JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1997-2005, Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai keluhuran Islam itu bisa dilihat dalam teks-teks kitab suci secara keseluruhan.
Buya prihatin dengan orang-orang yang melakukan kekerasan dengan dalih agama. Bahkan mencoba mencatut potongan-potongan ayat tertentu, yang seolah memerintahkan pada kekerasan. “Coba saja cari di Al-Qur’an, apakah Islam mengajarkan teror? Tidak ada,” kata Buya Syafii di Jakarta, Selasa (25/7).
Memang, ada beberapa ayat yang memerintahkan perang, namun harus dipahami konteksnya. “Memahami Al-Qur’an itu harus dilihat secara keseluruhan karena di sana ada benang merah. Bukan dengan pemahaman yang dangkal dan sepenggal-sepenggal,” jelas Buya. Menurutnya, pesan-pesan Al-Qur’an itu secara keseluruhan mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Maraknya radikalisme dan terorisme, kata Buya Syafii, sebagian karena ayat-ayat Al-Qur’an tersebut salah ditafsirkan atau karena dipahami secara parsial. Ironisnya, penafsiran yang tidak tepat dan menyalahi nilai keluhuran agama itu digunakan untuk meracuni orang lain agar mengikuti ideologi kekerasan ala kelompok radikal.
“Itulah persoalannya. Saat ini, banyak orang Islam yang ikut kelompok teroris. Harus diakui saat ini peradaban Islam tengah berada di titik nadir. Orang yang kalah gampang kalap. Harusnya supaya tidak kalap, mereka belajar agama yang benar dan berlapang dada,” ulas Buya Syafii.
Buya Syafii menjelaskan bahwa pada dasarnya, Al-Qur’an telah lebih dulu mengajarkan tentang keragaman umat manusia. Jauh sebelum adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang digaungkan oleh Mpu Tantular sekitar abad ke-14. “Kebinekaan itu harus kita hargai dalam diri kita masing-masing, jangan ada pemaksaan. Juga harus ada toleransi otentik yang tidak dibuat-buat. Apalagi dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda,” ungkapnya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia dan lebih lagi umat Islam untuk mempersoalkan perbedaan.
Salah satu ayat Al-Qur’an, yang dibacakan Buya Syafii, sangat jelas tentang perbedaan itu, yang termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 13. Buya menjelaskan, di ayat itu tertulis, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Menurutnya, ajaran-ajaran Islam yang dijelaskan dalam Al-Qur’an itu sangat toleran. Oleh karena itu, tidak logis bila kelompok-kelompok radikal seperti ISIS atau Boko Haram di Nigeria mengklaim mereka sebagai orang Islam. “Ironisnya, rongsokan peradaban yang sudah kalah di Arab itu, justru ‘dibeli’ di sini. Semua terjadi karena wawasan, bacaan, dan pergaulan mereka terbatas,” ungkap Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah ini.
Buya Syafii mengakui bicara terorisme itu sangat melelahkan. Menurutnya, terorisme yang terjadi di Indonesia dipicu oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah karena ketimpangan sosial ekonomi yang parah sehingga seperti memunculkan rumput kering atau jerami kering yang mudah terbakar. Ini terjadi karena terlalu dominannya asing dan pemilik modal menguasai ekonomi Indonesia. Menimbulkan kesenjangan. “Saya khawatir betul karena ledakan ekonomi yang membuat kesenjangan terlalu jauh akan berbuntut prahara sehingga apa yang kita bangun selama ini akan berantakan,” papar Buya.
Dalam hal ini, Buya mengapresiasi kebijakan Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius, yang menggunakan pendekatan dengan bahasa hati dan ekonomi dalam menjalankan penanggulangan terorisme, terutama dalam mendekati dan merangkul mantan kombatan. Salah satunya peresmian masjid Baitul Muttaqien dan Taman Pendidikan Anak (TPA) di kampung bomber Bom Bali, Amrozi cs yang dikelola Yayasan Lingkar Perdamaian yang dipimpin mantan teroris, Ali Fauzi, beberapa hari lalu.
“Pendekatan berbahasa hati dan sosial ekonomi lebih utama. Mereka anak-anak kita, bangsa kita yang mentalnya labil dan rentan pengaruh dari luar. Pendekatan inilah yang membuat kelompok radikal sekarang terlihat agak jinak,” ujar Buya Syafii Maarif. Jika menggunakan pendekatan yang salah, kelompok radikal justru semakin subu. (Ribas)