(Bagian 9)
Oleh: Imam Shamsi Ali*
Keesokan subuh harinya kami dijemput di penginapan untuk berangkat menuju kota Pati. Perjalanan ke Pati memakan waktu sekitar 2.5 jam dari kota Semarang. Pagi itu terasa segar karena malamnya memang tertidur pulas, sebagai balasan kelelahan hari sebelumnya. Yang sangat terasa kurang, dan ini selama dalam perjanan keliling ke beberapa daerah, adalah olah badan atau olah raga. Hal ini terasa karena sejujurnya kalori yang masuk ke badan ini sangat melebihi dari kebutuhan sewajarnya. Di satu sisi ini adalah salah satu keistimewaan dan keutamaan Indonesia dibanding negara-negara lain. Makanan yang berlimpah, dan secara rasa (taste) sangat kompetitif dengan makanan negara mana saja. Yang memang selalu menggelitik sensitivitas nasionalisme saya adalah kenapa makanan-makanan Indonesia belum “go international” sebagaimana makanan negara-negara lain?
Sebagai putra bangsa yang hidup di kota dunia, New York, saya dapat melihat dan merasakan berbagai ragam makanan dari berbagai belahan dunia. Dari China, Jepang, Korea, hingga ke Hispanic, Timur Tengah dan Afrika. Restoran-restoran dengan makanan khas kebangsaan atau etnis negara lain itu bertebaran di mana-mana. Bahkan dari sesama negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, bahkan Kamboja dan Vietnam berkembang luar biasa.
Pertanyaannya kenapa restoran-restoran Indonesia masih sangat sedikit. Kalau pun ada di beberapa kota Amerika, di New York misalnya, hanya segelintir dan juga kecil dan terbatas. Belumlah dapat dikategerikan sebagai restoran yang membanggakan bangsa dan negara, serta mewakili kekhasan makanan-makanan Nusantara.
Sejujurnya hal ini hanya satu dari sekian banyak hal yang selama ini cukup menjadikan saya “galau” sebagai putra bangsa. Betapa tidak, sekali lagi, kebesaran nama Nusantara belum terimbangi oleh keharuman namanya di luar negeri. Padahal sejarah mencatat Nusantara adalah pusat peradaban, dengan kerajaan-kerjaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit yang berpusat di Jawa dan melebar hingga ke berbagai belahan negara yang sekarang dikenal sebagai ASEAN.
Nama Nusantara (Indonesia) di Amerika Serikat demikian juga adanya. Bahkan menggelikan di saat warga Amerika terkadang lebih mengenal Bali dari Indonesia sendiri. Cerita yang sering saya sampaikan adalah beberapa kali saya memberikan presentasi Islam di berbagai universitas Amerika. Ketika saya memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia, umumnya mahasiswa itu akan diam. Tapi ketika saya bertanya: “do you know Bali?”. Serentak semua menjawab “yes”. Artinya seolah Indonesia itu hanya bagian dari Balik.
Dari masa ke masa kegalauan itu semakin besar. Apa yang salah kenapa negeri dan bangsa besar ini tidak terlalu dikenal? Kurang menarikkah kecantikan alamnya? Kurang cerdaskah orang-orangnya? Kurang luaskah daerahnya? Kurang besarkah dalam sejarahnya?
Ternyata tidak demikian. Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, alam Indonesia adalah termasuk terindah di dunia. Keluasan geografis luar biasa dengan posisi yang sangat strategis. Manusianya cerdas dan memiliki karakter yang membanggakan (seharusnya), serta sejarah masa masa lalu.
Tapi hingga saat ini saya belum menemukan jawaban itu. Sehingga sejujurnya ini pulalah yang mandasari kenapa saya memberikan nama Nusantara untuk yayasan yang saya dirikan sekitar 4 tahun lalu di Amerika. Harapan saya semoga nama itu dapat memberikan kontribusi positif dalam mengenalkan nama Nusantara di negara adi daya ini.
Kembali kepada perjalanan pagi itu dari Semarang menuju Pati. Sungguh saya bahagia dan gembira karena melewati sebuah kota yang cukup masyhur sejak saya kecil. Kota yang dikenal dengan nama “Kudus”. Kata ini sangat terngiang di telinga karena banyak hal. Salah satunya karena di kota inilah diproduksi rokok kretek terkenal, Jarum. Dan pemilik Jarum ini sekaligus adalah salah seorang warga Indonesia terkaya di negeri ini.
Tapi sebenarnya yang paling menggembirakan saya adalah bahwa sejarah Islam Nusantara tidak bisa terpisahkan dari kota ini. Bagaimana pun juga di kota inilah terletak masjid Walisongo, dan yang paling terkenal adalah Sunan Kudus. Bagi saya, mengunjungi kota Walisongo ini sangat menginspirasi karena perjuangan dakwah mereka sangat relevan dengan langkah-langlah perjuangan kami di Amerika Serikat. Bahwa menyampaikan Islam itu akan lebih tepat melalui karakter dan prilaku sosial kemanusiaan kita. Karena sejatinya Islam atau agama secara keseluruhan memang hadir untuk membentuk karakter mulia manusia. “Innama bu’itstu li itammima makaarima akhlaq” titah baginda Rasulullah SAW.
Hal lain yang menjadikan saya bahagia berkunjung ke kota ini karena ternyata nama Kudus itu memang ada kaitannya dengan nama kota Al-Quds (Jerusalem) di Palestina. Penamaan kota ini diberikan oleh salah seorang pelatih militer yang diundang oleh raja Jawa ketika itu untuk melatih tentara Jawa dalam peperangan. Karena orang itu adalah Muslim asal Syam atau tepatnya Jerusalem maka kota di Jawa itu di dinamai olehnya dengan kota “Kudus” (Al-Quds) sebagaimana kota Palestina itu.
Semua ini menjadi kebanggan tersendiri bagi saya di saat berkesempatan mengunjungi kota Walisongo itu. Sekaligus secara tidak langsung menjadi pengingat akan tanggung jawab besar dalam melanjutkan “legacy” (amanah) Walisongo ke seluruh penjuru dunia. Amanah langit yang dipikul oleh kesadaran bumi Nusantara akan menjadi lentera kehidupan seluruh alam. Islam adalah ajaran kemanusiaan yang berasas “kasih sayang” (rahmah). Dan karenanya misi menyampaikan risalah Islam bukan bertujuan “konversi” karena itu bukan jangkauan tugas manusia. Tapi bertujuan menebarkan “kebajikan universal” sebagai aktualisasi dari ajaran Islam yang “rahmatan lil-alamin” itu.
Eksistensi Nusantara itu sendiri sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia menjadi saksi hidup akan ajaran Islam yang seperti itu. Islam hadir dengan damai, membawa damai, dan menyokong kedamaian di antara manusia. Itulah yang menjadikannya berkembang tanpa mengusik orang lain, apalagi merusak keyakinan mereka. Candi Prambanan dan Borobudur menjadi saksi akan kasih sayang risalah Islam itu.
Semangat seperti inilah yang kami bawa di Amerika Serikat. Bahwa Islam bukan datang untuk merusak atau mengambil yang sudah baik. Tapi datang untuk menyempurnakan hal-hal yang telah baik. Atau dalam bahasa hadits disebutkan: “li utammima” (menyempurnakan). Tentu hal ini sekaligus mengingatkan bahwa saat ini dilemma besar dakwah ada pada metode penyampaiannya. Kerap kali dakwah yang harusnya beresensi “ajakan” justeru berbalik menjadi “pengusiran” karena metode yang tidak tepat.
Dalam dunia di mana Islam dipersepsikan sebagai agama yang menakutkan, bahkan seolah menjadi sumber segala kejahatan dunia. Dari terorisme, konflik dan peperangan, kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, hingga kepada kezaliman terhadap minoritas dan HAM. Islam yang berkarakter Nusantara dan penyampaian Islam dengan merode Walisongo menjadi sebuah tuntutan.
Sehingga tidak mengherankan jika harapan dunia kepada Indonesi itu besar. Pertanyaan yang kerap saya dengarkan: kenapa Muslim Indonesia tidak tampil? Mungkin masanya kita respon bersama. Bahwa bangsa ini punya kewajiban agama dan moral, bahkan menjadi amanah sejarah bangsa, untuk bangkit menampilkan Islam yang dirindukan dunia. Islam yang berkarakter Nusantara, tersenyum ramah, merangkul dengan kasih sayang, serta mampu mengajukan alternatif dari wajah Islam yang saat ini mendominasi dunia. (Bersambung)
* Presiden Nusantara Foundation