Oleh: Tafsir
Beberapa hari atau minggu ini kita disibukkan oleh tonotnan akrobatik, meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif, para politisi kita dalam memainkan skenario sebuah drama yang berkisah sekitar uang, rumah mewah, perempuan cantik dan perangkap gemerlapnya dunia lainnya yang membuai nafsu hedonis. Begitu juga dengan tampilanya yang tiba-tiba terkena penyakit lupa, terkesan bohong dan bloon serta omongan yang bombastis. Mereka juga seperti terkena penyakit lupa bahwa di pundaknya ada amanat untuk mengurus negara dan hakekatnya juga agama menuju kesejahteraan rakyat seperti ditulis oleh al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyyah.
Lebih ironis lagi, tak jarang politisi kita yang tampil memerankan drama di atas adalah tokoh Islam yang telah digembleng sedemikian rupa dalam berbagai jenjang perkaderan dalam organisasi berbasis Islam. Lalu kita berharap kepada siapa lagi dalam meneladani kehidupan berbangsa jika orang yang kita anggap kader kelas satu di ormas berbasis Islam ternyata tak ada bedanya dengan polotisi lain yang berbasis sekuler bahkan non Islam.
Mengurus negara secara ideal sebagai tugas pokok politisi, perlu kita bermimpi dulu dengan tokoh paling ideal kita, yakni Muhammad saw. Jika ada seorang nabi tidak saja mahir mengurus agama tetapi juga negara, maka itu adalah Nabi Muhammad saw. Paling tidak hal ini diakui oleh W. Montgomery Watt dalam bukunya MUHAMMAD Prophet and Statesman. Bahkan prestasi ini pula yang menempatkannya sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah manusia di antara seratus tokoh dunia versi Michael H. Hart dari Perancis yang ditulisnya dalam The 100, a Ranking of The Most Influential Persons in History. Nabi Muhammad saw ditempatkannya pada ranking satu di atas Isaac Newton, Yesus Kristus, Sidhart Gautama, Kong Hu Cu, Albert Einstein, dsb.
Penempatan Muhammad saw pada posisi tersebut tentu saja bukan karena beliau sebagai nabi, tetapi pada fakta historis dan empiris terhadap kemampuannya dalam mengubah Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang beradab dan disegani dalam tempo yang relatif singkat kurang dari 23 tahun.
Terdapat beberapa hal mengapa Nabi Muhammad saw dapat mengurus agama dan “negara sekaligus”. Pertama, beliau memimpin umat dengan menempatkan prinsip kesamaan (equality) di tengah-tengah pluralitas masyarakat Madinah yang sedemikian beragam baik dalam agama, etnis, politik, dsb. Misalnya dalam khutbah haji wada’ beliau mengatakan : wahai sekalian manusia, ingatlah bahwa Tuhan kamu sekalian adalah satu, dan bapak kamu sekalianpun satu. Ingatlah orang-orang Arab tidaklah lebih utama dari orang-orang non-Arab, dan sebaliknya orang-orang non-Arab juga tidak lebih utama dari orang-orang Arab. Ingatlah orang-orang kulit putih tidak lebih utama dari orang-orang kulit hitam dan sebaliknya orang-orang kulit hitam tidak lebih utama dari orang-orang kulit putih.
Kedua, Nabi Muhammad saw memimpin umat dengan ketulusan dan kecintaan bukan ambisi. Seperti kita ketahui beliau sebelum hijrah ke Madinah terlebih dahulu dilamar oleh sebagian elit Madinah (ketika itu masih bernama Yatsrib) untuk menjadi pemimpin di sana. Yatsrib ketika itu adalah suatu komunitas plural yang dilanda konflik bekepanjangan. Dalam suasana seperti inilah sebagian elit Yatsrib berpikir bahwa orang yang bisa memimpin situasi seperti ini adalah Muhammad saw. Benar adanya pikiran tersebut. Maka hijrahlah beliau ke Yatsrib setelah terlebih dahulu mohon ijin kepada Allah swt. Sejak inilah nama Yatsrib berubah nama menjadi Madinah an-Nabiy (kota Nabi). Istilah kota mengacu pada komunitas yang telah beradab, bukan suatu wilayah dengan penuh keramaian dan gedung bertingkat.
Ketiga, keteladanan yang baik ( uswah hasanah ). Kepemimpinan Muhammad saw lebih bertumpu pada perbuatan kongkrit daripada retorika. Beliau lebih banyak bekerja daripada bicara. “Berkata yang baik atau diam sama sekali”, itulah prinsip beliau. Kekeruhan sosial biasanya terjadi salah satunya karena ungkapan-ungkapan yang tidak proporsional. Terlebih lagi jika ungkapan itu memang tendensius untuk menjatuhkan orang lain.
Keempat, kesederhanaan. Dalam salah satu bukunya, Emha Ainun Najib atau Cak Nun pernah mengatakan di dunia ini ada beberapa orang yang saya merasa malu di hadapannya, salah satunya adalah Muhammad saw. Betapa tidak, beliau bukan saja sebagai nabi, tetapi juga “kepala negara” yang terlalu mudah untuk mendapatkan kemewahan, namun beliau hidup dalam kesederhanaan yang luar biasa.
Kelima, menghargai semua komponen bangsa. Baginya, semua orang memiliki tempat dan fungsi masing-masing, tidak ada yang lebih penting di antara komponen-komponen bangsa yang ada kecuali saling melengkapi satu komponen dengan lainnya. Inilah yang beliau katakan bahwa bangunan suatu negara akan kokoh jika diperankan oleh pemimpin yang bijak, hakim yang adil, orang kaya yang dermawan, ilmuwan yang bisa menggunakan ilmunya dan orang miskin yang rendah hati dengan doanya.
Bagaimana sebagian untuk tidak mengatakan seluruh sikap Nabi saw di atas diteladani oleh warga Muhammadiyah? Beberapa kali penulis datang di sebuah pelosok yang rasanya di luar jangkauan kesan banyak orang bahwa di tempat tersebut terdapat ranting Muhammadiyah. Terletak di tengah hutan lebat dengan kondisi jalan sempit dan berbatu. Penampilan jama’ah pengajiannya sebagian besar bersarung dan beberapa di antara mereka mengenakan sorban yang dari penampilannya nampak seorang kyai pengasuh sebuah pondok pesantren tradisional di desa pada umumnya. Bahkan sebagian di antara mereka tak pernah berhenti merokok sepanjang acara. Situasi ini jelas jauh dari kesan Muhammadiyah sebagai gejala kota seperti selama ini dikesankan banyak orang. Tetapi itulah kenyataannya bahwa itu benar-benar acara Muhammadiyah di sebuah ranting tetretntu.
Lebih menakjubkan lagi, sekalipun sebuah ranting dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja, pada pengajian tersebut diresmikan sebuah gedung TK-ABA sebanyak tiga lokal dengan anggaran sekitar lima juta rupiah. Telah menjadi branding Muhammadiyah bahwa tak ada ranting tanpa amal usaha Muhammadiyah (AUM).
Lima puluh juta rupiah menghasilkan bangunan tiga lokal kelas?, tentu sulit dipahami dalam hitungan matematika, apalagi oleh logika orang yang sudah terbiasa menjadi pimpinan proyek milik pemerintah. Selama ini ada anggapan dalam setiap proyek pemerintah selalu ada kebocoran sekitar tiga puluh persen. Di Muhammadiyah sebaliknya, para pimpinannya dapat mengelola anggaran yang menghasilkan bangunan senilai tiga kali lipat dari anggaran yang ada. Jika anggaran yang ada lima puluh juta rupiah, maka bangunan yang yang dihasilkan secara riil bernilai tidak kurang dari seratus lima puluh juta rupiah bahkan lebih seperti kasus di atas.
Terdapat nilai-nilai yang dapat diteladani dari para pemimpin lokal Muhammadiyah di tingkat basis bawah. Nilai-nilai keteladanan itu meliputi kebersamaan, keterbukaan (transparansi), keikhlasan dan semangat berkemajuan. Nilai kebersamaan yang dibangun tidak sebatas sesama warga Muhammadiyah tetapi juga seluruh komponen masyarakat terlibat pada pembangunan sekolah. Begitu juga mereka tidak segan-segan menyerahkan sebagian harta yang dimilikinya mulai dari uang sampai material bangunan demi selesainya bangunan sekolah. Semangat inilah yang membuat anggaran yang ada dapat menghasilkan bangunan senilai tiga kali lipatnya.
Nilai tranparansi terlihat sangat jelas ketika secara rutin panitia melaporkan berapa uang yang masuk dan keluar dengan sangat detail, jujur dan apa adanya. Dengan cara ini semua anggota masyarakat dapat mengetahui berapa jumlah dana yang ada dan apa yang harus dilakukan jika terdapat kekurangan yang dengan kemampuan yang ada akan ditutup dengan cara yang mereka bisa lakukan. Tak ada lagi yang ditutup-tutupi sehingga terbebas dari kecurigaan apapun yang terjadi di kalangan mereka. Suatua nilai yang sangat indah untuk kita teladani.
Keikhlasan tentu saja hanya Allah dan yang bersangkutan yang mengetahuinya. Tetapi dilihat dari kegigihan mereka mengerahkan segala kemampuan yang ada demi selesainya bangunan yang menyangkut hajat orang banyak tersebut nampaknya sulit untuk mengatakan mereka sebagai orang tidak ikhlkas.
Semangat berkemajuan adalah branding Muhammadiyah dalam menampilkan wajah keislamannya. Tak ketinggalan sebuah ranting di sebuah kawasan terpencil sekalipun. Oleh karena itu tak heran jika yang ada dalam pikiran warga Muhammadiyah pastilah bagaimana mampu mencerdaskan masyarakat di sekitarnya. Di manapun mereka berada akan selalu mendirikan sekolah di segala tingkatan. Ciri kemajuan setidaknya dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan, maka kedua program inilah yang selalu ada dalam pikiran setiap warga Muhammadiyah.
Tentu saja kita tidak dapat menutup mata, bahwa tetap ada pimpinan dan anggota Muhammadiyah yang belum dapat menampilkan keteladanan seperti digambarkan di atas. Ada sebagian di antara mereka yang melakukan pelanggaran norma, baik agama, organisasi maupun sosial.
Lalu bagaimana dengan perilaku politisi kita? Terlalu ideal jika nilai-nilai tersebut diteladani apa adanya oleh para politisi kita. Tetapi setidaknya dapat memberi inspirasi dalam membangun bangsa ini. Membangun fasilitas pemerintah menghasilkan bangunan tiga kali lipat dari anggaran seperti yang banyak terjadi di ranting Muhammadiyah dalam pembangunan fasilitas pemerintah malah menimbulkan masalah prosedur, administrasi dan hukum. Dampaknya bisa rumit dan runyam. Tidak usah menghasilkan proyek dengan nilai tiga kali lipat dari anggaran yang ada, kebocoran tiga puluh persen yang ada dapat ditekan sudah merupakan bagian dari tranparansi yang luar biasa, terlebih lagi jika kebocoran itu adalah nol persen.
Dapatkah hal tersebut dilakukan? Tentu saja bisa sekalipun tidak mudah. Meminimalisir jiwa serakah akan keuntungan dalam mengelola proyek dan nafsu hedonis menjadi sangat penting dalam mengemban amanat sebagai politisi. Kasihan negara ini yang tak pernah berhenti dari ancaman para koruptor. Tumbuhkan semangat dedikasi untuk membangun agama dan bangsa dalam setiap melakukan apapun termasuk menangani proyek pemerintah. Jika hal ini dapat dilakukan tak perlu lama kita dapat mewujudkan negara dambaan kita, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Muhammadiyah harus mampu secara terus-menerus memberi keteladanan kepada politisi kita bagaimana mengurus negara yang pada hakekatnya adalah tugas kekhalifahan sebagai salah satu prinsip Muhammadiyah dalam menjalankan roda gerakannya. Perilaku ini setidaknya telah mampu diwujudkan oleh para pimpinan, anggota dan simpatisan Muhammadiyah, terlebih lagi di level bawah. Semoga.