Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, mengeluarkan kebijakan Pendidikan Karakter dengan Lima Hari Sekolah, terdapat Ormas Islam tertentu yang dengan terbuka menolak kebijakan tersebut. Jika hanya menolak atau mengeritisi wajar. Tetapi para aktivisnya terus melakukan serangan tendensius dan cenderung politis hingga memunculkan opini agar Mendikbud mundur dari jabatannya.
Di alam demokrasi sikap kontra terhadap kebijakan pemerintah merupakan hal yang lumrah. Tetapi perlu diketahui bahwa Mendikbud berasal dari Muhammadiyah, sesama dari organisasi Islam. Mendikbud sendiri jauh sebelum ini sebagaimana diberitakan secara langsung telah melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada pihak pengurus Ormas Islam tersebut, sebagaimana dilakukan kepada Majelis Ulama Indonesia. Pihak MUI memahami dan melalui Ketua Umumnya, KH Ma’ruf Amin bahkan menyampaikan dukungan.
Hal yang memprihatinkan ialah sikap politis dalam menyampaikan keberatan disertai dengan tuntutan mundur kepada Mendikbud. Dari politisasi tersebut terkuak bahwa betapa tidak mudah mewujudkan etika dan saling pemahaman sesama unsur kader dan organisasi Islam ketika menyangkut posisi di pemerintahan. Keberatan tidak cukup disertai argumentasi-argumentasi yang kuat dan dapat didialogkan, tetapi lebih condong pada mengedepankan sikap tidak toleran dan politis.
Padahal Muhammadiyah tidak melakukan hal yang sama ketika di dua kementerian yang kebetulan Menterinya berasal dari organisasi Islam tersebut. Selama dua periode ini, bahkan sebelumnya, pejabat-pejabat yang berasal dari Muhammadiyah mengalami marjinalisasi posisi hingga saat ini nyaris sulit ditemukan adanya orang Muhammadiyah di Kementerian Agama misalnya. Selain itu dalam hal pendirian Perguruan Tinggi swasta oleh Kemenristekdikti terdapat kritik, di satu pihak terkesan memudahkan idzin sementara untuk yang lain seakan dipersulit. Muhammadiyah dalam sejumlah hal mengalami kesulitan.
Muhammadiyah selama ini tampak diam dan tidak melakukan protes ke ruang publik untuk menjaga ukhuwah. Sikap diam Muhammadiyah tersebut menunjukkan kedewasaan tentu saja, tetapi selebihnya menyebabkan perlakukan kebijakan yang cenderung diskriminatif terus berjalan. Padahal Kementerian Negara itu merupakan instansi pemerintah alias milik negara dan bukan milik golongan. Kalau terjadi indikasi penyimpangan dalam kebijakan publik perlu dikritisi secara elegan karena institusi pemerintahan itu milik publik atau negara dan bukan milik satu golongan.
Jika di sejumlah tempat terdapat perguruan tinggi atau universitas yang tiba-tiba berdiri dan belum memiliki gedung atau sarana prasarana yang memadai dengan segala persyaratannya, sementara pada saat yang sama Muhammadiyah atau pihak swasta lain kesulitan memperoleh idzin padahal jauh lebih memenuhi persyaratan, maka saatnya dikritisi agar terdapat akuntabilitas publik. Bila perlu melibatkan Ombudsman agar diawasi secara objektif, seberapa jauh sebenarnya institusi pemerintah oleh pejabatnya tidak disalahgunakan dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan satu golongan.
Dalam konteks ukhuwah Islamiyah apa yang terjadi dalam hal penyikapan terhadap Mendikbud menyangkut kebijakan Lima Hari Sekolah dari Ormas Islam tertentu yang cenderung politis mengisyaratkan dengan jelas bahwa slogan ukhuwah Islamiyah sebagaimana selama ini digembar-gemborkan terbukti sekadar retorika indah di lisan minus bukti dan tindakan. Belum terbilang ketika menghadapi Pemilukada DKI Jakarta 2017. Ukhuwah Islamiyah ternyata lemah dan tidak teruji ketika menyangkut kepentingan diri sendiri. Kita ingin ukhuwah Islamiyah yang autentik, sekaligus instutusi negara benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kepentingan publik! (Red)