(Bagian ke-8)
Oleh: Imam Shamsi Ali*
Demikianlah pagi itu saya serasa tergesa-gesa menyampaikan kuliah umum. Di satu sisi banyak hal yang ingin saya sampaikan. Di sisi lain Mba Peggy Melati Sukma yang bersama saya selama perjalanan kali ini memberikan batas waktu, jika saya hanya punya waktu tidak lebih dari 20 menit menyampaikan materi. Hal itu karena acara selanjutnya di Semarang pagi itu segera dimulai pada pukul 11 pagi. Sehingga kami harus meninggalkan Universitas Wahid Hasyim minimal pukul 10 pagi. Alhamdulillah, terbiasa dengan penyampaian poin per poin, saya akhirnya berhasil menyampaikan beberapa poin yang saya anggap relevan dan penting pagi itu. Poin-poin itu telah saya tuliskan pada seri sebelumnya (ketujuh).
Poin terakhir yang saya sampaikan di kuliah umum di Universitas Wahid Hasyim pagi itu adalah bahwa dunia kita saat ini mengalami perubahan drastis yang sangat luar biasa. Perubahan ini menuntut kejelian umat untuk melakukan antisipasi yang relevan. Karena sesungguhnya di hadapan umat ini hanya ada dua pilihan. Menjadi penonton yang terkadang berpura-pura pintar menilai, terkadang senang, tapi juga terkadang marah dan kecewa. Atau sebaliknya ikut mengambil bagian menjadi pemain, sehingga ikut menentukan warna dunia kita ke depan. Dan yakinkah yang pertama menjadi pilihannya maka umat ini hanya akan menjadi korban perubahan dunia. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah menjadi bulan-bulanan atau mainan para pemain (aktor) dunia kita saat ini.
Situasi umat saat ini seolah pembuktian dari prediksi Rasul ketika mengetakan: “akan datang suatu masa di mana umat ini akan menjadi seperti busa di tengah lautan yang bergerak sesuai arah angin”. Umat saat ini memang bagaikan obyek yang tidak punya posisi (stand). Bergerak sesuai pergerakan kepentingan orang lain.
Salah satu bentuk perubahan besar dunia kita saat ini adalah terjadinya proses globalisasi yang dahsyat. Hal ini menjadikan semua manusia seolah hidup dalam sebuah perkampungan kecil (small village). Dunia yang seperti inilah yang dikenal sebagai dunia global. Dunia yang ditandai oleh miminal tiga karakter terpenting.
Pertama, kecepatan yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi khususnya di bidang transportasi dan telekomunukasi, segala sesuatu mengalami kecepatan yang maha dahsyat. Sebuah kejadian atau peristiwa di sebuah kampung terpencil di Indonesia akan diketahui oleh masyarakat di kota dunia New York dalam sekejap. Media sosial dalam berbagai bentuknya, facebook, twitter, IG, path, dan lain-lain menjadikan transfer informasi secepat kedipan mata.
Kedua, saling tergantung antara satu dan kainnya yang kuat. Hal ini dikenal dalam bahasa lain dengan “interdependence” atau juga “interconnectedness”. Kecepatan dunia transportasi dan telekomunikasi (informasi) dengan sendirinya menjadikan dunia kita, seperti yang saya sebutkan tadi, semakin menyempit. Batas-batas antar manusia atau kelompok manusia semakin menipis. Bahkan dengan keterbukaan media, khususnya media sosial, menjadikan batas-batas itu hampir tidak ada lagi. Dengan kata lain, dalam dunia yang seperti inilah sesungguhnya kita bagaikan hidup dalam sebuah rumah yang sama. Rumah kehidupan, rumah dunia kita bersama. Dan karenanya manusia menjadi saling terikat dan tergantung antara satu dan lainnya.
Ketiga, persaingan yang super ketat. Keterbukaan hidup manusia menjadikan manusia membuka mata akan setiap kejadian pada manusia lainnya. Dan karenanya kegagalan, atau sebaliknya keberhasilan sesama manusia di sekitarnya menjadi sesuatu yang seolah menyentuh semua manusia. Kemajuan sebuah negara seringkali menjadi keresahan negara yang lain. Dan karenanya setiap negara berusaha menjadi negara yang paling kuat, paling besar. Persaingan inilah yang kerap kali menjadikan manusia di saat kehilangan etika dan moralitas menjadi buas. Perhatikan kehidupan dunia kita dalam segala lini kehidupan saat ini. Manusia lemah menjadi mangsa bagi mereka yang kuat.
Ketiga karakteristik dunia global ini bukanlah sesuatu yang baru, apalagi asing dalam ajaran Islam. Semuanya sudah menjadi bagian mendasar dari ajaran ini sejak awal kedatangan risalah Islam.
Ayat-ayat Al-Quran penuh dengan perintah bergegas, bercepat, dan menjadi pemenang. Ayat Al-Quran seperti: “dan bergegaslah kamu semua kepada ampuan Tuhanmu dan kepada syurga, yang luasnya seluas langit dan bumi yang dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa” (Ali Imran).
Atau ayat: “dan untuk itu (kebaikan) hendaknya orang-orang yang berlomba saling berlomba (untuk menang)”.
Salah satu hal terpenting dari karakter cepat ini adalah kecepatan dalam menangkap peluang dunia global. Mungkin sebagai contoh saja, betapa umat ini sering kalah cepat dalam menangkap peluang itu. Bahkan di kandang sendiri. Bangsa China menangkap cepat bahwa Mekah menjadi pusat kunjungan berjuta-juta manusia sepanjang tahunnya. Instink ekonomi mereka bergerak cepat. Merekapun memproduksi kebutuhan-kebutuhan pengunjung itu, bahkan yang bernuansa agama. Termasuk di antaranya tasbih, sajadah, bahkan ada informasi mereka akan mencetak Al-Quran dan dipasarkan di Mekah. Inilah kecepatan dunia global yang merasuki jantung dunia Islam sekalipun.
Ayat-ayat yang memerintahkan umat ini untuk bangkit dan mampu bersaing juga bukan baru dan asing. Perintah “berlomba dalam kebaikan” sekaligus perintah untuk siap bersaing dalam kebaikan (dalan membangun peradaban). Hanya saja persaingan orang-orang yang beriman itu adalah persaingan yang beradab. Persaingan yang dibangun di atas nilai-nilai kebenaran dan etika. Sehingga pada akhirnya persaingan itu tidak pernah dengan “cara” maupun untuk “tujuan” negatif. Kemenangan orang-orang beriman itu tidak dimaksudkan sebagai “kebahagiaan di atas penderitaan orang lain”. Kemenangan orang-orang beriman itu hakekatnya adalah kemenangan untuk semua. Karena sejatinya Islam adalah “rahmatan lil-alamin”.
Demikian pula ayat-ayat tentang saling ketergantungan (interconnectedness) antar manusia dalam Al-Quran juga bukan hal baru. Perintah “saling mengenal” (ta’aruf) dalam rangka “saling memahami” (tafahum), demi terwujudnya “saling menghormati” menuju kepada terwujudnya “saling kerjasama” (ta’awun) merupakan kristalisasi dari karakter dunia global ini. Bahwa dalam dunia global saat ini tiada satu orang atau satu kelompok manusia yang bisa hidup tanpa orang lain di sekitarnya. Dan ini pula karakter dasar kehidupan jama’i dalam Islam menuju kepada terbangunnya ketakwaan kolektif. Ketakwaan kolektif inilah yang didefenisikan dalam Al-Quran sebagai: “baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafuur”.
Atas pertimbangan di atas itulah Nusantara Foundation dan Universitas Wahid Hasyim menanda tangani MOU, rencana kerjasama dalam bidang pendidikan dan dakwah. Tujuan terutama adalah menyambut realita globalisasi dan kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia harus mampu menampilkan Islam yang otentik. Islam yang didefenisikan oleh pemeluknya berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, melalui karakter kemanusiaan Nusantara yang tersenyum.
Kesadaran tanggung jawab besar inilah sesungguhnya yang saya sadari bahwa eksistensi pejuang dakwah di Amerika menjadi sebuah tanggung jawab besar. Bagaimanapun juga Amerika adalah negara adi daya dengan sayap nenebar di seluruh penjuru dunia. Amerika menjadi pusat perhatian dunia, baik dalam hal-hal positif dan juga negatif. Amerika mampu memberikan warna kepada dunia sesuai keinginannya. Dan karenanya kami komunitas Muslim harus menjadi bagian dari Amerika di dalam proses mewarnai dunia itu. Apapagi menyadari bahwa usaha dakwah global ini memang dirintis dari kota New York, ibu kota dunia. Tidaklah berlebihan sebagaimana sering saya sampaikan di mana-mana bahwa sesuatu yang kecil dari kota New York akan berdampak besar di mana-mana.
Sebelum acara dimulai, ada satu hal lain yang menarik perhatian saya pagi itu. Pernyataan rektor Universitas Wahid Hasyim bahwa hingga saat ini belum ada koleksi bukti-bukti sejarah masuknya Islam di Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Padahal Nusantara ini boleh jadi memberikan kejutan-kejutan sejarah agama dunia. Dan karenanya menjadi sangat vital untuk mendokumentasikan sejarah Islam di Nusantara ini.
Mendengar itu saya teringat Amerika. Betapa Amerika menghormati setiap langkah perjalananan sejarah bangsanya. Dan dari kepedulian sejarah itulah Amerika terkadang mampu membentuk opini manusia, mengarahkan warna mind-set manusia dalam melihat bangsa itu. Ambillah sebagai misal, peristiw 9/11. Saat ini di Ground Zero dibangun dokumentasi sejarah dalam bentuk museum WTC. Dan karenanya lokasi peristiwa itu menjadi sebuah catatan sejarah penting dalam perjalanan bangsa Amrika. Bahkan saat ini menjadi destinasi turisme terpenting di New York, bahkan di Amerika.
Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Bagaimana dengan umat Islam Indonesia? Ingat, mereka yang peduli sejarah akan menentukan warna perjalanan bangsa ke depan. Khawatirnya peranan umat Islam dalam proses kemerdekaan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaab itu dikesampingkan oleh dunia karena terjadi pengaburan sejarah. Bahkan lebih tragis lagi seringkali peranan umat terkuburkan, bahkan terbalik seolah menjadi oposisi bagi negara dan bangsa karena pembalikan sejarah itu. Semoga saja tidak.
Acara di Universitas Wahid Hasyim itu singkat, padat tapi berkualitas. Penyambutan yang luar biasa, dan semangat mendengarkan paparan tentang dakwah di Amerika juga sangat luar biasa. Saya pun meninggalkan kampus itu dengan hati riang.
Bisnis itu berkah
Acara saya selanjutnya adalah pengajian di sebuah rumah seorang pengusaha muda yang sukses di Semarang. Pak Budi, demikian beliau dipanggil adalah seorang pengusaha multi bidang di kota ini. Dari real state, hingga ke pompa bensin menjadi ladang usaha beliau. Isteri beliau juga adalah seorang dokter gigi dengan sebelas klinik di Semarang.
Pak Budilah sesungguhnya yang menfasilitasi perjalanan kami selama di Semarang. Bahkan seperti yang disebutkan sebelumnya beliau bahkan mengirimkan dua mobil ke bandara untuk menjemput. Padahal universitas Wahid Hasyim telah juga menyiapkan penjemputannya.
Paparan saya siang itu masih seputar “halal bihalal” dan bagaimana seharusnya puasa membawa dampak positif dalam kehidupan manusia. Bahwa ibadah puasa jangan sampai sekedar rutinitas tahunan yang hampa. Perayaan demi perayaan di akhir Ramadan (Idul Fitri) jangan sampai menjadi sekedar tradisi tahunan yang hampa dari nilai positif dalam hidup.
Karena acara itu juga menjadi bagian dari peluncuran buku kami (ditulis bersama Mba Peggy Melati) “Kuketuk hati dari kota judi”, maka saya juga banyak berbicara tentang perkembangan Islam dan dakwah di Amerika. Singkatnya saya sampaikan cerita-cerita tentang dakwah, manis pahitnya, hingga kepada perjuangan para muallaf di Amerika. Saya ceramah hari itu dengan menyampaikan keanehan yang terjadi. Bahwa di Amerika, bahkan dunia saat ini terjadi paradoks yang nyata. Islam diobok-obok, dibenci, disalah pahami, tapi Islam juga menjadi agama dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Semakin ditekan Islam itu semakin bangkit.
Oleh karenanya, umat jangan terlalu peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Karena upaya dan prilaku buruk itu secara alami berjalan di samping upaya dan prilaku kebaikan. Di mana ada malaikat, di situ ada syetannya. Tapi percayalah syetan-syetan itu akan berputus asa dari hamba-hamba yang pada dirinya tumbuh bara iman dan ketakwaan.
Demikianlah hari itu saya berpindah dari satu acara ke acara lainnya. Hitung-hitung dari pagi hingga malam saya memberikan ceramah di lima tempat. Santainya adalah karena rata-rata di setiap tempat itu tema yang diinginkan oleh jamaah adalah cerita-cerita ringan dari perjalanan dakwah dan perkembangan Islam di Amerika.
Dan saya bersyukur bisa ketemu dan kenalan dengan pak Budi. Sosok pebisnis yang insya Allah mendekati karakter “rijaalun laa tulhiihim tijaaratun wa laa bae’un an dzikrillah” (orang-orang yang tidak dijadikan lupa oleh bisnis dan transaksi dunia dari mengingat Allah”. Saya belajar bahwa dunia bukanlah musuh. Mencari dunia bukan pula alasan untuk lupa mengingat Allah dan agama. Justeru kepemilikan dunia bisa menjadi jembatan yang solid dalam perburuan menuju syurgaNya.
Satu lagi cerita menarik sekaligus mengusik hati saya di hari pertama di Semarang. Di sebuah acara saya bertemu dengan seseorang yang menurutnya adalah salah seorang yang menjadi penanggung jawab undangan seorang ustadz ke Semarang beberapa hari sebelumnya. Intinya beliau mengeluhkan penolakan ustadz tersebut oleh sekelompok tertentu di Semarang.
Menanggapi itu saya tidak banyak komentar. Selain karena saya tidak tahu persis apa dan bagaimana di balik dari peristiwa itu. Juga karena khawatir memberikan komentar tanpa informasi yang tuntas justeru hanya semakin memperkeruh suasana. Saya hanya menitipkan pesan singkat: “Ukhuwah Islamiyah dalam tatanan ukhuwah wathoniyah, bahkan ukhuwah basyariyah” seharusnya tetap dijaga. Sebagai umat Islam kita percaya bahwa tuntunan kita dalam beragama adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Tapi sebagai bangsa Indonesia pijakan kehidupan berbangsa kita adalah Pancasila dan UUD 45. Kedua tuntunan itu tidak perlu dipertentangkan karena senyawa dan sejalan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Yang justeru perlu dikhawatirkan adalah upaya-upaya menjauhkan bangsa Indonesia dari agama (agama apa saja). Karena jika itu terjadi maka itulah bentuk destruksi dan pengkhianatan nyata kepada dasar negara, Pancasila, bahkan negara dan bangsa itu sendiri. Bukankah dasar pertama dari falsafah negara dan bangsa adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nusantara dan agama itu bagaikan jasad dan nyawa. Karenanya tanpa agama Nusantara itu mengalami mati suri. Pembangunan fisik tanpa agama (jiwa) itu tidak sejalan dengan semangat dasar negara. Dan karenanya sejarah Nusantara dari dulu selalu identik dengan kerajaan keagamaan. Sisa-sisa sejarah itu tetap terjaga hingga kini. Candi Borobudur, Prambanan, dan lain-lain menjadi saksi sejarah yang masih hidup.
Maka secara khusus kepada umat Islam, selama masih merujuk kepada kedua sumber agama Islam tadi (Al-Quran dan As-Sunnah) dalam beragama, dan konsisten dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai pijakan dalam berbangsa dan bernegara, tidak ada alasan untuk merusak kesatuan dan ukhuwah itu.
Akhirnya, hendaknya pula disadari bahwa kemungkinan yang sering terjadi adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran dalam memahami keduanya. Baik dalam memahami makna Islam, maupun makna Pancasila sebagai dasar negara. Dan karenanya proses komunikasi menjadi penting untuk terus menerus dibangun. Semoga!
Malam itu kami istirahat pulas. Selain karena memang kurang tidur malam sebelumnya, juga karena aktifitas seharian yang cukup menguras energi. Selain itu karena keesokan subuh harinya kami akan melakukan perjalanan keluar dari kota Semarang ke kota Pati. (Bersambung)
New York, 9 Agustus 2017
* Presiden Nusantara Foundation