YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Guru Besar Antropologi pada Kangwon National University Korea Selatan, Hyung-Jun Kim menemukan fakta unik tentang tradisi demokrasi dalam Muhammadiyah. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dinilai sebagai salah satu organisasi paling demokratis dan berbeda dengan banyak organisasi keagamaan lainnya. Dari Muhammadiyah, Kim menemukan fakta bahwa antara demokrasi dan Islam sebenarnya bisa sejalan.
Di Muhammadiyah, kata Kim tidak ditemukan pengkultusan pada sosok tertentu. Pun pimpinan di Muhammadiyah tidak terlalu dimunculkan sikap kharisma yang berlebihan. Kim menemukan fakta ini setelah mengikuti serangkaian peristiwa penting di Muhammadiyah. Mulai dari muktamar ke muktamar hingga ketika ada peristiwa semacam Pemilihan Presiden yang melibatkan tokoh Muhammadiyah pada tahun 2004.
Temuan menarik Hyun Jun Kim tentang tradisi demokrasi di Muhammadiyah ini didasarkan pada empat unsur. Pertama, sistem pemilihan pemimpin di Muhammadiyah sangat terbuka dan demokratis. Sejak awal, Muhammadiyah telah menerapkan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial. “Pemilihan semacam ini menghindari otoritas pada satu orang tertentu,” katanya dalam sebuah diskusi di ruang redaksi Suara Muhammadiyah pada Sabtu, 12 Agustus 2017. Meskipun demokrasi identik dengan sistem Barat, kata Kim, Muhammadiyah mampu memberi warna dan corak yang Islami.
Kedua, cara merumuskan suatu keputusan. Menurutnya, musyawarah dalam tradisi Muhammadiyah terjadi secara alami dan sangat teratur. “Semua orang punya hak (bicara) yang sama. Semua equal dalam mengeluarkan opini,” ujarnya. Selama empat bulan, Kim mengikuti rapat rutin PWM DIY dan menemukan fakta itu. Bahkan ketika ada opini yang berbeda, maka akan dicari jalan tengah sebagai solusi kompromi. Di Muhammadiyah, kata Kim selalu ada dua arus besar. Namun, semua itu berhenti dengan kompromi dan ini menjadi penyeimbang di Muhammadiyah.
Ketiga, sistem otonomi dan hierarkis yang unik. Kim mencontohkan tatacara pengelolaan AUM. AUM dibangun secara swadaya dan diberi nama Muhammadiyah. Setelah AUM tumbuh, justru pimpinan Muhammadiyah meminta sumbangan dari AUM. Sementara yang menunjuk pimpinan AUM adalah pimpinan Muhammadiyah, baik PCM, PDM, maupun PWM. “Orang mengelola AUM Muhammadiyah ini aneh sekali,” tuturnya. Namun, justru sistem ini menjadikan Muhammadiyah kondusif dan terhindar dari penyalahgunaan wewenang. Di antaranya karena dana Muhammadiyah tidak terhimpun di pusat dan orang tertentu.
Keempat, sikap egaliter. Semua menganggap orang lain sebagai kawan. Kim sering menemui pimpinan Muhammadiyah bergaul sangat akrab dengan sopir dan tukang sapu. Demikian halnya hubungan antar pimpinan dan anggota Muhammadiyah juga sangat tidak berjarak. Sikap egaliter ini sangat Islami. Bahwa yang membedakan manusia di sisi Tuhan adalah ketaqwaan. (Ribas)