SURAKARTA, Suara Muhammadiyah-Setelah menempuh satu jam perjalanan dari Yogyakarta, kami menepi di depan sebuah gedung nan megah di Jalan Ahmad Yani, kawasan Pabelan, Surakarta. Terpampang nama besar di depannya, bertuliskan dengan huruf kapital berwarna putih, ‘Universitas Muhammadiyah Surakarta’. Sementara satu-satunya bangunan berlantai tujuh di kompleks ini diberi nama ‘Gedung Induk Siti Walidah UMS’. Bangunan ini bersebelahan dengan Rumah Sakit Islam Yarsis dan berhadapan dengan Rumah Sakit Universitas Negeri Surakarta.
Keluar dari ruang parkir, atrium dan lobi utama dengan gaya arsitektur unik akan menyambut siapapun dengan pemandangan menyejukkan. Keramahan ini diperuntukkan untuk semua, sebagai ruang publik inklusif. Tampak di sisi kiri, jalan khusus kursi roda bagi kalangan disabilitas. Kami melangkah melewati atrium utama, puluhan mahasiswa terlihat nyaman bersantai ria, berdiskusi atau sekedar bercengkrama.
Rombongan kami dari Suara Muhammadiyah yang berjumlah tiga orang ditambah Guru Besar Antropologi pada Kangwon National University Korea Selatan, Prof Hyung-Jun Kim memenuhi hajatan dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB PS) UMS. Pelaksanaan acara yang dilangsungkan di lantai tujuh membuat kami lebih leluasa mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Gedung ini disematkan teknologi modern, menggunakan lift, lampu led dan sistem AC yang hemat energi. Kaca gedung yang digunakan juga mampu menghalau panas dan radiasi matahari. Buah karya civitas akademika UMS ini membentuk simbol matahari dengan 12 sinar, yang merupakan logo Muhammadiyah. Inilah salah satu karya Muhammadiyah yang diresmikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada akhir September 2016 lalu.
“Menurut saya, Muhammadiyah itu organisasi yang cukup besar. Saya sering bicara ke orang Muhammadiyah, kamu harus bangga dengan organisasimu.” Kalimat itu diutarakan Prof Hyun-Jun Kim yang menjadi pembicara utama dalam kegiatan bedah buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban karya penggiat di PSB PS UMS, Azaki Khoirudin dan Zakiyudin Baidhawi, pada Sabtu, 19 Agustus 2017 itu.
Pernyataan Kim sebagai seorang peneliti outsider di satu sisi menjadi penyemangat untuk para aktivis Muhammadiyah. Kim misalnya menemukan banyak hal positif di Muhammadiyah. Termasuk salah satunya dalam hal tradisi demokrasi. “Saya tidak pernah sebelumnya menemukan organisasi agama di dunia yang mengelola demokrasi dengan baik,” kata Kim.
Di sisi lain, Kim mengingatkan supaya Muhammadiyah tidak terlena dengan capaian yang ada. Menurutnya, banyak hal yang mesti diperbaharui dan dikiritisi guna meningkatkan kualitas diri. Dalam membangun otokritik, tentu harus dengan landasan yang kuat. Buku ini dianggap Kim bisa menjadi acuan untuk melihat Muhammadiyah dalam kiprahnya selama lebih dari seabad. “Mas Azaki dan mas Zakiyudin cukup berani menguraikan tentang theologi dasar dari Muhammadiyah,” ujarnya.
Azaki Khoirudin mengawali pengantarnya dengan menyatakan bahwa buku ini mencoba untuk memotret etika yang menjadikan Muhammadiyah terus menggeliat hingga usia lebih dari seabad. Buku yang diterbitkan Suara Muhammadiyah ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama yang terdiri dari 6 bab, kata Azaki, membahas tentang landasan pemikiran di Muhammadiyah. Sementara 6 bab di bagian kedua menguraikan tentang praksis peradaban dan aktivisme Muhammadiyah. Keseluruhan gerak Muhammadiyah ini dikenal dengan istilah trisula lama; schooling, feeding, healing dan juga trisula baru yang terdiri dari; MDMC, Lazismu, dan MPM.
Melanjutkan paparan Azaki, Zakiyudin menyebut bahwa Muhammadiyah memiliki basis theologis islamic movement yang kokoh. Yaitu Qur’an Surat al-Maun dan surat al-Ashr. “Kiai Dahlan dikenal sebagai kiai al-Ashr,” kata direktur pascasarjana IAIN Salatiga ini. Menurutnya, keseriusan Kiai Dahlan dalam menanamkan makna dari dua surat ini bisa dilihat dari lamanya pengajaran dua surat ini. “Surat al-Ashr diajarkan selama 7 bulan. Sementara surat al-Ma’un selama 3 bulan berturut-turut,” ulasnya.
Kedua surat itu menjadi etos Muhammadiyah yang berkemajuan. Al-Maun, kata Zakiyudin, mendestruksi dan mengkritik kemapanan serta sistem peradaban sosial-ekonomi juga kehidupan personal. Sementara al-Ashr, menjadi inspirasi membangun dengan landasan amal sholeh dan kedisiplinan. Al-Ashr mengisi apa yang diruntuhkan dengan kritik sebelumnya. Inilah etos yang menggerakkan Muhammadiyah untuk mandiri, berdaya, sekaligus tanpa menghilangkan elan vitalnya untuk melakukan keberpihakan dan pemberdayaan terhadap kaum mustadl’afin.
Muhammadiyah, kata Zakiyudin, juga memiliki basis sosio-filosofis yang kuat. Dalam konteks berbeda, Muhammadiyah mempunyai paduan konsep ummah, civil society, dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam konsep ummah dimaksudkan bahwa seluruh manusia merupakan satu. Sementara dalam konsep masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah mengajukan rumusan seperti keluarga sakinah hingga qaryah thayyibah. “Semua itu berbasis pada nilai iman dan amar makruf nahi munkar,” katanya.
Berbekal dari basis yang kokoh, maka tidak mengherankan jika Muhammadiyah bisa memainkan banyak peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. “Meskipun sebagai gerakan sosial keagamaan, tapi Muhammadiyah bisa memainkan peran di banyak posisi, mulai politik, ekonomi, hingga peran kultural,” urai Zakiyudin.
Dalam kesempatan itu, ketua PSB PS UMS, Yayah Khisbiyah mengapresiasi buku karya dua aktivis Muhammadiyah yang berbeda generasi itu. “Buku ini bercerita tentang kebanggaan kita Muhammadiyah sebagai the new social movement, mengkaji relevansi Muhammadiyah setelah seabad berlalu,” katanya.
Menurut Yayah, kajian seperti ini nantinya akan mempertegas peran segenap kader dan aktivis Muhammadiyah dalam memajukan Muhammadiyah dengan semangat Islam berkemajuan. Spirit kerja keras dan kerja cerdas ini, bisa menjadi konstribusi penting Muhammadiyah dalam membangun umat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Lebih jauh, kata Yayah, kajian ini juga bisa menjadi otokritik untuk menggerakkan Muhammadiyah menjadi organisasi yang lebih baik. (Ribas)