Pasca Aksi Damai 212 atau Pilkada DKI beberapa waktu lalu, peta politik umat Islam telah terpecah-pecah. Terdapat kalangan yang reaksioner menyikapi sumber masalah penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), ada juga yang bersikap oportunis memanfaatkan momentum untuk meraih keuntungan politis tertentu, dan ada pula yang memandang secara rasional dan jernih atas sumber konflik tersebut. Di seberang umat Islam, sosok Ahok—yang dianggap merepresentasikan kepemimpinan non Muslim—beserta pendukungnya juga bersikap reaksioner menghadapi sikap umat Islam yang cenderung ekstrim. Bahkan, pendukung Ahok dari kalangan umat Islam juga bersikap reaksioner menyerang kelompok umat Islam yang ekstrim tersebut. Dari sinilah peta politik umat Islam dan bangsa Indonesia terbelah dalam dua kubu ekstrim: ekstrim-kanan dan ekstrim-kiri.
Sampai kini, perdebatan di antara dua kubu ektrim tersebut masih berlanjut. Saling hujat dan caci maki lewat media jejaring sosial sudah tidak terbendung lagi. Saling tuduh dan memaksa antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Bahkan, masing-masing kubu berusaha mematikan langkah dan membunuh karakter tokoh masing-masing kubu. Akhirnya, kehidupan berbangsa yang multikultural tidak berlangsung secara harmonis. Kini, citra umat Islam menjadi negatif—sekalipun tidak seluruhnya. Stigmatisasi Islam radikal dan Islam intoleran semakin menyudutkan umat Islam secara mayoritas. Dikuatkan lagi dengan sikap dan kebijakan pemerintah yang seolah-olah tidak mendengar aspirasi umat Islam sebagai mayoritas semakin memperuncing gesekan di antara dua kubu ekstrim tersebut.
Pandangan dan ekspresi keberagamaan kubu ekstrim-kanan sebenarnya merepresentasikan paham keagamaan atau konstruksi teologi yang mereka yakini. Percikan-percikan konflik yang tampak di permukaan mengindikasikan suatu paham atau konstruksi teologi yang menjadi dasar keimanan mereka. Misalnya tentang toleransi antarumat beragama, kepemimpinan non Muslim, kebenaran dalam sistem sosial multikultural dan multiagama, dan lain-lain. Dalam sejarah umat Islam, pandangan dan ekspresi keberagamaan semacam itu sebenarnya telah ada sejak abad klasik hingga pertengahan, bahkan direproduksi kembali di abad ke-20. Kini, paham keagamaan dan konstruksi teologi yang radikal dan intoleran tersebut direproduksi kembali oleh ormas-ormas Islam yang lahir pasca Reformasi.
Dalam situasi seperti ini dibutuhkan konsep pemahaman Islam yang mampu menyemai kembali spirit pencerahan dan toleransi agar ajaran Islam tetap relevan sepanjang zaman (shalih li kulli zaman wa makan). Agar ajaran Islam kembali menemukan elan vitalnya sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Maka dibutuhkan konsep Islam yang moderat (al-wasath). Islam yang moderat digali dari dasar-dasar pemikiran teologis yang bersifat rasional, maju, meneguhkan, memberdayakan, dan mencerahkan.
Ekspresi keberagamaan seseorang dipengaruhi oleh konstruksi teologi yang diyakininya. Dalam konteks ini, ekpresi keberagamaan moderat dipengaruhi oleh konsep atau konstruksi teologi yang moderat. Yaitu, akidah wasathiyyah (akidah moderat) yang berada dalam posisi bersikap kritis terhadap realitas dan meneguhkan keyakinan. Dalam konteks politik, akidah moderat memiliki spirit moderasi untuk menemukan solusi yang cerdas dan maju. Menurut Ibnu Taimiyyah, aqidah wasathiyyah ini menjadi posisi strategis Islam di antara berbagai aliran yang berkembang di kalangan umat Islam dan agama-agama lain di dunia. (Rif)
Dapatkan ulasan lengkap tentang Manhaj Moderat Muhammadiyah di Majalah Suara Muhammadiyah edisi cetak, No. 14, 16-31 Juli tahun 2017