YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) merupakan ruang terbuka untuk semua. Tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, dan golongan, semua institusi pendidikan Muhammadiyah dimaksudkan untuk memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perbedaan latar belakang bukanlah penghalang untuk saling bersinergi dan berbagi.
Di PTMA, para mahasiswa non-muslim akan tetap diperlakukan sama dengan mahasiswa muslim. Anggota Tim Asistensi Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Ahmad Muttaqin, PhD menuturkan bahwa di banyak universitas Muhammadiyah di Indonesia Timur, para biarawati biasa berkuliah dengan nyaman menggunakan pakaian biarawati lengkap dengan semua aksesorisnya.
Ahmad Muttaqin menyatakan, tak jarang sebagian mereka justru dengan sukarela tertarik untuk mengikuti mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyah. Padahal, mata kuliah itu hanya diwajibkan bagi mahasiswa muslim. Sementara bagi mahasiswa non muslim akan diberikan mata kuliah agama sesuai dengan keyakinannya dengan pengajar yang seagama.
Wakil Rektor (Warek) III Universitas Muhammadiyah Kupang, Drs Kenedi, MPd, misalnya mengungkapkan pengalaman UM Kupang memberikan layanan yang sama kepada semua mahasiswa. Menurutnya, berlandaskan pada amanah pendidikan bahwa penerapan sistem lebih diprioritaskan pada misi pendidikan, sesuai UU Sisdiknas No. 20 Tentang Pendidikan dan PP Nomor 19 menjelaskan, masing-masing mahasiswa diberikan pelajaran agar sesuai kepercayaan yang dianutnya.
Namun di banyak tempat, para mahasiswa non muslim tetap diperkenankan jika ingin mengikuti perkuliahan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Guna memberikan pemahaman yang tepat, Majelis Diktilitbang dalam waktu dekat sedang menyusun buku ajar Kemuhammadiyah untuk non-Muslim. “Kemuhammadiyahan untuk non-Muslim sedang digodok oleh tim yang berpusat di Malang,” kata Muttaqin. Tim itu merupakan kerjasama tim Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang, perwakilan perumus Al-Islam dan Kemuhammadiyah, serta perwakilan dari Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah.
Buku itu dimaksusdkan supaya tidak ada proses indoktrinasi yang sifatnya memaksa. Hal itu dianggap tidak sesuai dengan spirit toleransi otentik yang dijalankan oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu, buku panduan ini akan disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek. “Kita harus mengemas dengan sebaik-baiknya,” ungkap Muttaqin.
Dosen UIN Sunan Kalijaga itu juga mengungkap bahwa selama ini, Islam dan khususnya Muhammadiyah sering terpojokkan seolah-olah anti toleransi dan bahkan cenderung dianggap konservatif. Padahal, dalam kesehariannya, Muhammadiyah dengan spirit Islam Berkemajuan justru sangat toleran. “Kita punya praktek toleransi otentik. Tapi kita tidak bisa mengkapitalisasi ini,” ujarnya. Sikap Muhammadiyah yang jarang berkampanye di media, kata Muttaqin, tidak berarti ormas ini tidak menganggap penting isu kerukunan dan keragaman. “Muhammadiyah telah selesai dengan urusan toleransi,” tuturnya. (Ribas)