Bertentangankah Muhammadiyah Dengan Budaya Jawa?

Bertentangankah Muhammadiyah Dengan Budaya Jawa?

Judul Buku : Muhammadiyah Jawa

Penulis       : Ahmad Najib Burhani, PhD

Ukuran       : 14 x 21 cm

Tebal Buku : xxii, 186 halaman

Cetakan     : I, Februari 2016

Penerbit    : Suara Muhammadiyah


Pembicaraan mengenai hubungan Muhammadiyah dan budaya Jawa kerapkali menempatkan Muhammadiyah dalam posisi yang sepenuhnya berseberangan dengan budaya Jawa. Sebagai sebuah gerakan puritan, Muhammadiyah sering dipandang menolak unsur-unsur budaya Jawa. Beberapa peneliti, seperti HM Federspiel, menyatakan bahwa nama Muhammadiyah itu sendiri (yang berarti: ‘para pengikut Muhammad’) dan cita-citanya, sudah memberi indikasi bahwa gerakan ini memang bermaksud menghidupkan kembali ajaran-ajaran ortodoks Islam. Karena itu, gerakan ini memurnikan bentuk-bentuk pengamalan agama. Dalam hal ini, tampak bahwa Muhammadiyah ingin mengubah budaya Jawa yang sering dinilai penuh ajaran sinkretis.

Padahal, menurut Ahmad Najib Burhani, penulis buku ini, bila fakta sejarah Muhammadiyah diamati secara jeli, akan terlihat bahwa organisasi ini, serta pendiri dan tokoh-tokoh masa awalnya, telah menampakkan apresiasi yang besar terhadap beberapa unsur budaya Jawa. Dengan mengungkap sejarahnya, kita akan menemukan bahwa Muhammadiyah pernah memiliki hubungan yang baik dengan budaya Jawa. Memurnikan (pengamalan Islam) tidak harus berarti menghilangkan atau merusak seluruh unsur budaya Jawa. Dengan menelusuri dan meneliti secara mendalam hubungan Muhammadiyah dan budaya Jawa pada masa berdirinya, buku ini berupaya menjembatani kesenjangan keduanya yang terjadi dewasa ini.

Buku ini menjawab berbagai pertanyaan mengenai hubungan ideologis dan doktrinal antara Muhammadiyah dan budaya Jawa. Sejauh manakah budaya Jawa memberikan pengaruh pada pembentukan Muhammadiyah? Dalam pembentukannya, bagaimana Muhammadiyah merespons Keraton Yogyakarta dan lingkungan di sekitarnya? Bagaimana Muhammadiyah berusaha memurnikan Islam dari pengaruh budaya Jawa? Bagaimana pula identifikasi Muhammadiyah sebagai gerakan puritan muncul? Apakah kejawaan selalu bertentangan dengan ajaran-ajaran Muhammadiyah? Mengapa Muhammadiyah setelah periode Kiai Dahlan menjadi cenderung kurang menghormati atau memusuhi budaya Jawa? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, buku ini akan menelusuri sikap dan pandangan pendiri, para pimpinan, dan para tokoh Muhammadiyah pada masa-masa awal.

Buku ini, sebagaimana dikatakan Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, membuka wawasan pembaca tentang hubungan Muhammadiyah dengan budaya Jawa. Dengan data-data yang bersumber dari referensi-referensi tertulis yang otentik dan wawacara mendalam dengan narasumber yang terpercaya, buku ini menegaskan dua tesis penting. Pertama, berbeda dengan gerakan pemurnian Islam pada umumnya yang cenderung eksklusif dan skripturalistik. Muhammadiyah menampilkan karakternya yang khas sebagai gerakan yang puritan dan inklusif. Kedua, Muhammadiyah dan para tokohnya yang taat mengamalkan Islam dan sangat anti-sinkretisme, tidak bersikap konfrontatif terhadap budaya Jawa. Dalam hal tertentu yang tidak bertentangan dengan Islam, Muhammadiyah bahkan bersikap akomodatif. Dua tesis ini merupakan sumbangan penting buku ini dalam memperluas khazanah pengkajian sejarah dan gerakan Islam. Selamat membaca. (Imron Nasri)

Exit mobile version