Oleh: Hasnan Bachtiar*
Pada Kamis, 29 Juni 2017 lalu, ada konferensi menarik yang bertajuk, “Australasian Association for Communist and Post-Communist Studies – 13th Biennial Conference” di The Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), The Australian National University (ANU), Canberra, Australia.
Tepat setelah pembukaan oleh Prof Amin Saikal (Direktur CAIS), pidato ilmiah pertama dibawakan oleh seorang ahli komunisme dunia, yang dibesarkan di lingkungan para petinggi Partai Komunis Rusia, yang pada akhirnya menjadi sarjana yang paling insyaf bahwa komunisme adalah jalan politik yang serba gagal dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan, keadaban dan martabat rakyat, yakni Prof Adrey Kazantsev (Moscow State Institute of International Relations).
Seorang guru besar berkebangsaan Rusia yang jenius ini, membentangkan makalah yang bertajuk “Taking Stock of the Bolshevik Revolution and Soviet Modernisation – Contemporary Debates in Russia.”
Intisari kuliah tersebut hendak menggarisbawahi bahwa, revolusi di Rusia sebenarnya benar-benar terjadi. Dalam pengertian, gerakan politik revolusioner yang menggelinding di tahun 1900an di Rusia, telah merubah kondisi sosial dan kultural masyarakat secara sangat signifikan. Secara relatif, membawa kepada kondisi yang lebih baik. Terutama dalam bidang pertanian, pendidikan, perkembangan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Namun secara umum, semua ini terjadi sama sekali bukan berkat ideologi komunisme Rusia.
Waktu mengalir begitu saja: kekuasaan runtuh, lalu bangkit, lalu terpuruk (melalui pelbagai tahapan Perang Dunia) dan kemudian, setelah seabad berlalu, Rusia yang saat ini kita saksikan bersama, sedang menjalani kehidupannya. Dan yang perlu dicatat adalah, negara ini semakin jauh meninggalkan ideologi komunisme.
Hingga sekarang ini, Rusia masih sangat diperhitungkan sebagai negara adikuasa yang sangat berpengaruh. Rusia memiliki posisi politik yang setara dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Bahkan mungkin, lebih baik dari keduanya.
Tatkala demokrasi Amerika Serikat sedang berlari menuju trend otoritarianisme Tiongkok, sementara Tiongkok sendiri sepertinya enggan meninggalkan gaya kepemimpinan politik yang sarat despotisme ini, Rusia berdiri memupuk proses demokratisasi yang berjalan dengan cara yang sangat baik.
Ketika melihat perkembangan Rusia yang demikian, saya turut berbahagia. Pasalnya, apa yang disebut sebagai pusat kekuatan global, telah bergerak menyebar. Artinya, tidak hanya didominasi oleh Amerika (dan Eropa), namun juga Tiongkok, Rusia dan belakangan, India (sedang bangkit).
Saat mengamati gerak penyebaran kekuatan global ini, terbersit dalam benak jiwa untuk berkaca kepada bangsa sendiri, Indonesia. Bangsa ini sedang berlari menuju kebangkitan yang sama. Kita memiliki segalanya. Para pemimpin yang baik, para agamawan yang luhur, ajaran-ajaran kehidupan yang mencerahkan, praktik-praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh keadaban.
Indonesia adalah negara dunia pertama, pusat peradaban utama, tempat di mana kekuatan adidaya yang sebenarnya dipancangkan. Ini semua bukan “akan” terjadi nanti apabila kita menjalankan pelbagai syarat seperti “ini dan itu”. Ini semua sedang berlangsung, karena kita bersama-sama sedang membangun peradaban kita sendiri yang jaya.
Kita, tidak pernah mengurus hal yang remeh-temeh, ribut karenanya, mencaci-maki via media sosial, menjual agama karena urusan kursi politik yang tak seberapa. Kita juga tak pernah membunuh, menjegal berlaku picik dan licik terhadap teman sendiri hanya karena persaingan ekonomi, demi uang receh semata. Perbedaan yang kita miliki mengayakan, mendamaikan, membahagiakan dan memuliakan derajat kita semua sebagai manusia seutuhnya.
Partai-partai politik yang kita miliki benar-benar menjadi wadah bagi politik kerakyatan. Mereka mewakili suara rakyat, secara tulus, ikhlas, tanpa pamrih. Wakil rakyat kita benar-benar wakil yang bersahaja, penuh wibawa karena kesederhanaannya, kedekatannya dengan rakyat dan bahkan mereka adalah rakyat itu sendiri, jauh dari perilaku bermewah-mewah.
Orang-orang kaya di negeri ini, sama sekali jauh dari sifat serakah, cinta harta semata atau gemar berfoya-foya. Mereka menyumbangkan hampir semua keuntungannya untuk menolong sesama, memberikan beasiswa, membantu fakir miskin yang sakit, memberikan modal usaha cuma-cuma dan seribu kebaikan berderma lainnya.
Polisi-polisi kita bukan sekedar mengamankan tetapi juga mengayomi, merangkul dan membantu betul dalam kehidupan berbangsa yang menjunjung nilai humanisme yang tinggi. Tentara-tentara kita jauh dari keinginan, kehendak, pikiran perang, pertumpahan darah, pertikaian yang tidak perlu, bahkan cinta damai, promotor welas asih dan perdamaian. Aparatus hukum kita, para hakim, jaksa dan pelbagai mahkamah yang kita punya, sangat adil, bijaksana, rendah hati, penuh rasa cinta akan kemanusiaan dan seterusnya.
Lalu tiba-tiba, di sela-sela konferensi ini, aku terkaget setengah mati. Teman di sebelahku, seorang profesor berkebangsaan Turki, membangunkanku. “Bangun Hasnan, kuliah pertama ini sudah usai.” Ya Rabbi… aku tertidur rupanya di tengah kuliah dan bermimpi indah tentang bangsaku sendiri. Semoga mimpi ini adalah ilham (prediksi) tentang masa depan yang sesungguhnya, mengenai negeri yang kita cintai bersama. Setelah kejadian itu, hanya doa yang mampu kupanjatkan, “Ya Allah, berkatilah negeri kami, damaikanlah rakyatnya, berilah jalan yang lapang untuk menjadi negeri yang jaya, yang terbaik, yang Engkau limpahkan welas asih atasnya.”
——————————————————————
*Penulis adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).