Oleh : Haedar Nashir
Pada suatu peperangan Ali bin Abi Thalib berhasil melumpuhkan dan nyaris membunuh lawannya. Ketika pedang diayunkan, tiba-tiba sang lawan meludahi Ali. Ali marah dan tidak jadi membunuh musuhya.
Sang lawan kaget dan bertanya kenapa Ali mengurungkan niatnya membunuh padahal ia sudah tak berdaya? Ali menjawab, tadi ketika hendak membunuhmu, niatku bersih karena Allah. Tetapi setelah diludahi dan timbul rasa geram, niatnya bercampur dengan amarah. Ali takut membunuh karena nafsu, lalu membebaskan musuhnya itu.
Mendengar jawaban Ali, sang lawan sungguh takjub, akhirnya dia masuk Islam. Itulah sifat futuwah Ali. Yakni menunjungtinggi kesatriaan. Ali, setelah menjadi khalifah dan menghadapi konflik politik dengan Muawwiyah, bankan rela kehilangam kursi kekhalifahannya. Ali menjunjung tinggi moral politik dalam kespekatan politik yang dikhianati pihak Muawwiyah. Demi kemuliaan akhlak, dia ikhlas jabatan lepas.
Ali sebagaimana teladan Nabi dan para sahabat akbar lainnya memang diajarkan futuwah, menjalani hidup kesatria meski terhadap musuh sekalipun. Futuwah, tulis Ibn Al-Husain As-Sulami, ialah pandangan hidup fata, pemuda yang gagah perkasa dan menjalani pencerahan diri. Kesetiaan Abu Bakar Shiddiq, kejujuran dan keadilan Umar bin Khattab, kekhuyusukan dan kesederhanaan Usman bin Affan, dan keberanian Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat maupun khalifah utama penerus Nabi memancarkan jiwa fata atau futuwah.
Jiwa futuwah tercermin dalam keberanian Ibrahim alihissalam sewaktu muda yang menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya. Allah berfirman, “Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” (QS Al-Anbiya: 60). Pemuda Ashabul Kahfi juga menunjukkan jiwa futuwah, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran: “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk” (Q.S. Al Kahfi: 13).
Muhammad sewaktu muda berhasil menyatukan kabilah Arab Quraisy yang nyaris saling menumpahkan darah pada waktu berebut hendak meletakkan hajar aswad. Muhammad dipilih untuk meletakkan batu hitam itu dengan melibatkan seluruh kepala suku, dengan masing-masing memegang ujung kain yang dibentangkan di mana hajar aswad diangkat bersama untuk diletakkan oleh Muhammad ke bangunan Ka’bah. Sejak itu Muhammad digelari Al-Amin, sosok paling terpercaya. Allah bahkan memberi predikat Uswatun Hasanah kepada Nabi akhir zaman itu (QS Al-Ahzab: 21).
Jika jiwa futuwah kini dipraktikkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara di seluruh muka bumi sungguh utama dan mulia. Suami, istri, anggota keluarga hingga guru, dosen, karyawan, buruh, tani, nelayan, dan kalangan profesional yang berjiwa keastria akan melahirkan kehidupan bersama yang penuh kebaikan serta jauh dari kemunkaran.
Apalagi jika yang berjiwa futuwah atau kesatriaan itu para pejabat negara, penegak hukum, polisi, tentara, politisi, tokoh, dan pemimpin negara di seluruh struktur kehidupan di negeri tercinta ini. Sungguh akan melahirkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur sebagaimana diidealisaikan dalam Al-Qur’an. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan meraih kejayaan di semua bidang kehidupan jika para elite dan pemimpinnya kesatria atau berjiwa negarawan.
Sebaliknya jika jiwa futuwah itu hilang maka perangai para elite dan pemimpin negara itu akan menjadi kerdil, munafik, menyimpang, korupsi, dan menimbulkan fasad fi al-ardl atau kerusakan di muka bumi. Bangsa dan negara pun akan hancur sebagaimana firman Allah: ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum: 41).