Oleh: Mu’arif
Metode pengobatan modern yang berkembang di Barat berbeda dengan metode pengobatan pada zaman Nabi saw. Dalam terminilogi ilmu kesehatan modern, setiap penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab yang bersifat empiris, misalnya karena infeksi virus/bakteri atau masuknya zat-zat berbahaya dalam tubuh sehingga merusak sistem kerja organ tubuh manusia. Cara pandang seperti ini berbeda dengan alam pikiran muslim yang memahami realitas dalam kutub ganda: lahiriah (empiris) dan batiniah (supranatural). Dalam terminilogi ilmu kesehatan muslim, tidak semua penyakit berhubungan dengan sebab-sebab empiris yang berkaitan dengan kondisi organ tubuh manusia, tetapi ada beberapa jenis penyakit yang tidak cukup diobati dengan tindakan medis atau terapi klinis.
Alam Pikiran Muslim
Sejarawan Ibnu Khaldun (Muqaddimah, 2000: 132) menyebutkan bahwa jauh sebelum agama Islam datang, alam pikiran bangsa Arab jahiliyah telah mengenal ragam persepsi supranatural, seperti kuhhanah, sihr, dan lainnya. Kuhhanah berkaitan dengan perbintangan yang diyakini dapat mempengaruhi nasib seseorang. Perubahan letak suatu jenis bintang di langit diyakini dapat membawa malapetaka di bumi. Sihr adalah praktek ilmu hitam menggunakan bantuan jin yang juga diyakini dapat mempengaruhi nasib dan kondisi seseorang. Apabila seseorang tiba-tiba jatuh sakit, masyarakat jahiliyah memahami fenomena tersebut sebagai ulah jin jahat. Untuk menghadapi dampak malapetaka akibat munculnya sebuah bintang, peran seorang kahin (dukun) dianggap mampu menangkalnya. Peran seorang penyihir (sahir) juga diyakini dapat mengusir jin jahat dalam tubuh orang yang sakit.
Setelah kedatangan Islam, segenap persepsi supranatural yang berbau animisme, dinamisme, dan bahkan totemisme, terkikis oleh ajaran kenabian Muhammad saw. Sejarawan Ibnu Khaldun (hlm. 119-120) menegaskan bahwa persepsi supranatural tertinggi yang tidak dapat dipelajari oleh manusia biasa adalah kenabian (nubuwwah). Sepintas, mukjizat yang dibawa Nabi Muhammad saw memang menyerupai praktek sihir, tetapi secara subtantif keduanya dari jenis yang berbeda.
Ajaran kenabian telah mengikis praktek-praktek pengobatan magis di kalangan bangsa Arab. Meskipun demikian, ajaran Islam memiliki pandangan bahwa realitas memiliki kutub ganda: lahiriah dan batiniah. Di seberang realitas empiris terdapat dimensi batin yang non indrawi. Bahkan, struktur teologi dalam Islam mengenal konsep mistik, seperti pengakuan alam terhadap alam malaikat (malakut), dunia jin, dan lain-lain. Struktur tertinggi dalam teologi Islam adalah konsep ilahiyah yang tidak terjangkau oleh manusia yang mendiami dimensi empiris. Akal manusia yang mendiami dimensi batin pun tidak dapat menjangkaunya secara sempurna. Tidak hanya konsep kehidupan di dunia, ajaran teologi Islam juga mengenalkan konsep kehidupan pasca kematian (eskatologi). Konsep inilah yang tidak ditemukan dalam praktek ilmu nujum maupun sihir. Bahkan, pemikiran filsafat pun amat sulit memahami konsep eskatologi.
Berangkat dari konsep teologis tersebut di atas, paradigma medis dalam Islam tidak semata-mata melihat suatu penyakit sebagai gejala empiris yang ilmiah, begitu juga sebaliknya. Al-Qur’an surat an-Nur ayat 61 menyebutkan, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit…” Ayat ini, menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah (Tibb an-Nabawi, hlm. 23), telah mensinyalir adanya berbagai penyakit fisik yang dapat menyerang orang saat menunaikan ibadah haji, puasa, maupun ketika bersuci. Dalam surat al-Baqarah ayat 10 disebutkan, “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya…” Ibnul Qayyim al-Jauziyah (hlm. 21) menafsiri kata “penyakit” (al-maradl) dalam ayat ini bukan sebagai penyakit fisik, tetapi penyakit syubhat yang bersemayam dalam hati manusia. Dengan demikian, metode pengobatan untuk jenis-jenis penyakit ini pun berbeda.
Dalam kacamata Islam, setiap penyakit, baik fisik maupun non fisik, datang dari Allah SWT yang mengandung hikmah tersendiri. Hadits shahih riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya.” Dari hadits ini tampak jelas bahwa penyakit yang bersarang di tubuh manusia bukan semata-mata sebagai peristiwa empiris sebagaimana paradigma medis yang berkembang di Barat, tetapi terdapat keterlibatan unsur ilahiyah di dalamnya. Nabi saw juga telah mensinyalir bahwa tiap penyakit pasti ada obatnya.
Tiga Metode Pengobatan Nabi
Ketika Nabi Muhammad saw berhasil membentuk masyarakat muslim di Madinah, perannya sebagai seorang nabi sekaligus seorang pemimpin. Keteladanan Nabi saw menjadi panutan bagi para sahabat. Sekalipun Muhammad saw seorang nabi, dia juga tetap sebagai manusia biasa. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Nabi saw juga mengalami kondisi sebagaimana manusia biasa. Nabi sw juga memiliki kiat-kiat khusus yang berhubungan dengan upaya menjaga kesehatan dan mengobati penyakit.
Dalam kitab Tibb an-Nabawi (hlm. 49), Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengklasifikasikan metode pengobatan dan untuk jenis-jenis penyakit yang berbeda dalam tiga kategori: pertama, obat alamiah untuk jenis penyakit yang bersifat fisik (empiris); kedua, obat ilahiyah untuk jenis penyakit yang kasat mata; ketiga, kombinasi obat alamiah dan ilahiyah untuk jenis penyakit alamiah dan non indrawi.
Sebenarnya, praktek pengobatan alamiah pada zaman Nabi saw masih amat sederhana. Ibnul Qayyim al-Jauziyah (hlm. 30) menyebutkan bahwa Nabi saw memiliki resep khusus tentang cara mengobati penyakit fisik yang menimpa dirinya, keluarga, dan para sahabat. Nabi saw tidak menggunakan obat dari campuran bahan-bahan kimia, tetapi berupa jenis makanan sehat non kimiawi. Resep tersebut dikenal dengan istilah eqrabadzain, yang biasa dikonsumsi oleh bangsa Arab, Turki, India, dan bangsa-bangsa pengembara. Bangsa Romawi yang telah maju dalam ilmu medis telah menggunakan obat yang terdiri dari campuran bahan-bahan kimia. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Nabi saw menggunakan metode berbekam dan minum madu untuk menjaga kesehatan. Misalnya, Hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah menyebutkan, “Nabi saw amat gemar pada makanan yang manis-manis dan madu.”
Untuk kategori pengobatan ilahiyah, jenis-jenis penyakitnya tergolong kasat mata. Ilmu pengetahuan modern tidak mampu mendeteksi jenis-jenis penyakit ini. Ibnul Qayyim al-Jauziyah (hlm. 21) membagi jenis penyakit ini menjadi dua: syubhat dan syahwat. Penyakit syubhat yang bersemayam dalam hati manusia sebagaimana disinyalir dalam surat al-Baqarah ayat 10 dan al-Muddatsir ayat 31. Jenis penyakit ini timbul karena faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, misalnya rasa khawatir, bimbang, tekanan hutang, banyak pikiran, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan modern baru dapat mengungkap jenis penyakit ini pada sekitar abad XVII. Sedangkan penyakit syahwat disinyalir dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 32. Jenis penyakit ini, dalam teori psikologi modern, dikenal sebagai libido seksual. Penyakit inilah yang sering menjerumuskan seorang laki-laki untuk melakukan perzinaan. Metode pengobatan jenis penyakit ini hanya dapat dilakukan oleh para Nabi dan Rasul-Nya. Sebab, syubhat dan syahwat termasuk jenis penyakit yang menggerogoti keimanan seseorang. Oleh karena itu, upaya menanamkan keimanan menjadi terapi paling efektif dalam hal ini. Nabi saw telah memberikan bimbingan berupa doa-doa khusus untuk mengokohkan keimanan seseorang agar dijauhkan dari penyakit syubhat dan syahwat.
Untuk kategori pengobatan berupa kombinasi antara obat alamiah dan obat ilahiyah, jenis-jenis penyakitnya yang agak aneh dalam perspektif pengetahuan modern. Misalnya, penyakit yang disebabkan oleh mata jahat (penglihatan sihir), gangguan jin, dan serangan binatang melata. Sahabat Sahal bin Hunaif pernah mandi di sungai, setelah selesai lalu ia sakit demam. Mendengar berita tersebut, Rasulullah lantas bersabda, “Perintahkan kepada Tsabit untuk berlindung kepada Allah (bagi Sahal) dengan ruqyah.” Ketika ditanya, apakah ruqyah bermanfaat? Nabi saw menjawab, “Tidak ada ruqyah kecuali untuk menolak mata jahat, demam, dan gigitan binatang” (HR. Abu Dawud).
Ibnul Qayyim al-Jauziyah (hlm. 215) mencatat beberapa doa untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari mata jahat, demam, dan gigitan serangga. Surat an-Naas dan al-Falaq (al-mu’awwidzatain) adalah salah satu di antara doa-doa untuk memohon perlindungan dari gangguan jin dan setan. Adapun doa yang diajarkan oleh Nabi saw, di antaranya adalah, “Aku berlindung melalui kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan, binatang, dan mata jahat.” Di samping doa-doa tersebut, Ibnul Qayyim al-Jauziyah (hlm. 220) juga menyebutkan bahwa air putih bisa menjadi media untuk meruqyah. Syaikh Abdurrahman bin Hasan, dalam kitab Fathul Majid (bab sihir) menyebutkan, selain air putih, daun bidara juga termasuk media yang dapat digunakan untuk meruqyah sihir.