‘Nasionalisme Bukan Sebatas Slogan, Tetapi Harus Dimaknai dan Difungsikan sebagai Energi Positif’

‘Nasionalisme Bukan Sebatas Slogan, Tetapi Harus Dimaknai dan Difungsikan sebagai Energi Positif’

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan bahwa sikap nasionalisme tidak berhenti sebagai sebuah slogan cinta tanah air yang begitu mudah untuk diucapkan. Namun lebih dari itu, jiwa nasionalisme harus dibuktikan dengan pemaknaan sebagai energi positif dalam membangun bangsa secara dinamis dan transformatif.

“Nasionalisme bukanlah doktrin mati sebatas slogan cinta tanah air, tetapi harus dimaknai dan difungsikan sebagai energi positif untuk membangun Indonesia secara dinamis dan transformasif, dalam mewujudkan cita-cita nasional di tengah badai masalah dan tantangan zaman,” tutur Haedar.

Menurutnya, cita-cita nasional dan falsafah bangsa yang ideal itu, perlu ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain. Dalam bahasa Al-Qur’an, cita-cita itu adalah untuk menuju “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur.”

Haedar mengingatkan bahwa paham nasionalisme serta segala bentuk pemikiran dan usaha yang dikembangkan dalam membangun Indonesia, haruslah berada dalam kerangka negara-bangsa dan diproyeksikan secara dinamis untuk terwujudnya cita-cita nasional yang luhur itu. Perlu digarisbawahi, bahwa dalam proses pembentukan negara Indonesia yang Muhammadiyah terlibat di dalamnya, selain menentukan cita-cita nasional, juga menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila.

Oleh karena itu, hari ini negara perlu waspada atas segala bentuk upaya kalangan tertentu yang ingin membawa Indonesia menjauh dari cita-cita nasional dan kepribadian bangsa yang luhur. “Bukan hanya separatisme yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, tetapi juga bentuk penyelewengan dalam mengurus negara. Di antaranya korupsi, kolusi, nepotisme, penjualan aset-aset negara, perusakan sumber daya alam dan lingkungan,” ulasnya.

Selain itu, kata Haedar, perilaku pengingkaran terhadap cita-cita kemerdekaan bisa berupa penindasan terhadap rakyat, otoritanisme, pelanggaran hak asasi manusia, tunduk pada kekuasaan asing, serta berbagai tindakan yang merugikan hajat hidup bangsa dan negara. “Hal itu merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita nasional,” tegasnya.

Haedar juga sempat menyinggung peranan Muhammadiyah sejak awal. Muhammadiyah ikut serta dalam barisan perjuangan kemerdekaan. “Muhammadiyah terlibat aktif dalam peletakan dan penentuan fondasi negara-bangsa,” katanya. Salah seorang tokoh Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, misalnya, berperan dalam perubahan bunyi sila pertama Pancasila. Ki Bagus tidak memaksakan NKRI menjadi negara syariat, Indonesia tetap berazaskan Pancasila yang bisa mempersatukan semua. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan konsensus nasional yang mengikat seluruh komponen bangsa.

Dalam pandangan Muhammadiyah, Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 bisa menjadi dasar filosofi dan sekaligus pedoman perekat dan pemersatu bangsa, dalam satu Pancasila. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Ribas)

Exit mobile version