Benarkah Majapahit Kerajaan Islam?

Benarkah Majapahit Kerajaan Islam?

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Keberadaan buku Fakta Mengejutkan Majapahit Kerajaan Islam dianggap sebagai pemicu perdebatan di kalangan netizen belakangan ini. Buku itu mendadak viral kembali karena dianggap melawan arus, dengan menyebutkan bahwa Majapahit sebagai kerajaan Islam. Salah satu patih Majapahit, Gadjah Mada, juga disebut-sebut merupakan seorang muslim dengan nama Gaj Ahmada.

Buku yang ditulis Herman Sinung Janutama, dirilis pada 2010 lalu, yang diterbitkan oleh Noura Book dan bekerjasama dengan Lembaga Kajian Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Yogyakarta. Buku itu merupakan hasil diskusi dan penelitian panjang sebuah komunitas atau tim yang difasilitasi oleh LHKP PDM Yogyakarta selama lebih dari tiga tahun. Tim itu melibatkan beragam kalangan.

“Isinya komunitas macem-macem, tapi yang diundang tidak semuanya muslim. Kajian ini tidak berdiri sendiri. Temen juga ada kajian dengan Sifu Yonathan, biksu Buddha. Komunitas ini berhubungan dengan banyak komunitas,” tutur Ashad Kusuma Djaya, ketua LHKP PDM Yogyakarta ketika itu.

Ashad menjelaskan, antara buku yang dikeluarkan waktu itu dengan yang beredar dan viral di media sosial jelas berbeda. Buku yang diterbitkan oleh LHKP bukanlah Gaj Ahmada, tetapi sosok bernama Gajah Ahmada atau dikenal pula dengan nama Syekh Mada.

Kesalahan penulisan nama itu, ujar Ashad, akibat ketidaktahuan editor dalam penulisan sastra Jawa dan Sansekerta. “Itu orang yang tidak tahu sastra Jawa dan Sansekerta. Pasti orang yang enggak tahu (bahasa) Jawa,” ujar Ashad. Buku itu diterbitkan pada 2010 sebanyak 1.000 eksemplar untuk untuk kalangan sendiri.

Senada, Herman menegaskan bahwa informasi viral itu amat berbeda dengan buku yang dia tulis. “Sepanjang bacaan kami status viral tersebut beberapa hal tidak terdapat pada buku kami. Misalnya penjelasan tentang GAJ-AHMADA. Dalam buku tertulis GAJAH-AHMADA. Leburan suku kata AH dalam bentukan kata GAJAHMADA adalah hukum GARBA dalam gabungan 2 kata atau lebih dalam kawi atau sansekerta. Dalam kasanah Jawa, tidak mungkin diizinkan kata GAJ, yang mematikan konsonan JA. Sebagaimana suku kata WA juga tidak diizinkan dimatikan, hanya W saja. Tapi dalam viral tidak begitu membabarkannya….,” tulis Herman di akun media sosialnya.

Beberapa waktu lalu, perdebatan panjang para netizen dialamatkan kepada buku terbitan LHKP PDM Yogyakarta. Asumsi bahwa Majapahit kerajaan Islam didasari atas beberapa alasan. Klaim itu berdasarkan, seperti misalnya tulisan pada batu nisan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Di nisan yang bertarikh 1419 M ini, Herman mengatakan, bahwa Sunan Gresik menjadi kadi ulama-waliyullah Kesultanan Majapahit sekitar 1350 atau era kepemimpinan Sri Sultan Hayam Wuruk (1350-1389 M).

Ada juga temuan koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illa allah Muhammad Rasulullah’ menunjukkan bahwa koin tersebut adalah alat pembayaran resmi Kesultanan Majapahit. Koin semacam ini memang ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan.

Selain itu, pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Masuryawjapahit ini.

Guna meluruskan perdebatan tidak produktif itu, PDM Yogyakarta bekerjasama dengan Komunitas Daun Lontar, mengadakan diskusi dan Bedah Buku Gajah Mada Membangun Adidaya Nusantara. Acara pada Ahad, 9 Juli 2017, yang berlangsung di Aula PDM Yogyakarta itu menghadirkan penulis buku Sofyan Sunaryo Al-Jawi dan pembedah Fahmi Prihantoro.

Dosen IAIN Palangkaraya, Imam Qalyubi yang memandu diskusi itu menyatakan bahwa sejarah itu multi interpretatif. Sebuah peristiwa di masa lalu bisa diinterpretasi terus-menerus. Menurutnya, sejarah itu tidak mati. Ia senantiasa bergerak dan berdinamika. “Sejarah itu interpretative. Subjektivitasnya tinggi. Selama alasannya argumentative, semua berhak menafsirkan,” katanya. Sejarah itu sering kali dituliskan oleh para pemenang. Sehingga sangat dimungkinkan adanya monopoli sejarah.

Imam Qalyubi mengatakan, dalam kasus Majapahit, semua orang berhak untuk menginterpretasi. Tetapi fakta-fakta sejarah yang ada menunjukkan bahwa sebenarnya keberadaan Majapahit sebagai kerajaan Islam ada benarnya. Tidak sulit untuk membuktikannya. Mengingat kerajaan Islam tertua sudah ditemukan di Jambi pada tahun 721. Lalu disusul kerajaan Samudera Pasai dalam rentang yang tidak terlalu jauh. Kerajaan Majapahit baru muncul jauh setelah itu pada tahun 1253.

Arkeolog Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmi Prihantoro menyatakan bahwa ada beberapa penemuan artefak yang menunjukkan kaitan antara Majapahit dan Islam. Misalnya, beberapa batu nisan di makan Troliyo bertuliskan huruf-huruf Arab. Dia mengakui bahwa artefak faktual untuk sampai pada kesimpulan bahwa Majapahit adalah kerajaan Islam masih minim.

Oleh karena itu dibutuhkan kajian lebih lanjut dan mendalam. “Ini perlu kajian lebih lanjut sampai menjadi kesepakatan bersama untuk menguatkan temuan ini,” katanya. Tentu semua berbasis pada data-data dan bukti arkeologis, bukan sekedar asumsi dan klaim semata.

Fahmi mengapresiasi adanya kajian ilmiah yang diinisiasi oleh Muhammadiyah. “Terima kasih Muhammadiyah telah memulai kajian-kajian seperti ini. Peduli pada masa lalu, mendapatkan nilai-nilai masa lalu, untuk kemudian dipakai di masa sekarang,” tutur Fahmi.

Sementara itu, Sofyan Sunaryo Al-Jawi, menegaskan bahwa sebenarnya di Nusantara sejak zaman dahulu sudah menganut agama tauhid Nusantara. Agama itu disebutnya mengadopsi millah Ibrahim. Sofyan juga mengatakan bahwa agama tauhid nusantara itu dikuatkan oleh syair-syair atau tembang yang berisi doa, sering dinyanyikan oleh para istri patih Gajah Mada. (Ribas)

Exit mobile version