Kapak Terpendam

Kapak Terpendam

Kapak Terpendam

Cerpen: Agus Fahri Husein*

HAJI Kriya sudah tua, 87 tahun, istrinya sudah beberapa tahun meninggal lebih dahulu; karena itu berita kematiannya tidaklah terlalu mengejutkan bagi para tetangga dan anak-anaknya. Sebagai seorang ayah, bahkan kakek, tugasnya sudah selesai. Lima orang anaknya semua sarjana, bahkan ada yang S-3. Semuanya sudah berkeluarga dan tinggal menyebar di berbagai kota, kecuali yang bungsu, yang setelah lulus dari Teknik Arsitektur UGM, ditahan ayahnya.

“Kamu jangan kemana-mana. Bapak sudah tua. Usaha pengolahan kayu ini harus ada yang meneruskan. Usaha ini Bapak rintis dari nol. Kamu dan kakak-kakakmu bisa sekolah sampai sarjana, semuanya berawal dari pengolahan kayu ini. Bapak percaya sama kamu!”

Si Bungu, lebih karena kedekatan dan rasa sayangnya pada ayahnya, tidak berkata apa-apa selain mengiyakan saja. Dengan demikian, perlahan dan pasti kepemimpinan usaha pengolahan kayu itu beralih kepadanya. Ketika Haji Kriya sudah mulai sakit-sakitan, kepemimpinan perusahaan pengolahan kayu itu sudah sepenuhnya berada di tangan Si Bungsu.

Semua tetangga sudah berdatangan, juga anak-anak Haji Kriya, semuanya kecuali Si Sulung. Orang-orang sibuk menyiapkan peralatan untuk memandikan jenasah. Ruang tengah yang besar sudah dibersihkan dari perabot dan digelari karpet untuk shalat jenasah nantinya. Kain kafan juga sudah disiapkan. Kesibukan itu berubah menjadi kegemparan yang bersumber dari kamar tidur tempat jenasah Haji Kriya dibaringkan. Anak-anaknya sedang berada di sana semua, kecuali Si Sulung, ketika tiba-tiba Haji Kriya bersin dan terbangun dari mati surinya.

Alhamdulillah! Kapaknya! Kapaknya mana?”

Kaget dan gembira, anak-anaknya semua saling berpandangan. Si Bungsu memeluk ayahnya dan membantunya duduk.

“Kenapa kalian semua ada di sini? Mana Sulung?”

Si Bungsu duduk merapat ke ayahnya, mengangsurkan gelas minum yang diterima Haji Kriya dengan tangan gemetaran. Si Bungsu memberi isyarat kepada kakak-kakaknya untuk keluar kamar dan memberi penjelasan kepada para pentakjiyah. Setelah mereka keluar, tinggal dia saja berdua dengan ayahnya. Perlahan-lahan Si Bungsu menjelaskan kepada ayahnya bahwa ayahnya baru saja terbangun dari mati suri.

“Aku tahu!” Haji Kriya berkata keras. “Aku memang disuruh kembali!”

Si Bungsu kaget. Dia mundur untuk menaruh gelas bekas minum ayahnya.

“Kakakmu Sulung mana?” tanya Haji Kriya lagi.

“Tidak ada di sini. Sedang di Yunani, katanya melakukan studi banding tentang etika. Tetapi dia sudah dikabari. Akan segera pulang setelah tiba di Jakarta.”

“Kenapa jauh-jauh? Kenapa tidak belajar saja sama Bapak? Tidak cukup dulu disekolahkan sampai S-3?”

“Nanti saya tanyakan kalau dia sudah kembali.”

Haji Kriya memberi isyarat agar anaknya mendekat. Si Bungsu naik ke atas kasur, duduk berhadap-hadapan dengan ayahnya. Haji Kriya menarik lutut anaknya agar lebih mendekat lagi.

“Bapak sudah sampai di sana,” katanya pelan. “Ada dua orang bersinar-sinar mendatangi Bapak, yang satu sinarnya biru dan satu lagi merah. Bapak yakin mereka itu malaikat. Bapak dibangunkan dan didudukkan. Malaikat Biru tersenyum kepada Bapak, tetapi Malaikat Merah diam saja. Matanya saja yang menatap tajam ke Bapak. Lalu Malaikat Biru bertanya ke Bapak: Kamu siapa? Bapak jawab: Haji Kriya. Pekerjaan? Tukang kayu. Terus mereka bertanya banyak hal tentang perkayuan. Semuanya bisa Bapak jawab dengan jelas dan gamblang. Setiap mendengar jawaban Bapak, Malaikat Biru selalu tersenyum puas. Sampai kemudian Bapak tidak bisa menjawab lagi, dan Malaikat Biru berhenti tersenyum.

Haji Kriya berhenti beberapa lama. Nafasnya tersengal-sengal. Si Bungsu bergeser duduknya agar bisa memijiti punggung ayahnya.

“Kamu tahu waktu Bapak memulai usaha pengolahan kayu ini? Waktu itu kamu belum lahir. Bapak harus menebang sendiri pohon yang Bapak beli. Tidak ada modal untuk membayar ongkos tukang….”

“Ya, dulu Bapak sudah pernah cerita.”

“Itu sudah lebih dari empat puluh lima tahun yang lalu. Ditanyakan Nak, oleh Malaikat Biru: Menebang kayu pakai apa? Bapak jawab: Pakai kapak. Kapaknya beli dimana? Toko Babah Haji A Coen. Sudah dibayar? La ilaha illallah… sampai di situ Bapak tidak bisa menjawab….”

Haji Kriya memandangi anaknya tak berkedip. Air menetes dari kedua matanya yang kelabu. Bibirnya gemetaran.

“Malaikat Merah menampar pipi Bapak dan membentak: Goblok kamu! Bapak tersadar, kalian semua ada di kamar Bapak…. Bantulah Bapak… carilah kapaknya. Pasti ada di gudang kayu. Dulu tempat itu digunakan untuk penggergajian. Cari sampai dapat!”

Si Bungsu mengambil kertas tisu dan membersihkan muka ayahnya, merapihkan pakaiannya dan mengenakan kopiah di kepalanya.

“Nanti kapaknya saya cari. Sekarang Bapak keluar dulu. Anak-anak, cucu-cucu, semua menunggu Bapak.”

“Cari sekarang!”

“Iya, iya.”

Si Bungsu memapah ayahnya keluar kamar. Seketika itu juga terdengar gelak tawa riuh-rendah. Haji Kriya didudukkan di kursi panjang dan sebentar kemudian dikerumuni cucu-cucunya; seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Si Bungsu memerintahkan semua anak buahnya untuk membongkar isi gudang kayu. Semua tumpukan kayu harus diangkut satu persatu dan diteliti dengan cermat, dipindahkan sementara di ruang terbuka. Rongsokan truk yang ada di situ juga harus dikeluarkan setelah diperiksa semua bagiannya, kabinnya dan baknya. Dia sendiri tidak yakin bagaimana dia bisa menemukan kapak itu, dia sama sekali belum pernah melihat barangnya. Jika pun pernah, mungkin juga sudah tidak bisa mengingatnya lagi. Kapak itu mungkin sudah ada di sana ketika dia belum lahir. Jadi ketika semua kayu dan barang-barang lainnya sudah dikeluarkan, dia menemui ayahnya.

“Pasti ada di sana! Galilah lantainya. Dulu orang menggergaji kayu dengan menggali lubang di tanah. Meletakkan kayu itu di atas lubang, agar gergaji yang besar itu, gergaji buaya, bisa digerakkan bergantian oleh dua orang dari atas dan dari bawah. Setidaknya lubang itu harus sedalam dua meter. Galilah! Temukan bekas lubangnya!”

“Tetapi lantai gudang sudah dicor beton….”

“Ya, galilah. Sewa jack-hammer. Cari orang-orang yang sudah biasa menggali. Jangan pakai beck-go, nanti bangunannya malah roboh.”

Haji Kriya tidak ingat lagi di bagian mana dahulu lubang penggergajian itu ada. Si Bungsu mengira-ngira saja, kemungkinan besar ada di bagian belakang, tidak mungkin di bagian depan dekat pintu karena akan menghalangi keluar-masuk barang.

Setelah dua hari dua malam tanpa henti, membayar tukang gali bergantian shift, barulah kapak itu ditemukan. Persis seperti dikatakan Haji Kriya, di kedalaman dua meter, bersama peralatan lain yang sudah lapuk dan karatan. Ada gergaji buaya, tinggal separoh tanpa gagang, ada batu asahan, gerinda tangan, palu dan lain-lain. Kapak itu masih ada gagangnya separoh, tetapi sudah sangat rapuh, sisa dimakan rayap; bilah kapaknya sendiri juga sudah tidak utuh, sompel di bagian tajamnya, dan tentu saja berkarat. Si Bungsu mencuci kapak itu dan membawanya ke ayahnya.

“Nah, benar ini kapaknya! Siapkan mobil!”

Anak-anak Haji Kriya berebut menawarkan mobilnya masing-masing. Mobil-mobil sedan ber-AC. Haji Kriya menggeleng.

“Mobil Bapak sendiri, nanti jadi pertanyaan lagi!” katanya.

Si Bungsu mengeluarkan mobil bak milik ayahnya. Mobil pertama yang dibeli ayahnya dahulu ketika memulai usaha pengolahan kayu. Mobil itu sudah sangat tua dan jarang digunakan. Mobil jenis itu sekarang sudah tidak diproduksi lagi. Sopir-sopir yang disuruh membawa mobil itu selalu menggerutu. Banyak mobil yang kemudian dibeli oleh ayahnya, sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang terus berkembang, tetapi setiap dia berkata “mobil Bapak”, semua orang tahu yang dimaksud adalah mobil tua itu.

Toko bahan bangunan Babah Haji A Coen sudah hampir tutup ketika Haji Kriya dan Si Bungsu sampai disana. Haji A Coen sendiri sudah lama meninggal, sekarang toko itu dikelola oleh anak perempuannya, Hajjah Ing Tay, yang biasa dipanggil Cik Hajjah. Haji Kriya disambut dengan sangat ramah, dibimbing oleh Cik Hajjah dan langsung diajak ke ruang keluarga yang berada di bagian belakang toko. Tampaknya dia sudah mendengar kabar mengenai bangunnya Haji Kriya dari mati suri.

“Pak Haji minum teh ya. Ini teh ada ginsengnya, saya bawa sendiri dari Korea. Seminggu yang lalu saya ke Korea. Nanti Pak Haji bolehlah bawa satu pak….” Sambil terus berbicara Cik Hajjah sibuk meramu sendiri teh yang dimaksudkannya. Cik Hajjah membawa nampan berisi tiga cangkir teh berwarna kekuning-kuningan. Setelah meletakkan nampan di meja, dia mengambil satu cangkir dan mengasongkannya ke Haji Kriya, menunggui Haji Kriya minum, menerima kembali cangkirnya dan meletakkannya di tempatnya semula. Keramahan khas China untuk melayani orang yang lebih tua. Sedangkan Si Bungsu dipersilahkannya mengambil sendiri tehnya. Setelah semua minum teh, barulah Cik Hajjah bertanya tentang maksud kedatangan tamunya.

Si Bungsu mengeluarkan kapak kuna itu dari bungkusannya dan menunjukkannya ke Cik Hajjah.

“Ha? Saya tidak menjual lagi kapak yang seperti ini. Sudah tidak ada orang yang menggunakannya lah….”

“Bukan mau membeli Cik,” kata Si Bungsu cepat. “Ini kapak dahulu diambil oleh ayah saya dari toko ini, dan lupa belum dibayar.”

“Dahulu kapan?”

“Dahulu, waktu Babah Haji masih hidup.”

Cik Hajjah terdiam sebentar, kemudian tertawa berkepanjangan. “Maksudnya Pak Haji ini kesini mau membayar kapak ini? Ha ha ha! Sudahlah! Sudahlah! Kita ‘kan sudah seperti saudara sendiri. Masya Allah! Sudahlah!”

Si Bungsu dan Haji Kriya diam tidak bereaksi. Cik Hajjah tampak kebingungan dan salah tingkah. Dia merasa takut karena tanpa disadarinya dia telah menghina tamunya. Si Bungsu berdiri dan membisikkan sesuatu ke Cik Hajjah.

“Waduh… maafkan saya Pak Haji. Maafkan… kalau maunya Pak Haji… tapi kita gak jual kapak seperti ini lagi….”

Si Bungsu menaruh dua lembar ratusan ribu di atas meja. Cik Hajjah kebingungan memandangi uang itu. Setelah Haji Kriya menggeser uang itu ke depannya, Cik Hajjah buru-buru mengambilnya dan membawanya ke tokonya. Sebentar kemudian dia kembali membawa nota pembelian dan uang kembalian Rp. 65.000,- Dia menaruh uang dan nota pembelian itu di meja dengan tangan gemetaran. Tak lama kemudian tangisnya pecah. Dia berlutut dan menangkupkan mukanya ke pangkuan Haji Kriya.

“Kedatangan Pak Haji mengingatkan saya pada Babah….” Maksudnya Babah adalah almarhum ayahnya: Babah Haji A Coen. “… sudah lama sekali… saya masih ingat benar… ketika kecil dulu… setiap kali Pak Haji kesini… Pak Haji suka sekali menggendong-gendong saya… saya selalu ingat apa yang dikatakan Pak Haji… waktu itu… ini cantik putih… tapi matanya tipis sekali….”

Haji Kriya mengusap-usap kepala Cik Hajjah beberapa kali untuk menenangkannya. Kemudian dia menarik pelan pundaknya menyuruhnya berdiri. Sampai Haji Kriya dan anaknya berpamitan pulang Cik Hajjah masih menangis terisak-isak. Sampai-sampai dia lupa, tadi mau membekali Pak Haji sepak teh ginseng yang dibawanya dari Korea.

Sampai di rumah sudah hampir magrib. Si Bungsu memapah ayahnya ke kamarnya kembali, melepaskan kopiahnya, dan membaringkannya di tempat tidur. Haji Kriya tampak tersenyum lega, matanya berbinar-binar.

“Ingatlah semua kejadian ini,” katanya pada anaknya Si Bungsu. “Ceritakan kepada kakak-kakakmu, terutama Sulung, juga anak-anakmu… siapa saja yang bisa kamu ceritai… semuanya akan ditanyakan… juga meskipun cuma kapak kecil….”

Si Bungsu menatapi ayahnya tanpa berkedip. Haji Kriya tersenyum lagi, dan matanya tetap berbinar-binar.

“… di telinga Bapak…” katanya.

Si Bungsu tak mengerti. Setelah ayahnya mengulang perkataan yang sama dan memberi isyarat lemah dengan tangannya untuk mendekat, barulah dia mengerti. Si Bungsu membungkuk untuk membisikkan kalimat thayibah itu di telinga ayahnya: “La ilaha illallah, Muhammaddar rasulullah.” Haji Kriya menirukan. Si Bungsu mengulang lagi. Demikian beberapa kali, sampai Haji Kriya tidak terdengar menirukan lagi.

Si Bungsu bangkit memandangi wajah ayahnya. Senyum tetap mengembang di bibir Haji Kriya, tetapi matanya tak bersinar lagi. Si Bungsu mengusapkan tangannya ke wajah ayahnya untuk memejamkan matanya. Kemudian dia keluar kamar dan bertepuk tangan sekali untuk mengatasi gurauan dan gelak tawa saudara-saudara, para keponakan dan cucu-cucu.

“Eyang sudah pergi. Kali ini benar-benar pergi.” katanya.

Seketika semua terdiam. Suasana menjadi senyap sekali. Sesaat kemudian terdengar alunan adzan magrib mendayu-dayu dari masjid di kejauhan: Allahu Akbar! Allahu Akbar!

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain dari kamu dengan jalan yang batil.…” (QS: 2:188).


*Agus Fahri Husein lahir di Singaraja (Bali), 28 Februari 1964. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1994). Pernah bekerja sebagai wartawan dan editor buku-buku filsafat, sosiologi dan agama di Yogyakarta dan Jakarta.  Sekarang tinggal di Cilegon, Banten. Menulis sejak 1981, terutama cerita pendek. Cerpen-cerpennya dibahas diantaranya oleh Nigel Rigby, “Diverse Lives: Contemporary Stories from Indonesia”, Word Literary Today (National Maritime Museum, London: 1997); Stefan Danerek, “Tjerita and Novel, Literary Discourse in Post New Order Indonesia” (disertasi Lund University, Swedia: 2006); dan Abdul Azis, ”Kajian Nilai Moral dan Citraan Cerpen” (disertasi Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: 2011).

Exit mobile version