahwa sejak pertama kali didirikan, Muhammadiyah sudah sangat akrab dengan dunia ilmu. Tetapi masa lalu hanya tinggal kenangan. Taman Poestaka yang pada hakekatnya merupakan salah satu dari empat unsure pembantu pimpinan yang pertama kali dirintis oleh Hoofdbestuur Moehammadijah kini tinggal kenangan. Dulu, Taman Poestaka pernah menjadi majlis pembantu pimpinan, tetapi kemudian dihilangkan, kemudian dihidupkan kembali dengan status lembaga khusus (Lembaga Pustaka dan Informasi). Tetapi keberadaan lembaga ini tak prestisius dan tak popular seperti pada zaman kepemimpinan Haji Mochtar. Penerbitan surat kabar dan buku-buku yang sempat fenomenal di kalangan Muhammadiyah kini sudah tak ditemukan lagi. Bahkan sejak tahun 2008, Percetakan Persatuan resmi ditutup. Padahal, Percetakan Persatuan merupakan percetakan pertama yang dirintis dan dimiliki oleh Muhammadiyah untuk memproduksi surat kabar, buku, dan brosur-brosur. Yang paling mengenaskan, nasib Gedong Boekoe sudah tak berwujud dan tak berbekas. Kini, Jalan Kauman nomor 44 sudah disulap menjadi tempat bisnis laundry pakaian. Sisa-sisa Gedong Boekoe sudah tak tampak lagi.
Layaknya sebuah kendaraan ketika mogok, langkah apa yang akan kita tempuh? Ah, mungkin kita perlu mendorong kendaraan itu! Tapi, setelah berkali-kali didorong, kenapa kendaraan tidak juga berjalan? Ah, ternyata bukan soal mesinya yang macet, tapi bahan bakarnya yang memang sudah habis! Jika bahan baka habis segeralah diupayakan untuk mengisinya kembali agar kendaraan bisa jalan kembali.
Nah, bagaimana dengan Muhammadiyah? Janganlah heran atau saling menyalahkan jika selama ini gagasan-gagasan pembaruan dalam Muhammadiyah makin langka. Bahkan, Muhammadiyah nyaris kesulitan melahirkan tradisi besar. Ini semua disebabkan karena para aktivis Muhammadiyah tak lagi memandang penting keberadaan Majelis Pustaka atau perpustakaan. Para aktivis Muhammadiyah juga semakin gamang menghadapi perubahan zaman. Ketika terdapat seorang aktivis yang membawa gagasan besar, oleh sebagian aktivis Muhammadiyah dianggap sebagai bagian dari kelompok yang berpikiran nyleneh.
Memang aneh!
—————————————————-
*) Pengarang buku Benteng Muhammadiyah (2010)