Syafii Maarif: Muhammadiyah Sudah Membumi, Tapi Butuh Gerakan Ilmu

Syafii Maarif: Muhammadiyah Sudah Membumi, Tapi Butuh Gerakan Ilmu

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua Umum PP Muhammadiyah 1997-2005, Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa Persyarikatan Muhammadiyah selama ini sudah sangat membumi dalam perannya sebagai gerakan sosial. Namun, hal itu belum cukup. Muhammadiyah perlu untuk berpikir jauh ke depan. Langkahnya adalah dengan membumikan gerakan Ilmu.

Hal itu dikatakan Buya Syafii Maarif saat menerima kunjungan perwakilan organisasi kepemudaan dari Malaysia, di kantor redaksi Suara Muhammadiyah, pada Sabtu, 5 Agustus 2017. Mereka di antaranya terdiri dari perwakilan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Sekolah Pemikiran Asy-Syatibi, Himpunan Lepasan Institusi Pendidikan Malaysia (HALUAN), mahasiswa dari Universiti Sultan Azlan Shah (USAS) Perak, dan mahasiswa Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Negeri Sembilan. Sementara dari Suara Muhammadiyah diwakili oleh Pemimpin Umum Ahmad Syafii Maarif, redaktur pelaksana Mu’arif, anggota Pusat Data dan Litbang Lutfi Effendy, redaktur senior Asep Purnama Bahtiar, dan segenap jajaran redaktur dan reporter Suara Muhammadiyah.

“Selain gerakan sosial, pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah juga butuh gerakan ilmu. Dalam gerakan sosial, Muhammadiyah sudah sangat membumi,” kata Buya Syafii. Menurutnya, modal besar Muhammadiyah sebagai gerakan sosial yang memiliki struktur dan amal usaha dari pusat hingga ke cabang dan ranting, perlu untuk diberdayakan sebagai gerakan keilmuan.

Muhammadiyah, dianggap Buya Syafii, masih kurang dalam kerja-kerja intelektualitas. Masih banyak pekerjaan dan tugas kecendekiawanan yang perlu diemban oleh para kader Muhammadiyah. Termasuk, peran-peran dalam menyikapi carut-marut kondisi bangsa Indonesia.

Ketidakhadiran dalam gerakan ilmu ini menjadi masalah. Dalam banyak hal, umat beragama menjadi fanatik, meskipun menyatakan diri anti fanatik. Memprioritaskan gerakan ilmu, kata Buya, menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, kondisi dunia Arab yang sedang jatuh. Kedua, keadaan Indonesia yang tidak kunjung membaik. Ketiga, pengaruh misguided Arabism. “Ini persoalan besar,” katanya.

Terjerumusnya orang untuk selalu menganggap bahwa Islam selalu identik dengan Arab adalah juga karena kurang ilmu. Sehingga mereka menganggap perbuatan sebagian Arab sebagai representasi dari Islam. Puncaknya, adalah kemunculan ISIS hingga Boko Haram. “Saya tidak anti Arab. Arab yang bagus-bagus juga banyak,” ujar Buya.

Oleh karena itu, Buya Syafii mengajak para intelektual Muhammadiyah untuk berani melakukan pembaharuan sebagaimana semangat tajdid yang diusung Muhammadiyah. “Kita perlu rethinking. Perlu penafsiran ulang,” kata Buya, yang menyebut beberapa contoh, bahwa sebenarnya ada banyak penafsiran, termasuk yang bercampur dengan israiliyat justru diterima begitu saja oleh mayoritas muslim. Tanpa memahami konteks turunnya teks al-Qur’an dan hadis secara tepat.

“Al-Qur’an itu hudan linnas, hudan lil muttaqin (petunjuk bagi seluruh manusia, bagi orang-orang yang bertakwa). Itu sebagai moral,” katanya. Sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, maka Al-Qur’an bukan hanya berhak ditafsirkan oleh orang Arab. Tapi juga oleh semua manusia di berbagai belahan dunia. Termasuk di dunia Melayu dan Indonesia. Bagi intelektual di dunia Melayu, dibutuhkan kesungguhan mendalami paham dan pemikiran keislaman. Buya mengumpamakan, ‘jika ingin mendapatkan hasil, harus menyelam ke dasar lautan, bukan  hanya berenang di permukaan.’ Dilandasi dengan penguasaan bahasa Arab dan turas (tradisi pemikiran Islam tradisional) yang kuat dan kemudian dipadukan dengan tajdid.

Buya Syafii mengapresiasi salah satu tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka sebagai salah satu sosok yang berani untuk menafsirkan al-Qur’an secara berbeda. Terutama penafsiran ulang tentang ayat-ayat atau hadis yang selama ini sering ditafsirkan secara misoginis (bias terhadap perempuan). (Ribas)

Exit mobile version