YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pada prinsipnya, Islam merupakan agama yang sangat progresif dan revolusioner, namun di tangan mayoritas muslim, Islam seolah menjadi agama yang sekedar ritualistik dan jumud. Kenyataan itu menjadi awal kegelisahan Ali Syariati, seorang tokoh pemikir intelektual dan sosial asal Iran. Berangkat dari kegelisahan itu, Ali Syariati kemudian bangkit untuk melakukan perubahan, hingga kemudian melahirkan revolusi Iran.
Demikian di antara poin yang disampaikan wakil ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah, Dr Mutiullah MHum, dalam acara Kajian Malam Sabtu (Kamastu), pada 21 Juli 2017, di gedung PWM Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Ali Syariati sangat menolak Islam yang meratap-ratap, Islam yang jumud, Islam yang ritualistik. Tapi ini yang menggejala dalam kehidupan masyarakat muslim. Termasuk di Indoensia,” tutur Mutiullah yang juga dosen Filsafat di UIN Sunan Kalijaga. “Teologi Islam progresif yang menjadi landasan pemikiran Ali Syariati, bahwa Islam bukan sekedar ritual kering dengan aksi sosial. Islam adalah gerakan liberasi untuk kesetaraan manusia,” tambah putra kelahiran Madura itu.
Menurut Mutiullah, muslim yang sesungguhnya dalam pandangan Ali Syariati adalah muslim yang melakukan transformasi sosial. Ia tidak sekedar meratapi hidup di tengah kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasannya, namun ia melakukan tindakan nyata. Hal itu, ujar Mutiullah, sesuai dengan pesan al-Qur’an di banyak ayat, yang selalu menggabungkan antara keimanan dan amal shaleh.
Pemikiran Ali Syariati, katanya, memiliki persinggungan dengan pemikiran tokoh dan pendiri Muhammadiyah. “Dalam bahasa Muhammadiyah, setiap muslim itu harus memiliki keberpihakan kepada mustadl’afin, sesuai dengan theologi al-Ma’un,” kata Mutiullah yang merupakan doctor lulusan UGM dengan Disertasi tentang Ali Syariati.
Ali Syariati merupakan tokoh yang menolak sistem sosialisme dan marxisme. “Menurut Ali Syariati, sosialisme sangat utopis. Dan kapitalisme sangat negatif, menempatkan manusia sebagai komoditi, bukan sebagai makhluk bermartabat,” ulasnya.
“Di antara kegagalan sosialisme dan marxisme, Ali Syariati menawarkan Islam sebagai solusi,” tutur Mutiullah. Ali Syariati kemudian mencoba menawarkan perpaduan antara spirit anti imperialism Barat, ilmu sosial kritis, dan ajaran Syiah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revolusioner. Menariknya, kata Mutiullah, Ali Syariati justu tidak diakui oleh kalangan Syiah. Dalam banyak hal, Ali Syariati memang berbeda dengan mayoritas. Ia bahkan menolak konsep Imamah, menghapus kesan bahwa para khalifah Sunni (Abu Bakar, Umar, Usman) telah merampas hak Ali bin Abi Thalib dalam imamah.
Sejarah para nabi, menurut Ali Syariati, adalah sejarah perlawanan terkadap penindasan. Bahkan sejak manusia pertama, telah terjadi perseteruan antara kutub Habil (mewakili rakyat) dan Qabil (mewakili penguasa). Para nabi selalu berpihak kepada kaum lemah atau proletar (mustadl’afin) melawan kekuasaan yang zalim atau borjuis (mutrafin). Istilah mustadl’afin dan mutrafin digunakan untuk menolak istilah yang digunakan Karl Marx, yang ditentang oleh Ali Syariati.
Sebagai pelanjut tugas profetik para nabi yang telah tiada, Ali Syariati mengistilahkan mereka sebagai kaum intelektual tercerahkan (rausyan fikr). “Intelektual tercerahkan memiliki tugas untuk membangun kesadaran sosial masyarakat. Karena tanpa kesadaran sosial, masyarakat sekedar unsur-unsur dialektis semata,” tutur Mutiullah. Perubahan itu selalu dimulai dengan proses penyaran, itulah titik tekan Ali Syariati.
Mutiullah menyebut bahwa Muhammadiyah telah mengambil posisi sebagai intelektual tercerahkan. Kiai Dahlan tidak sekedar meratap dan tunduk dalam kebodohan dan ketertinggalan. Namun melakukan perlawanan. Bukan dengan konfrontasi tetapi justru meniru kemajuan penjajah dalam agenda pendidikan (schooling), kesehatan (healing), dan santunan sosial (feeding). “Muhammadiyah termasuk kelas menengah terpelajar yang melakukan perubahan sosial. Bergerak dari Islam yang ritualistic menjadi Islam yang revolusioner,” urainya. (Ribas)