JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan bahwa Indonesia merupakan wadah bagi segenap umat untuk menyemai nilai-nilai luhur ajaran agama. Bagi umat Islam, negara Pancasila seharusnya diisi dengan terus melakukan kerja menghasilkan karya nyata. Semua golongan tidak perlu lagi untuk mempertentangkan Pancasila sebagai dasar negara.
“Indonesia yang Negara Pancasila sejalan dengan Islam, serta umat Islam telah berkiprah menghasilkan pancasila, maka Indonesia dapat kita posisikan sebagai darussalam, sebagai negara yang damai dan tempat menyemai benih–benih Islam,” kata Haedar dalam pengajian bulanan PP Muhammadiyah dengan tema ‘Islam dan Indonesia: Mencari Format dan Strategi Baru’, Jumat (4/8) di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta.
Sesuai dengan hasil muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, Muhammadiyah menegaskan kembali bahwa Negara Pancasila sebagai ‘Darul Ahdi wa Syahadah’. Indonesia diposisikan sebagai sebuah konsensus bersama semua komponen bangsa. Sebagai negara hasil kesepakatan, Indonesia juga perlu diisi dengan persaksian. Semua pihak yang telah bersepakat perlu untuk membuktikan pengabdiannya kapada bangsa dan negara. Membangun bangsa Indonesia menjadi negara yang maju, berdaulat, adil, dan makmur. Mewujudkan negara yang ‘baldatun thaiyyibatun warabbun ghafur.’
“Itu yang saya sebut bahwa relasi Islam dan Indonesia dalam pandangan Muhammadiyah sudah selesai,” ulas Haedar. Antara keindonesiaan dan keislaman merupakan entitas yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Keduanya perlu mendapat perhatian sesuai dengan proporsi yang seimbang dan tepat.
Haedar mengakui bahwa dalam konteks dinamika politik dan kehidupan kebangsaan, selalu ada dialektika dan pasang surut bahkan problematika. Oleh karena itu, umat Islam termasuk Muhammadiyah kembali berhadapan dengan realita sosiologis, yang menjadikan keislaman dan keindonesiaan seakan tidak pernah selesai.
Penyebabnya antara lain, kata Haedar, adalah karena di tubuh umat Islam masih didominasi oleh paham ekstrem kanan dan kiri. Semisal pertentangan antara arus nasionalis dan sekular atau arus liberal dan konservatif. Seharusnya, Indonesia tegak di atas nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Di sisi lain, umat Islam sebagai komponen mayoritas, juga belum mendapatkan akses aspirasi yang proporsional. “Islam sebagai golongan mayoritas sampai saat ini masih merasa belum ada baju yang pas dalam berpolitik sehingga menimbulkan permasalahan yang tidak mudah diselesaikan,” urai Haedar.
Senada, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Yudi Latif, mengatakan bahwa pemunculan simbolisme keagamaan tidak selalu sejalan dengan spiritualitas suatu bangsa. Menurutnya, yang diperlukan bukanlah formalisasi agama dalam bentuk simbol-simbol, melainkan misi keagamaan itu harus ditransformasikan ke dalam etika dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang dinamakan dengan akhlak. “Seberapa jauh visi keislaman kita bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini yang saya rasa perlu dikuatkan lagi. Indonesia ini harusnya berkeadaban Islam,” kata Yudi Latif.
Dalam kesempatan itu, Ketua PP Muhammadiyah bidang Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri, Bahtiar Effendy menyebut bahwa pemerintah perlu konsisten dalam menjalankan roda kepemerintahan. Terutama bersikap adil dalam menyikapi kelompok yang ingin merusak tatanan kenegaraan. “Jika kita betul menerima pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai identitas bangsa Indonesia maka sesungguhnya tidak boleh ada gerakan maupun yang bertentangan dengan identitas kebangsaan itu,” ular Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu.
Sementara itu, Salahuddin Wahid yang juga menjadi pembicara dalam acara itu menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia perlu untuk terus melakukan beragam cara mengejar ketertinggalan. “Kita sadar ketertinggalan kita itu sudah sangat luar biasa dibanding negara-negara lain, bahkan umat yan lain. Namun kita telah melakukan upaya yang luar biasa untuk mengejar ketertinggalan itu dan akan memberikan dampak yang sangat positif bagi kemajuan umat islam,” papar tokoh NU yang kerap disapa Gus Solah. (Ribas/Foto:Faozan Amar)