Media Sosial dan Budaya Komentar

Media Sosial dan Budaya Komentar

Bermula dari sebuah cuitan di twitter, polemik tentang seorang khatib yang diduga menyebar kebencian dimulai. Dikarenakan yang mentwit adalah kelompoknya, sebagian para netizen langsung menyambar untuk kemudian menambah komentar sembari meretweet dan menyebarluaskan. Sebaliknya, dikarenakan sang khatib adalah bagian dari organisasinya, tak sedikit pula netizen yang langsung kebakaran jenggot, lalu membalas dengan serangan mambabi buta.

Baik yang pro maupun yang kontra ternyata sama-sama tidak berada di lokasi kejadian. Belum memperoleh informasi dan kronologis yang utuh. Belum juga bertabayun kepada yang bersangkutan secara berimbang. Namun, kedua golongan memiliki semangat yang sama. Bahwa setiap ada peristiwa tertentu adalah momentum untuk membela dan menaikkan diri dan kelompoknya serta di saat yang sama menyerang dan menjatuhkan kelompok yang berbeda.

Beberapa tahun belakangan, masyarakat, khususnya warga internet semakin mudah terpolarisasi. Antara kutub ekstrem kiri dan kanan. Jika satu kelompok menyatakan dukungan maka kelompok yang lain menolak. Jika satu pihak menyatakan ‘harus’ maka pihak lain langsung menyahut ‘jangan’. Berada dalam posisi oposisi biner. Hitam dan putih. Berhadap-hadapan. Bertolak belakang, tak ada titik tengah untuk bertemu seirisan.

Kedua kelompok ini sama-sama fanatik buta. Dalam bahasa Haedar Nashir, mereka menjadi orang-orang yang mendakwa diri sebagai penjaga gerbang kebenaran tunggal secara absolut. Seraya setiap nafasnya sibuk memelototi keberagamaan orang lain dengan takaran keyakinan dan paham sendiri. Tanpa sedikit pun rasa simpati untuk terlebih dulu sedikit memahami dan mengerti paham dan interpretasi berbeda.

Ketika sama-sama merasa paling benar, maka seantero media sosial selalu gaduh. Bahkan oleh karena sesuatu yang sebenarnya sangat tidak penting. Namun, semua unjuk diri mengerahkan segenap energi. Betapa sering pemicunya hanya dari persoalan remeh. Namun karena diungkap oleh salah satu golongan, maka yang lain akan langsung menyambar dengan respon hujatan. Di waktu tertentu, sama-sama menuduh informasi yang berbeda sebagai hoak. Tanpa sadar dirinya sendiri menjadi produsen dan konsumen hoak dari kelompok sendiri.

Pertempuran sengit di media sosial ini bisa berlangsung berhari-hari. Sampai kemudian bosan sendiri dan akhirnya mereda. Hasilnya? Sama sekali tidak ada. Sejenak jeda, keesokan dimunculkan lagi isu berbeda. Lalu, suasana kembali riuh. Kesempatan saling berbalas dendam. Ujaran makian keluar dengan begitu mudahnya. Beragam dalil dan dalih dikemukakan. Andaipun memakai dalil agama, maka ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis akan dipahami dan atau dipaksa supaya tafsirnya berpihak sesuai dengan paham ideologi mereka.

Mereka tidak pernah mau setidaknya punya definisi yang sama terhadap apa yang selalu mereka perdebatkan. Pihak tertentu memahami sesuai dengan karakteristik kecenderungan dan jangkauan pengalamannya. Andaipun kemudian punya definisi yang sama, kedua kelompok ini tidak dalam frekuensi yang sama dalam memahami konteks apa yang mereka perdebatkan. Titik pijakan, definisi, dan konteks yang semuanya berbeda, cukup menjadi alasan mengapa kedua kelompok ini terus-menerus bersitegang, menabuh genderang perang.

Pelaku dalam polemik ini ternyata sebagian besarnya merupakan anak-anak muda. Mereka yang berada di usia produktif. Bahkan tidak sedikit merupakan para akademisi yang sedang menempuh pendidikan. Sebagian besar mereka berafiliasi pada organisasi massa tertentu. Bahkan ada juga yang berafiliasi pada partai tertentu. Mereka berjejaring atas dasar kesamaan pandangan dan pilihan tertentu. Latar belakang pendidikan dan profesi mereka pun sangat beragam, terutama jurusan non humaniora.

Di saat yang sama, anak-anak muda yang di usia produktif ini kehabisan waktu untuk tugas-tugas yang lebih produktif, penting, dan kekinian. Mereka lebih disibukkan dengan dunia maya. Kehidupan dunia nyata yang berorientasi pada kemajuan masa depan menjadi terlupakan. Termasuk absen dalam tugas-tugas kemanusiaan universal.

Kondisi ini sebagaimana diperingatkan Fahruddin Faiz, orang menjadi sibuk dengan alat atau sarana serta melupakan substansi dan tujuan. Semisal handphone atau gadget merupakan alat untuk memudahkan komunikasi. Tetapi dengan sebab handphone dan gadget, manusia kadang lupa berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Lupa untuk menjalin silaturahim, bertabayun, berdialog.

Ada beragam bias kepentingan di sana. Ada banyak ideologi yang dipertaruhkan di baliknya. Naif ketika kemudian mereka yang tidak paham, justru ikut terbuai dan larut di dalamnya. Terbawa arus tanpa tahu apa, mengapa, ke mana, dan bagaimana. Dalam dataran terendah mereka berhujah, “Kita tidak bisa terus-menerus diam. Kita harus membela diri. Kebenaran tidak boleh kalah.”

Teori konspirasi selalu dimunculkan dalam setiap ada peristiwa kekalahan. “Pihak musuh sedang mengupayakan beragam cara untuk menghancurkan kita,” kilahnya. Sikap ini tak lebih dari suatu kondisi mental pesimis yang bernaung di balik teori konspirasi. Bahwa di balik kekalahan dan kemunduran dirinya, selalu disebabkan oleh pihak luar. Tanpa pernah mengevaluasi dan memperbaiki diri. Tanpa pernah memacu peningkatan kualitas untuk lebih baik lagi.

Keadaan ini tentu tak memberi manfaat apa-apa. Tak menoreh sedikit pun keuntungan bagi peradaban. Seharusnya, jika memang tidak menyukai pihak berbeda, maka tanggapilah dengan respon yang cerdas dan memberi alternatif solusi. Jika memang tidak suka dengan sikap politisi yang korup, maka mulailah untuk mendidik kader politisi untuk didorong masuk ke dalam gelanggang. Jika tidak suka dengan sistem ekonomi kapitalis, maka kuasailah ilmu dan ladang ekonomi yang memberi kemaslahatan kepada rakyat. Jika tidak suka dengan karya, film, buku pihak lain, maka buatlah karya, film, buku yang serupa dan atau lebih baik. Tanggapan seperti ini tentu lebih memberi kemanfaatan bagi masyarakat, bangsa, dan peradaban. Tanggapan seperti ini juga tidak akan memperunyam dan memperkeruh dunia maya dan dunia nyata.

Sebagai penutup, pernyataan Abdul Mu’ti menyimpulkan tulisan ini, ‘Tidak semua isu harus ditanggapi atau direspon secara berlebihan. Karena isu yang berkembang di media tidak semuanya nyata, ada sebagian isu yang direkayasa sehingga tidak seperti substansi aslinya. Karena itu, perlu arif dalam menanggapi isu sehingga responnya efektif. Jangan sampai kita kehabisan energi untuk merespon berbagai isu yang berkembang.’

——————

Penulis Muhammad Ridha Basri

Exit mobile version