Oleh : Mu’arif
Dalam sejarah pendidikan nasional, kebijakan Full Day School (FDS) sebenarnya bukan gagasan baru. Itu karena kurang lebih seabad silam (1915), seorang guru pribumi terkemuka dari Minangkabau sudah pernah menggagasnya. Adalah Haji Abdullah Ahmad, inisiator pertama FDS, yang melihat celah kelemahan dalam sistem pendidikan pribumi (surau, pesantren) dan sistem pendidikan kolonial sehingga muncul gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan alternatif bernama Sekolah Adabiyah (Adabiyah School). Setelah sukses Adabiyah School bermunculan lembaga-lembaga pendidikan dengan konsep sejenis namun berbeda-beda namanya, sebut saja Madras School, Diniyah School, dan yang paling fenomenal adalah Sumatra Thawalib. Baik Adabiyah School, Madras School, Diniyah School maupun Sumatra Thawalib merupakan solusi alternatif atas terpuruknya sistem pendidikan pribumi dan lemahnya penanaman nilai-nilai religiusitas dalam sistem pendidikan kolonial. Pengalaman sejarah ini mestinya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam saat ini, terutama ketika belakangan ini muncul gagasan pro dan kontra kebijakan FDS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sekolah Adabiyah
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Lawas (Padang Panjang) pada tahun 1878. Putra Haji Ahmad ini terlahir dari keluarga pedagang di Padang Panjang (Deliar Noer, 1996: 46). Ia sendiri seorang yang terdidik dan banyak bergaul dengan para intelektual pribumi lulusan sekolah Belanda. Pada tahun 1907, Abdullah Ahmad berinisiatif mendirikan Adabiyyah School di Padang Panjang (Burhanuddin Daya (1995: 82). Harap dicatat, ia tidak mendirikan madrasah atau pesantren, tetapi sekolah (school). Haji Abdullah Ahmad melihat kelemahan dalam sistem pendidikan pribumi yang hanya berorientasi pada kehidupan ukhrawi. Materi pelajaran yang diajarkan di surau maupun pesantren lebih pada hafalan surat-surat Al-Quran dan tuntunan ritual ibadah. Inilah dampak dari pemikiran dikotomis yang mempengaruhi alam pikiran umat Islam sejak abad pertengahan hingga memasuki zaman modern.
Jauh sebelum Haji Abdullah Ahmad menilai kelemahan sistem pendidikan pribumi, adalah J.A. Van der Chijs, Inspektur Pendidikan Pribumi, telah mengadakan penyelidikan pada tahun 1867 terhadap seluruh lembaga pendidikan yang bercokol di tanah air. Penyelidikan ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kebijakan pemerintah kolonial pada masa Gubernur Jenderal Van der Cappelen yang mengeluarkan surat keputusan tanggal 8 Maret 1819 yang berisi perintah untuk mengadakan penyelidikan terhadap kondisi pendidikan masyarakat pribumi. Keluarnya surat perintah penyelidikan ini menjadi bukti bahwa masyarakat pribumi, khususnya di Pulau Jawa, sudah memiliki sistem pendidikan tersendiri.
Berdasarkan hasil penyelidikan Van der Chijs, sistem pendidikan masyarakat pribumi dinilai sangat buruk. Dia menilai pesantren dan surau sangat buruk dari segi manajemen, kurikulum, dan metode pembelajarannya. Pesantren tidak mengenal manajemen modern. Begitu juga sistem surau yang terlalu sederhana. Pengelolaan pesantren sepenuhnya di bawah otoritas kyai. Walaupun surau berbeda dengan pesantren dalam pengelolaannya, tetapi kurikulum di surau dan pesantren dinilai sama, yaitu hanya berpusat pada pengajaran agama. Sementara metode pembelajaran keduanya tidak sesuai dengan standar Eropa. Hasil penyelidikan ini kemudian menjadi acuan bagi A.W.F. Idenburg, Menteri Urusan Daerah Jajahan, untuk menjalankan politik etis di bidang pendidikan pada tahun 1902.
Dengan menoleh latarbelakang historis ini, sesungguhnya gagasan Haji Abdullah Ahmad tentang Sekolah Adabiyah berusaha menjembatani kelemahan di antara dua sistem pendidikan di tanah air kala itu. Sistem pendidikan pribumi yang dinilai tidak memenuhi standar pendidikan Barat dan sistem pendidikan kolonial yang cenderung steril dari nilai-nilai agama menjadi dasar pemikiran bagi sang reformis pendidikan dari tanah Minang ini. Menariknya, Abdullah Ahmad tidak menggagas pesantren atau surau. Ia juga tidak mengusung konsep sekolah (school) secara murni. Dengan cerdas ia mengusung perpaduan unik konsep pendidikan kolonial (Barat) yang dipoles dengan konsep Islami. Maka jadilah Adabiyah School—yang menurut penulis merupakan konsep intergratif dan sekaligus memupus dikotomi pendidikan Islam. Dalam prakteknya, kurikulum yang diterapkan di sekolah ini memang menyerupai lembaga pendidikan Barat. Akan tetapi, terdapat warna khas dalam lembaga pendidikan ini bahwa ajaran Islam digunakan sebagai salah satu instrument untuk pembentukan karakter murid-muridnya. Di sekolah ini pula, para siswa dan siswi ditempatkan di asrama (internaat) sebagai sub kultur dalam sekolah tersebut.
Konsep sekolah Islam berasrama sebenarnya bukan hal baru. Sebab, konsep ini mengadopsi konsep pendidikan Islam pribumi pada waktu itu, baik sistem Pesantren maupun Surau. Para siswa ditempatkan di asrama dan diberi pelajaran tertentu yang menjadi kesatuan dalam sistem kurikulum Sekolah Adabiyah. Dalam konteks inilah, sekolah Islam berasrama menjelma menjadi sub-kultur karena ia mencerminkan sistem kehidupan dalam masyarakat pada umumnya meskipun dalam miniatur sederhana.
Eksperimen pembaruan pendidikan Islam Abdullah Ahmad ini sebenarnya lebih menitikberatkan pada upaya meniru sistem dan model pendidikan Belanda yang jauh lebih maju dan modern ketimbang pendidikan Islam pribumi (surau/pesantren). Manajemen yang diterapkan menggunakan standar pendidikan Belanda. Sedangkan bahasa pengantarnya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Melayu (Indonesia) dan bahasa Belanda.
Dapat ditebak, gagasan brilian ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Apalagi, masyarakat Padang Panjang masih sangat kental dengan tradisi pendidikan di Surau, sehingga mereka sangat asing terhadap gagasan pembaruan pendidikan Abdullah Ahmad ini. Para ulama tradisionalis yang asing dengan konsep sekolah menentang dengan tegas. Termasuk Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka, merasa keberatan dengan konsep sekolah yang diajukan oleh Haji Abdullah Ahmad ini—meskipun di kemudian hari dapat menerimanya.
Baik penelitian Deliar Noer (1996) maupun Burhanuddin Daya (1995) menyebutkan bahwa penolakan terhadap gagasan Haji Abdullah Ahmad lebih disebabkan karena cara pandang masyarakat setempat yang masih tradisionalis dan tertutup terhadap segala hal yang datang dari Barat. Ketika penulis membaca buku 75 Tahun Adabiah 1915-1990 (Padang: Yayasan Syarikat Oesaha Adabiah, 1990), sebenarnya terdapat tafsiran lain atas penolakan masyarakat ataupun para ulama terhadap gagasan brilian Haji Abdullah Ahmad. Bukan hanya soal kejumudan berpikir masyarakat, penolakan terhadap Sekolah Adabiyah juga mengisyaratkan kerugian ekonomis dan politis dari para ulama tradisional yang merasa terancam dengan kehadiran sekolah hasil eksperimen Haji Abdullah Ahmad. Sebab, konsep pembaruan pendidikan ini memang potensial berkembang sehingga dapat mengancam sumber perekonomian dari kelompok tradisionalis yang sebelumnya telah mapan dengan sistem pendidikan Islam ala Pesantren maupun Surau. Secara politis, konsep pengelolaan Sekolah Adabiyah memang mendelegitimasi peran ulama kharismatik dalam sistem pendidikan Islam tradisional.
Menghadapi penolakan masyarakat setempat, Haji Abdullah Ahmad terpaksa menghentikan Sekolah Adabiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1909, Sekolah Adabiyah terpaksa ditutup. Tak patah arang, Haji Abdullah Ahmad pun berpindah tempat ke Padang, sebuah kota pelabuhan di Sumatra Barat. Di kota Padang, dia banyak melakukan kontak dengan para pendatang dari berbagai negara. Abdullah Ahmad juga telah melakukan kunjungan ke Madrasah al-Iqbal al-Islamiyyah di Singapura. Setelah studi banding ke sekolah yang didirikan Utsman Efendi Rafat ini, Haji Abdullah Ahmad mendirikan kembali Sekolah Adabiyah ”jilid dua” di kota pesisir Padang pada tahun 1915. Sekolah Adabiyah jilid dua ini merupakan sebuah sekolah umum yang ditambah dengan pelajaran agama dengan konsep Full Day School (FDS). (bagian 1 dari 3 tulisan)
*) Penulis buku Modernisasi Pendidikan Islam