YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Bagi sebagian warga Yogyakarta, keseharian Buya Syafii Maarif dianggap biasa. Kondisi Jogja sebagai kota dengan segala kesederhanaan dan keistimewaannya kerap menampilkan sudut-sudut berbeda. Pantas saja jika seorang seniman pernah berkata, pergi ke Jogja adalah salah satu cara melepas kepenatan di Jakarta.
Tidak banyak memang orang yang bisa memilih jalan hidup keserhanaan. Terlebih di tengah godaan dan gempuran hidup hedonis belakangan ini. Demikian juga dengan orang yang sudah mendapat kedudukan dan jabatan mentereng terlebih berada di usia senja, biasanya meminta untuk diperlakukan lebih. Diminta maupun tidak, orang-orang di sekitarnya pun harus sudah paham dengan keperluan orang tua atau kalangan lanjut usia ini. Sepatutnya diperlakukan lebih istimewa atas dasar norma dan etika.
Gaya berbeda tercermin dalam diri Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah 1997-2005, Ahmad Syafii Maarif, yang juga menjabat sebagai Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP). Dengan jabatan ini, siapapun seharusnya mendapatkan privilege dalam menjalankan tugasnya. Namun, semua itu tidak berlaku bagi Buya Syafii. Tokoh kelahiran Sumpur Kudus ini memang sangat membenci budaya feodal.
Perilaku semacam ini sering ditemui pada diri Pimpinan Muhammadiyah, organisasi yang terbilang kaya. Pak AR Fachruddin misalnya, juga dikenal dengan kesederhaan dan kesahajaannya. Sehari-hari, Pak AR berjualan bensin eceran. Ke mana-mana hanya mengenderai motor butut dan bahkan tidak pernah memiliki rumah hingga wafatnya. Padahal, tawaran tahta dan harta berlebih, datang bertubi-tubi, termasuk dari presiden Soeharto.
Belakangan beredar foto Buya Syafii Maarif yang menjadi viral di media sosial. Foto yang diunggah netizen memperlihatkan Syafii Maarif sedang duduk menunggu KRL di stasiun. Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang pria di sebelahnya, tampak juga tiga pelajar dalam sebangku itu. Langit masih terlihat gelap. Tujuan perjalanan Buya Syafii adalah Istana Bogor. Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz mengisahkan bahwa sehari sebelumnya, Buya menolak untuk diantar-jemput menggunakan mobil Maarif Institute. Buya justru memilih angkutan umum, meski harus berdesakan dan berangkat di pagi buta.
Sebuah foto lain menampilkan Buya Syafii Maarif mengenakan kemeja batik lengan panjang duduk dalam KRL dengan kedua tangannya yang ditopang tongkat hitam, ia tampak diapit lelaki yang tertidur dan seorang lagi yang kelihatannya tak menyadari jati diri pria tua berusia 82 tahun di sebelahnya itu.
Bukan kali ini saja, beberapa waktu yang lalu, foto Buya Syafii bersepeda dengan menenteng kresek putih berisi buku juga sempat ramai. Saat itu, Buya Syafii sedang menuju ke suatu acara seminar. Kebiasaan bersepeda ini sudah lumrah dilakukan Buya saban hari. Demikian juga dengan aktivitas menyetir mobil sendiri.
Cerita lainnya, salah seorang pengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Erik Tauvani sering membersamai Buya Syafii dalam berbagai perjalanan dengan kereta api. Sebabnya, Buya Syafii menjadi tim ketua pembangunan gedung baru madrasah almamaternya itu. Erik mengaku selalu mendapat keteladanan dalam setiap perjalanan. Misalkan saja, Buya Syafii langsung shalat di kereta api atau di mobil begitu azan berkumandang. Bagi Buya Syafii, shalat tetap yang utama, meskipun dalam perjalanan. Jika sedang tidak bepergian, Buya akan ditemui di barisan jamaah shalat di Masjid Perum Nogotirto.
Pernah juga, Erik mendapati Buya Syafii sedang asyik makan dan bercengkrama di sebuah angkringan di dekat rumahnya. Buya ketika itu sempat membagikan goresan yang dibelinya di angkringan itu kepada para rombongan Erik. Buya Syafii tidak sungkan untuk bergaul dengan semua kalangan. Mulai dari para elit bangsa, pengusaha, penguasa, mahasiswa, pemuda, hingga rakyat biasa. (Ribas)