Cerpen Lia Indriyani
“Tidak Nak, Ibu tidak setuju.” Perempuan paruh baya itu pergi meninggalkan anak gadisnya yang masih terheran-heran: mlongo. Gadis itu bingung, ibunya yang selalu memberi wejangan kalau iman adalah hal utama dalam menentukan pilihan, kini memberi jawaban yang bukan dia inginkan. Jawaban yang bertentangan. Tanya menyeruak dalam dada. Mengapa orang yang paling dihormatinya menolak pilihan calon imamnya?
Tenggorokannya tercekat. Mata mulai memanas. Gadis itu menuntun kakinya keluar rumah, menghirup udara yang mungkin saja bisa melegakan ulu hatinya. Langkahnya menuju tepian sungai. Di bawah rimbunnya pohon bambu, dia duduk, menunduk. Tangannya meraih sebatang bilah, kemudian menuliskan sebuah nama di tanah. Air matanya menetes di atas nama yang ditulisnya. Dia menarik nafas panjang, kemudian melemparkan bilah itu ke sungai, hingga hanyut terbawa arus yang lembut.
Gadis itu teringat akan Nabi Ibrahim yang begitu ikhlas akan mengorbankan putranya: Nabi Ismail, demi sebuah cinta yang suci pada Rabbnya. Dia kembali berpikir, apa mungkin dia harus meninggalkan pilihannya, demi sebuah cinta dan bakti pada ibunya. Ah, gadis itu mendesah, terlalu berat baginya untuk meninggalkan salah satu dari keduanya. Betapapun dia coba untuk kuat, tapi dia manusia biasa, dia bukan mustofa, bukan pula nabi yang setia. Namun, masih terselip di hatinya asa, atas pertolongan Tuhannya.
***
”Kamu nggak papa kan, Nak?” tanya seorang ibu yang memendam kekhawatiran pada putri semata wayangnya. Putrinya justru tersenyum manis, bahkan sangat manis, meski terlukis jelas ada kepahitan, terselubung di dalam senyum yang tersuguh itu.
”Aku baik-baik aja kok, Bu,” kata gadis itu, sambil menghidangkan sepiring pisang goreng dan teh manis, kesukaan ibunya dipagi hari.
Masih duduk di kursi malasnya dan mengunyah pisang goreng, perempuan paruh baya itu memandangi putrinya yang melangkah ke dapur, hingga hilang dari pelupuk matanya. Hatinya teriris, walau putrinya diam, tapi dengan bahasa jiwa, dia tahu putrinya memendam rasa kecewa. Namun, keakuannya tak mungkin merelakan putri tercintanya bersama lelaki yang tak jelas baginya. Kursinya kembali bergoyang dan perempuan itu larut dalam pikirannya yang entah.
***
“Ibu …” suara putrinya membuat dia terjaga. “Sudah waktunya shalat subuh, Bu.” Suara putrinya kembali terdengar sangat nyaring, bersama suara ketukkan pintu yang juga terdengar nyaring. Sambil mengelus dada, perempuan itu mengucap istighfar berkali-kali.
“Iya, Nak.” Dalam langkahnya hendak mengambil air wudhu, perempuan itu masih terbayang akan mimpi buruk yang seolah nyata. Mimpi anaknya menigngal dengan membawa malu. Pikirannya masih melayang-layang. Dia baru benar-benar merasa yakin, semua itu hanya mimpi ketika melihat senyum manis putrinya. Ya, putrinya masih menjadi makmum dalam shalatnya.
Penuh takzim, gadis itu mencium tangan ibunya. Dia merasa aneh, baru kali itu dia melihat ibunya menitikkan air mata di depannya. Melihat pemandangan itu, hatinya menjadi ngilu.
”Ibu kenapa?”
”Nggak papa, Nak.”
”Tapi …” belum sempat dia melanjutkan kalimatnya, ibunya sudah memalingkan muka dan mengambil Al-Qur’an, kemudian membacanya. Perempuan itu memilih pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Namun, semua menguap tanpa menemukan jawabnya.
Makanan yang disajikan selalu utuh. Ibunya lebih banyak mengurung diri di kamar. Kalaupun keluar, itupun hanya sebentar. Mukanya tampak kuyu dan sendu. Rasa khawatir mulai menyelusup ke jiwanya. Ibunya yang selalu tersenyum ramah, kini telah berubah. Bukankah dia telah patuh pada ibunya, bahkan dia rela meninggalkan pilihannya, walau dengan rasa yang teramat berat. Hal seperti ini tak bisa dibiarkan, pikirnya. Karena selama ini ibunya jugalah yang selalu mengajarkan untuk saling terbuka. Ya, gadis itu tak kuat lagi menahan berjuta tanya yang berkecamuk di dadanya.
Bak setrika yang belum panas, gadis itu mondar-mandir di depan kamar ibunya. Hatinya bimbang, pikirannya melayang, tapi dirinya membutuhkan jawaban dan kepastian. Gadis itu mengumpulkan kekuatan. Dengan pelan tangannya mengetuk pintu yang terkunci dari dalam.
”Ibu, aku mau bicara.” Tangannya kembali mengetuk daun pintu. Tak berapa lama terdengar kunci dibuka dan wajah ibunya terlihat dengan jelas. Gadis itu mengikuti langkah ibunya menuju ranjang. Dengan merasa kikuk, dia duduk. Di sampingnya, dia menyaksikan wajah tua yang seolah tak punya daya. Tangan yang sudah keriput dipegangnya dengan lembut.
”Maafkan anakmu ya, Bu, sebenarnya, Ibu kenapa?” Dengan suara yang berat, dia memberanikan diri untuk bertanya. Ibunya menatap matanya sesaat, kemudian menggelengkan kepalanya.
”Ibu, tolong bicaralah, aku sakit melihat Ibu seperti ini.” Gadis itu tak kuat membendung air matanya. Dia biarkan saja air mata itu membanjiri pipinya. Dia menunduk. Namun, dia kembali mengangkat mukanya, ketika tangan ibunya menggenggam tangannya.
”Maafkan Ibu, Nak. Ibu sudah buat kamu khawatir. Entah terlambat atau belum, Ibu mau tanya satu hal padamu. Apa kamu yakin dengan pilihanmu?”
”Maksud Ibu,” gadis itu ragu akan arah pembicaraan ibunya. Apa mungkin ibunya membicarakan perihal calon imamnya.
”Ya, apa kamu yakin dengan laki-laki itu?”
”Iya, Bu, tentu aku yakin, tapi kalau Ibu tak memberi restu, aku tak akan terus maju.”
”Apa alasanmu memilihnya, Nak?”
”Bukankah Ibu yang mengajariku memilih calon suami dari keimanannya? Aku yakin karena keimanannya, Bu.”
Perempuan paruh baya itu kembali terdiam, angannya menerawang. Keakuannya bangkit lagi. Dia seolah tak rela, putri cantiknya harus bersanding dengan lelaki pincang dan miskin, yang dipilih putrinya. Namun, mimpi itu kembali terbayang. Dia tak ingin hal itu menjadi kenyataan. Meski dia yakin, tak mungkin putrinya meminum racun seperti dimimpinya, tapi dia sadar, dia telah menyakiti hati anaknya. Wajah mantan suaminya terlintas. Harta dan kesempurnaan fisik membuatnya jatuh cinta. Tapi perahunya karam di tengah lautan. Rumah tangganya hancur, karena suaminya kepincut perempuan lain. Sakitnya pengkhianatan tak mungkin dia lupakan. Dia tak menginginkan putrinya salah pilih dan merasakan hal yang sama seperti dirinya. Kini dia benar-benar sadar, sesadar-sadarnya, keimanan adalah segalanya.
”Nak, maafkan Ibu. Apa Ibu terlambat kalau Ibu katakan, Ibu merestui kalian?” Gadis itu tak sanggup memberi jawaban, hanya hujan air mata haru yang bicara. Gadis itu mencium tangan ibunya begitu lama, dan membiarkan saja air matanya membasahi tangan keriput itu. Kini hatinya terasa berongga, lega. Dia dapat merasakan pertolongan Allah, bisa datang kapan saja, di masa saja, dan kepada siapa saja. Bak anak kangguru yang ingin terlindungi di kantung induknya. Gadis itu memeluk ibunya dengan erat, mendengarkan detak jantung, tanpa selubung.
***
*Lia Indriyani, seorang pendidik yang penulis di MI Muhammadiyah Kutasari, merupakan alumni Sekolah Kepenulisan STAIN Press Purwokerto. Sekarang tergabung dalam Komunitas Matapena, Komunitas Puisi dan Sastra, dan Sekolah Menulis Cerpen Online (Writing Revolution). Tulisannya pernah dimuat di Tabloid Poin, Surat Kabar Suara Merdeka, Majalah Ummi, puisinya dibukukan dalam Antologi Puisi ”Pilar Penyair” (2011), puisi dan cerpennya dibukukan dalam antologi sastra ”Aksara Nusantara” (2011), Cerpen “Suka Ayam” menjadi juara 6 dalam lomba cipta cerpen tingkat Mahasiswa se-Banyumas di UNSOED Purwokerto (2012), puisinya dibukukan dalam antologi “Pilarisme” (2012), prosa liriknya dibukukan dalam antologi “Karmapala” (2012), dan Cerpen “Bahu Laweyan” menjadi nominator lomba cerpen tingkat mahasiswa Nasional di STAIN Purwokerto dan dibukukan dalam antologi “Nyanyian Kesetiaan” (2012). Cerpen anak, cerpen dan puisinya dibukukan dalam antologi “Creative Writing” (2013).