Suami Tak Mau Usaha

tinggalkan

Assalamu’alaikum wr wb.

Ibu Emmy yth., saya (29 tahun) punya seorang putri (11 tahun). Saya berasal dari keluarga “broken” yang miskin. Menjelang usia remaja, saya termasuk kembang desa, tapi saya memilih berhubungan dengan lelaki yang tidak tepat. Di saat ekonomi keluarga mulai membaik dan bias kuliah, saya memilih menikah dengan lelaki tersebut, meski tidak disetujui keluarga kedua belah pihak karena beda agama. Tapi suami bersedia masuk Islam.

Saat mulai perkawinan, hidup kami susah dan tinggal di rumah mertua. Saya tidak tahan dan mengancam mau pulang bila tidak hidup sendiri. Karena di situ saya dilarang beribadah. Lalu kami dipinjami modal oleh paman suami dan membuka toko kelontong di rumah kontrakan. Usaha kami berkembang sampai bias beli rumah dan menyicil kendaraan. Ketika usaha tambah berkembang, saya ajak ayah membuka toko elektronik dengan modal dari pinjam sertifikat ayah saya (atas usul suami).

Setahun kemudian, toko kami dirampok, barang-barang ludes, meski tidak semua. Kami pinjam uang ke saudara untuk mengisi barang di toko.  Sejak itu suami mulai aneh, dibilangnya saya lebih memperhatikan bapak saya daripada dirinya. Saya juga dituduh suka member uang kepada orang tua saya di belakangnya. Yang lebih menyakitkan, saya banting tulang bekerja untuk bayar utang sedang suami dengan seenaknya ambil kredit motor dengan uang toko. Saya mencoba bersabar. Pernahterbesit untuk minta cerai. Tapi, hati berkata “jangan”. Saya tak ingin anak saya mengalami seperti saya waktu seusia dia. Miskin dan keluarga berantakan. Apa yang harus saya lakukan, Bu? Mohon sarannya. Atas jawabannya terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Ibu Sedih, di kota X.


Wa’alaikumsalam wr wb.

Ibu Sedih yth., bila seseorang dibesarkan dalam keterbatasan ekonomi ditambah dengan keadaan keluarga yang tidak harmonis, maka ia punya peluang untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak yang rendah diri dengan citra diri yang buruk, jadi sulit mengaktualisasikan diri. Cenderung nrimo dan yang menyedihkan membuat ia justru melakukan hal-hal yang sebenarnya ia akan lebih banyak mendatangkan perasaan tidak nyaman,sedih dan diremehkan lingkungan. Atau lebih nyaman bila berada di antara orang-orang yang hidupnya tidak sukses dan tidak terhormat. Bukankah hal di atas juga Anda alami? Sebagai kembang desa, malah memilih suami yang ditolak orang tua dan keluarga. Punya kesempatan kuliah, malah memilih kawin meski tak disetujui

Tapi itu bukan harga mati, banyak contoh orang yang sukses meski dari keluarga “broken home”. Saya ingatkan, masa lalu adalah bagian dari hidup kita yang tak bias kita hilangkan. Tak pula bias kita pilih. Tapi masa depan dan hari ini sebenarnya berada dalam genggaman kita untuk bias kita kelola semaksimal mungkin. Bila kita menggunakan masa lalu sebagai acuan, hanya akan membuat kita berada pada titik terendah dari perasaan bahwa Anda berharga akhirnya kehilangan rasa percaya diri bahwa anda mampu mengatasi kepedihan hidup. Wong nyatanya demikian.

Namun, dengan tekad kuat, Anda bias member kenyamanan hidup terutama bagi putrid ibu. Anda juga bias lebih waspada mengelola keuangan di masa kini. Gunakan pengalaman pahit itu sebagai landasan untuk bias hidup berhemat, punya tabungan pribadi dan hal-hal lain yang merupakan bentuk kehati-hatian agar penglaman pajit tidak terulang lagi. Tapi, tampaknya Anda lebih memilih berada dalam golongan orang dengan harga diri dan rasa percaya diri yang rendah. Sehingga lebih nyaman bersama suami yang menurut standar normal jauh dari gambaran ideal seorang suami. “Aku juga bukan dari keluarga baik-baik kok, jadi tidak apa-apa punya suami kasar, siapa tahu dengan menikah ia bia berubah.” Begitulah kira-kira yang ada dalam benak orang dengan citra diri buruk.

Menurut saya, keluarga Anda jauh dari rasa tentram, karena perbedaan agama. Ini menyebabkan peluang untuk hidup lebih tertib dan religious tidak bias terwujud. Padahal bila kita hidup sesuai akidah yang kita anut, tuhan pastti akan member kemudahan hidup dalam banyak hal. Bila ada yang belum atau tidak sesuai dengan harapan kita, pasti ada barakah yang menjauhkan kita dari pikiran yang mengarah pada keputusasaan.

Masalah yang sedang Anda hadapi begitu pelik. Namun sebenarnya, ada 2 masalah besar yang harus dipecahkan sebelum meyakini bahwa perkawinan ini bias diteruskan, yaitu keuangan dan kesepakatan berdua untuk hal-hal prinsip dalam hidup, termasuk agama. Untuk masalah keuangan, coba Anda tantang suami untuk memulai hidup dari awal lagi. Artinya, jual semua asset yang ada, lunasi sebanyak mungkin hutang yang bias dilunasi. Terutama tebus kembali sertifikat rumah orang tua. Jual saja rumah dan kendaraan yang ada. Bila uang untuk ngontrak rumah tidak ada kembali ke rumah orang tua. Lalu mintalah ia untuk bertanggung jawab.

Selain itu buat kesepakatan-kesepakatan dengan suami untuk punya kebutuhan menampilkan cirri kedewasaan. Saying istri dan anak, malu berbuat buruk dan pelan tapi pasti tanamkan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan kehidupan berkeluarga. Setelah bicara, beri waktu dia jangan terlalu lama, 6 bulan saja. Karena bila suami punya kesadaran, betapa besar sumbangannya untuk penderitaan istrinya. Seharusnya ia memulai dengan tindakan nyatanya setelah Anda bicara padanya. Bila hal ini tak kunjung dilakukan, bias dikatakan Anda hidup dengan “suami”, tapi yang sebenarnya adalah laki-laki yang merasa memiliki Anda, tapi merasa tidak punya kewajiban menyejahterakan Anda. Tak merasa harus hormat pada Anda dan tak pula risi menggerogoti usng hasil jerih payah istrinya tanpa imbal balik.

Bila sudah begitu, Anda harus bersikap, mau terus dalam kepedihan atau mumpung usia masih belum 30 tahun tata dan kelola hidup lebih baik. Banyak-banyak minta ampun pada Allah karena sudah melakukan hal-hal yang tak disukaiNya, yaitu gagal membina keluarga dengan  suami. Juga perbanyak amalan-amalan sunnah agar kehidupan Anda dimudahkan Allah.

Exit mobile version