Jalan Sunyi Di Tengah Syahwat Kuasa dan Harta dalam Dinamika Berbangsa

Abdul Munir Mulkhan

Prof Abdul Munir Mulkhan Dok Istimewa

Oleh: Abdul Munir Mulkhan

Pemimpin puncak dua partai sudah menjadi tersangka korupsi. Satu partai dakwah, satu lagi partai pemenang Pemilihan Umum, yang juga dikenal pernah menjadi ketua gerakan mahasiswa Islam terbesar dan tertua di negeri ini. Hal ini bisa menjadi penanda meluas dan masifnya perilaku korupsi yang semakin hedonis, brutal melibatkan mereka yang dikenal sebagai orang saleh dan aktivis gerakan Islam.

Apakah gejala demikian menandai kebangkrutan gerakan keagamaan dan kesalehan di negeri sejuta masjid ini? Jawabannya bisa negatif atau positif, namun keduanya berkait dengan apa yang disebut syahwat politik kekuasaan dan syahwat kekayaan duniawi.

Jika dilihat lebih mendalam, menukiki praktik kehidupan sosial di semua lapisan akan terlihat betapa dahsyat praktik korupsi tersebut. Dari RT hingga lembaga tinggi negara, dari urusan KTP, SIM, Ijin Usaha, Ijin Bangunan, Ijin Nikah dan pelaksaaan pernikahan, hingga ijin keramaian, bau korupsi mudah terendus. Pelakunya tidak terbatas orang awam agama melainkan melibatkan yang selama ini dikenal sebagai pemimpin gerakan keagamaan. Orang pun mulai berseloroh “bukan iblis yang diburu, tapi yang belagak malaikat kini menjadi buronan”, atau “inilah saat muballigh hidup dan berkhutbah di kampung maling.”

Orang pun teringat tausiah orang bijak bahwa titian kehidupan tersedia dua jalan; jalan moral dan jalan politik dan kekuasaan. Jalan moral adalah jalan sepi-sunyi  tidak heboh, tidak mewah, tanpa bendera dan subyo-subyo. Sementra jalan politik dan kekuasaan adalah jalan penuh hiasan, mewah dan heboh. Di jalan kedua itulah orang sering lupa diri. Disinilah perilaku culas dan korupsi berlangsung, kadangkala dibungkus doktrin teologi tentang konsep daulah islamiyah dan daulah kuffar.

Mereka yang dituduh korupsi mudah berdalih bahwa tindakan yang dilakukannya bukanlah maksiyat tapi diyakini sebagai tindakan saleh, bahkan sebagai jihad. Mengapa demikian? Karena maksud tindakan itu bukan memperkaya diri tapi bagi kepentingan lebih besar, meski tidak terlalu jelas beda memperkaya diri dan kelompoknya tapi menyengsarakan sebagian besar orang. Tindak korupsi itu dilakukan dengan mengabaikan kepentingan rakyat banyak, terutama yang miskin dan menderita.

Situasi negeri sejuta masjid saat ini seolah berada dalam turbulensi hedonisme teologis, ketika pemimpin politik ramai-ramai melakukan korupsi “berjamaah”. Mereka yang dikenal rajin beribadah ternyata tidak bebas maksiyat terperangkap syahwat kuasa dan harta. Korupsi hedonistis bagai cetakan ayat-ayat suci yang tertera dalam surat At-Takatsur dan Al-Ma’un. Barangkali pembaca perlu mengkaji ulang dua ayat At- Takatsur dan tujuh ayat Al-Maun, yang sering dibaca saat shalat, didengar, mungkin juga dipahami, tapi belum tentu jadi rujukan mengelola kehidupan dengan persaingan yang semakin sengit dan pamer kekayaan yang semakin hedonis ini.

Dua ayat pertama surat At-Takatsur: “Alhaakumut takaastur, hatta zurtumul maqaabir” yang berarti: Bermegah-megahan (memperbanyak harta, anak, pengikut dalam kekuasaan, dan kemuliaan duniawi) telah melalaikan kamu (memenuhi kewajiban sebagai manusia dalam beribadah dan dalam kewajiban sesama). Selanjutnya tujuh ayat surat Al-Maun: “ara-aitalladzi yukadldlibu bid-diin; fadzaalikalladzii yadu’-ul-yatim; walaa yakhudhdhu ‘alaa tha’aamil miskin;  fawailul lil mushallin; alladziinahum ‘an shalaatihim saahuun; alladziinahum yuraa-uun; wa yamna’uunal maa’uun.” Artinya: Tahukah kamu, siapa pendusta agama (itu)? Mereka lah orang yang biasa menghardik anak-anak yatim, dan tidak menggerakkan kegiatan pemberian makan orang miskin. Celakalah orang yang mengerjakan shalat, (tapi) lalai pada shalatnya, karena mengerjakan shalat dengan riya (mencari kemasyhuran duniawi), dan enggan menolong (menyisihkan harta (membayar zakat) bagi) yang menderita.

Empat belas abad lalu, saat ayat-ayat tersebut pertama diwahyukan, Tuhan telah mengingatkan manusia tentang akibat  kecenderungan hedonis menumpuk harta dan kekuasaan, pembuat lupa tanggungjawab kemanusiaan meski rajin beribadah. Di sini, hedonisme merupakan penyakit bawaan manusia yang selalu hadir dalam kehidupan sepanjang sejarah. Situasi demikian terjadi saat seseorang lengah tanggungjawab hidup sebagai manusia dengan sesama yang tidak seluruhnya beruntung.

Manusia cenderung narsis memikirkan diri sendiri dan kelompoknya tanpa hirau kepentingan orang lain. Lebih tragis lagi tindakan maksiyat korupsi terkadang dibungkus topeng ibadah. Shalat, puasa, dan haji dipakai menyembunyikan maksud jahat melampiaskan syahwat kuasa dan syahwat harta. Seorang aktivis partai Islam yang diadili atas sangkaan korupsi dengan etheng membela diri bahwa tindakannya adalah tindakan khasanah membangun tempat ibadah, bagaimana bisa dikategorisasikan sebagai korupsi.

Tindakan korupsi merupakan tindakan massif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat yang memegang jabatan publik. Sementara yang melakukannya merasa  bukan tergolong maksiyat. Aksi korupsi hedonis itu kemudian bisa memperoleh pembenaran teologis, sehingga bahkan si pelaku tidak jarang bisa mengidentifikasi diri sebagai mujahid (baca: pejuang) bagi kelompoknya.

Dalam hubungan itulah surat Al-Ma’un Tuhan memberi kata kunci bagi mereka yang menyatakan diri beriman, agar selalu membela yang menderita sebagai koreksi dan pengendali syahwat bejat korupsi hedonis. Mereka memandang tindakan korupsi bukan hanya sebagai pengkayaan diri atau kelompoknya tetapi juga sebagai bagian perjuangan di bawah payung ideologi atau teologi. Jika benar tesis demikian, maka perkara korupsi yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat dalam jabatan publik di negeri ini bisa menggerus, bukan hanya kebangsaan, melainkan juga kesalehan religius. Fenomena ini lebih berbahaya seperti disinyalir dalam surat Al-Ma’un tersebut.

Seringkali kita dapati sikap mereka yang melakukan korupsi itu melakukan tindakan korupsi berdasar matematika pahala dan dosa. Kita tahu bahwa amal saleh akan dibalas dengan pahala berlipat hingga 700 kali, dan tindakan maksiyat balasan dosanya setara dengan tindakan maksiyat tersebut. Selain itu, tindakan korupsi tidak tergolong perilaku syirik yang tak mungkin diampuni, sehingga jika termasuk dosa besar pun terbuka memperoleh ampunan.

Matematika dosa-pahala tersebut seolah menjadi landasan teologi para koruptor saat melakukan tindakan korupsi. Korupsi satu milyar rupiah akan berbalas dosa setara dengan satu milyar. Sementara jika si koruptor beramal saleh dengan memberi infak 100 juta, maka pahalanya bisa mencapai 700 kali lipat atau setara 70 milyar. Nanti, di yaumul mizan (hari timbangan di hari kiamat), berat dosanya setara satu milyar, dan berat pahalanya setara 70 milyar, sehingga si koruptor memiliki surplus pahala setara 69 milyar.

Matematika pahala dan dosa demikian itu juga tercermin dari pembelaan orang yang diadili karena korupsi sementara ia tidak merasa korupsi karena uangnya dipakai untuk membangun tempat ibadah. Dalam situasi demikian itu maka penting diajukan sebuah pertanyaan “Masihkah berarti bacaan Surat At-Takastur dan Surat Al-Ma’un bagi pelaku korupsi?” Pertanyaan dan fakta demikian itu mungkin menyakitkan bagi aktivis gerakan keagamaan. Namun itulah kenyataan yang perlu dipelajari mereka yang hendak masuk surga tapi ingin hidup nyaman di dunia tanpa peduli sesama yang hidup menderita. Mungkin juga penting untuk bertanya: “Berapa banyak orang yang tetap setia memilih jalan sunyi dalam kehidupan yang semakin hedonis ini?” Wallahu a’lam.

Exit mobile version