JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Di usia yang semakin senja, Ahmad Syafii Maarif masih belum bisa berlepas tangan dari memikirkan nasib bangsa Indonesia. Gagasan dan pemikiran otentiknya demi kemajuan bangsa masih sering dipinta. Senin, 17 Juli 2017, ketua umum PP Muhammadiyah 1997-2005 itu kembali diundang ke Istana Kepresidenan Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo.
Dalam pertemuan yang belangsung selama satu jam itu, ada dua hal yang dibicarakan bersama dengan Presiden. “Persoalan pertama adalah ketimpangan ekonomi. Ini perlu cepat pemerintah sudah bekerja, tapi harus dipercepat, sebab kalau tidak, ini timbul lagi nanti prahara sosial, Mei 1998. Itu kan hancur kita,” kata Buya menjawab pertanyaan wartawan usai bertemu presiden.
Data Badan Pusat Statistik, menunjukkan bahwa tingkat gini rasio pada Maret 2017 sebesar 0,393. Persoalan ketimpangan dan kedaulatan ini menjadi bahasan utama Tanwir Muhammadiyah di Ambon beberapa waktu lalu. Muhammadiyah prihatin dengan kondisi ketimpangan yang terus meningkat tajam. Rekomendasi dan hasil tanwir tersebut telah disampaikan kepada presiden.
Buya Syafii mengakui, saat ini Presiden sudah banyak mencabut izin-izin penggunaan tanah oleh konglomerat. Hal itu sebagai langkah memperkecil disparitas. “Tanah yang dimiliki konglomerat sudah banyak yang dicabut alhamdulillah,” katanya. Namun, perlu terus dipacu.
Dalam berbagai kesempatan, Buya Syafii terus berupaya untuk mendorong para konglomerat supaya ikut serta memberdayakan para pelaku usaha di sekitarnya. Menurutnya, UKM harus diberdayakan dan dirinya telah bicara dengan beberapa konglomerat kelas hiu untuk memperdayakan masyarakat agar ketimpangan ekonomi hilang sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. “Saya bilang ini kalau ketimpangan dibiarkan begini, ngamuk rakyat nanti. Mereka paham betul,” ungkapnya.
Buya Syafii berharap para konglomerat ini benar-benar menjalankan ide tersebut, yakni di setiap kabupaten dan kota, ada pengusaha yang punya komitmen kerakyatan sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
“Presiden sama persis dengan saya. Ini cocok omongnya. Ini (ketimpangan) kan sisa masa lampau semua. Sejak zaman Soeharto dulu,” katanya. Buya Syafii khawatir jika kesenjangan ini semakin menganga, kondisi ini seperti rumput kering yang mudah disulut dan terbakar. Pemicu untuk bahan bakarnya bisa beragam, terutama isu-isu agama. “Seperti jalan rumput kering yang rentan sekali dan bisa memicu macam-macam, pakai agama segala macam itu,” katanya.
Hal kedua yang dibahas dengan Presiden, kata Buya, terkait paham radikalisme yang mengatasnamakan agama, seperti ISIS. Menurutnya, ISIS adalah puncak rongsokan peradaban Arab yang telah kalah dan gerakannya berbahaya.
Namun, kata Buya Syafii, rongsokan peradaban itu banyak diimpor ke berbagai negara, termasuk Indonesia. “Orang-orang Indonesia yang Muslim menganggap karena mereka mengerti bahasa Arab, itu disangka mewakili agama. Ndak bisa, ini rongsokan. Masa dibiarkan begini, Ya merusak di Filipina, merusak di mana-mana,” katanya.
Buya mengatakan negara-negara Arab saat ini kewalahan menghadapi kelompok-kelompok radikal semacam ISIS. Ini dikarenanakan pemerintah setempat tidak bisa mengantisipasi. (Ribas)