Oleh: Imam Shamsi Ali*
Sebuah diskusi cukup seru di salah Wassup group yang saya ikuti seputar penyebutan agama dan SARA. Sebagian anggotanya protes dan meminta agar agama tidak perlu disebut-sebut di group tersebut. Alasannya isu SARA adalah isu sensitif dan rentang menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Mereka khawatir kalau penyebutan agama di group itu bisa menyulut isu SARA.
Tapi haruskah demikian?
Saya melihat ada kesalah pahaman dalam memahami makna SARA itu sendiri. Seolah-olah penyebutan agama di kelompok yang ragam sudah dikategorikan SARA. Di sini saya menilai ada “over sensitivity” (sensitifitas berlebihan) yang menyebabkan terjadinya “over reaction” (reaksi berlebihan) terhadap isu SARA.
SARA tidak dimaksudkan sekedar menyebutkan atau melibatkan isu agama, ras dan suku dalam sebuah diskusi atau pembicaraan. Apakah SARA ketika saya membahas coto Mangkasara sebagai makanan khas Bugis Makassar? Tentu bukan. Justeru sangat positif untuk mempromosikan makanan-makanan khas Nusantara yang kebetulan saja berasal dari daerah saya Makassar.
SARA hanya terjadi ketika isu agama, ras atau suku itu dijadikan alat untuk menyerang, menjelekkan, menghina, merendahkan, dan yang semakna. Sebaliknya ketika agama, ras dan suku disebutkan tanpa tujuan menjelekkan atau menyerang orang lain, maka penyebutan atau pembicaraan itu tidak beralasan untuk dituduh sebagai SARA.
Menyampaikan agama secara positif, tanpa bermaksud memburukkan agama dan pemeluk agama lain justeru dalam pandangan saya positif. Kita hidup dalam dunia yang teracuni oleh materialisme dan sekularisme. Oleh karenanya menampilkan agama (Tuhan dan moralitas) adalah sesuatu yang positif. Dan dalam dunia yang didominasi oleh kekisruhan dan kekerasan, bukankah positif menyampaikan nilai-nilai agama masing-masing sebagai penyeimbang?
Alangkah indahnya ketika Islam ditampilkan dengan konsep perdamaian dan kasih sayang (rahmah). Agama Kristen dengan konsep cinta kasih (love). Agama Hindu dengan konsep tanpa kekerasan (non violence). Budha dengan konsep menghormati lingkungan (environment). Demikian seterusnya, tanpa memburukkan atau menyerang agama dan pemeluk agama lain.
Anti SARA atau anti agama?
Sensitifitas SARA ini justeru menumbuhkan kecurigaan di benak saya. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, kita anti penyebutan agama jika yang disebutkan itu kebetulan saja bukan agama kita. Tapi jika yang disebutkan atau didiskusikan itu adalah agama yang kita yakini dan puji, maka itu bukan SARA.
Sikap ketidak jujuran seperti ini bukan baru. Seringkali konsep-konsep hubungan antar manusia dipuji atau sebaliknya diburukkan berdasarkan kepentingan golongan sempit. Toleransi kita puji di saat masih berpihak ke kelompok kita sendiri. Tapi di saat toleransi berpihak ke orang lain, toleransi kita tampilkan sebagai intoleransi.
Kedua, yang paling saya khawatirkan dalam hal sensitifitas SARA ini justeru memang dibangun di atas dasar tendensi “anti agama”. Kecenderungan yang kuat oleh sebagian dalam mengusung sekularisme, sesungguhnya menjadikan sebagian sadar atau tidak sensitif dengan pembahasan agama di ruang publik.
Dalam hal ini bukan karena penyebutan agama tertentu menganggu pemeluk agama lain yang menjadi masalah. Tapi masalahnya memang adalah karena tendensi “anti agama” itu sendiri. Sehingga pembahasan agama itu dituduh sebagai SARA. Dan sikap mereka dibalik dari anti agama menjadi seolah memperjuangkan nilai-nilai positif (toleransi).
Dalam dunia modern, dengan kemajuan sains dan teknologi khususnya di bidang informasi, agama memanh semakin termarjinalkan dalam kehidupan manusia, terutama di ranah publik. Bahkan terbangun persepsi kuat jika agama menjadi sumber berbagai masalah, termasuk kebodohan, keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, dan berbagai penyakit dunia lainnya.
Minimnya kepercayaan (trust) kepada agama sebagai “sumber kebajikan (al-birr) dan kesalehan (righteousness) ini semakin menguat, khususnya di kalangan anak-anak muda dan lebih khusus lagi di kalangan dunia barat yang identik dengan kemajuan. Sehingga tidak mengherankan jika agama terbesar ketiga dunia kita saat ini adalah apa yang disebut: laa diniyah (agama tanppa agama).
Dalam sebuah penelitian oleh Pew baru-baru ini ditemukan bahwa agama terbesar pertama di dunia saat ini adalah Islam dengan jumlah sekitar 2.6 milyar manusia. Disusuk Katolik dengan jumlah sekitar 1.2 milyar, lalu Protestan sekitar 900 juta manusia. Dan agama terbesar ketiga adalah agama “tanpa agama” tadi.
Penampakan agama secara negatif dan brutal, khususnya agama Islam, akhir-akhir ini dan kampanye konsep-konsep yang secara terang-terangan mendukung konsep-konsep anti agama (moralitas) jelas dicurigai sebagai kampanye terbuka anti agama.
Dan di sini pula saya wajar saja curiga jika sensitifitas SARA itu adalah bagian dari propaganda ini.
Jangan salah paham. Saya anti SARA. Saya menolak pemburuk-burukkan agama dan pemeluk agama siapa saja. Tapi saya mendukung promosi nilai-nilai agama dalam kehidupa manusia, termasuk di ranah publik.
Dan jangan berpura-pura tidak tahu. Negara sesekuler Amerika saja tidak akan bisa menghindari diskusi-diskusi publik mengenai agama. Bahkan salah satu topik terhangat dalam perdebatan kandidat politik, termasuk presiden, adalah isu agama (baca Islam).
Maka, benarkah obyeksi sebagian orang untuk membicarakan agama karena masalah SARA? Atau memang karena kebetulan pembahasan itu tidak memihak pada dirinya? Atau mungkin saja karena memang itu adalah bukti nyata bahwa agama saat ini memang sudah menjadi momok yang menakutkan? Wallahu a’lam!
New York, 27 Juli 2017
* Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation