Mendikbud: Sabtu-Minggu itu Hari Keluarga

Mendikbud: Sabtu-Minggu itu Hari Keluarga

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Setelah berziarah ke makam Kiai Ahmad Dahlan dan mampir di SMA Bopkri Yogyakarta, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menghadiri pertemuan terbatas para kepala sekolah Muhammadiyah di DIY. Ada beberapa hal yang dibahas Mendikbud dalam pertemuan selama dua jam lebih di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan Cik Ditiro.

Mendikbud yang dilantik setahun yang lalu itu mendapat banyak PR dari Presiden Jokowi dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Dalam waktu singkat dituntut untuk melakukan pembenahan mendasar dalam ranah kebijakan. Di antaranya terkait dengan Kartu Indonesia Pintar, penyesuaian UN, revitalisasi SMK, hingga persoalan guru.

Salah satu yang juga menjadi perhatian Mendikbud adalah terkait dengan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program ini merupakan turunan dari visi besar Presiden Jokowi tentang revolusi mental. Belakangan, PPK yang merupakan keputusan bersama presiden, kabinet, dan menjadi program bersama lima kementerian ini menuai protes keras dari pihak tertentu.

“Kunci pendidikan karakter itu ada tiga. Sekolah, keluarga, dan masyarakat,” tutur Mendikbud yang didampingi ketua PP Muhammadiyah Dahlan Rais dan Untung Cahyono. Turut hadir bendahara umum PP Muhammadiyah Suyatno, bendahara PP Muhammadiyah Marpuji Ali, dan sekretaris Majelis Dikdasmen Alpha Amirrachman.

PPK itu salah satunya diturunkan dalam bentuk Permendikbud tentang penyesuaian delapan jam sekolah selama lima hari sepekan. “Sabtu minggu sebagai hari keluarga,” kata Menteri Muhadjir. Keluarga memiliki tanggung jawab mendukung pendidikan di sekolah dan masyarakat.

Menurutnya, kebijakan libur di hari Sabtu dan Minggu, selain untuk menyamakan dengan pegawai lainnya, juga untuk menghidupkan industri wisata. Keluarga perlu merencanakan untuk berlibur dan mengunjungi objek wisata. Termasuk museum.

Berwisata di hari Sabtu dan Minggu juga menjadi bagian dari pendidikan karakter. Termasuk pendidikan tentang kebhinekaan dan mengetahui potensi keragaman Indonesia. “Kalau tidak jalan kemana-mana, bagaimana kebhinekaan terbentuk,” tuturnya.

Selain itu, kebijakan itu bertolak dari banyaknya guru yang masih membutuhkan jam tambahan mengajar. Sehingga, kata Mendikbud, sekitar 142.00 guru yang kekurangan jam mengajar bisa memanfaatkan 8 jam di sekolah. Delapan jam tersebut tidak selalu harus di dalam kelas dan di sekolah.

Dalam program tersebut, kata Muhadjir, guru mendapat tugas tambahan untuk mengawasi anak. Memasukkan kegiatan di luar kelas dan di luar sekolah sebagai bagian dari catatan peserta didik. Mendikbud menganalogikan teori cermin. Bahwa anak harus memiliki catatan akademik dan keseharian serta pelabelan yang positif. Catatan itu bisa menjadi bahan evaluasi dan bisa mengetahui bakat dan potensi anak.

Terkait dengan madin, menurut Muhadjir, kebijakan ini justru memperkuat madin. Guru ikut mengawasi anak di madin dan menjadi salah satu catatan sekolah. “Tidak harus selalu belajar di sekolah,” urai Mendikbud Muhadjir Effendy. (Ribas)

Exit mobile version